Self diagnose sendiri merupakan kegiatan mendiagnosis diri sendiri yang bisa dilakukan melalui pencarian informasi dari internet, informasi dari teman dekat, teman online yang memiliki kesamaan ketertarikan tentang kesehatan mental dan dari beragam artikel tentang isu kesehatan mental yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.Â
Remaja yang melakukan kegiatan self diagnose umumnya membenarkan gejala-gejala yang mereka alami adalah benar gangguan mental tanpa perlu adanya pemeriksaan dari ahli seperti psikolog atau psikiater. Mereka sangat meyakini bahwa mereka memiliki gangguan mental A, B, C, D sampai Z Â dan tidak ada pembuktiannya, padahal para ahli pun tidak semudah dan secepat itu dalam mendiagnosis seseorang.
Membiarkan tren self diagnose dikalangan remaja akan menyebabkan munculnya kekhawatiran yang berlebihan, sehingga memunculkan rasa cemas berlebih yang berkali-kali lipat.Â
Remaja cenderung hanya fokus pada gangguan yang ia rasakan padahal belum tentu ia derita, sehinga dengan keyakinannya semakin hari ia akan semakin terpuruk dan akhirnya mencoba mencari treatment sendiri yang tidak tepat seperti minum obat tidur berlebihan, self harm hingga yang paling mengerikan jika sudah pada fase menemukan penyelesaian masalah yaitu dengan keinginan bunuh diri.
Meskipun self diagnose sebaiknya dihindari, namun fenomena ini sebenarnya memiliki sisi positif juga bagi remaja di mana mereka menjadi lebih mengenali dirinya dan semakin menyadari ada yang salah pada kesehatan mentalnya, namun demikian remaja tetap harus mengutamakan bahwa kegiatan self diagnose harus dilakukan dengan bijak yang mana harus komunikasi dengan orang tua, guru dan orang dewasa disekeliling lebih dapat membantu mengarahkan permasalahan yang dihadapi.
Sebagai guru BK, saya merasa sangat prihatin terhadap kondisi ini, namun saya tetap harus bijak dalam menyikapi semua permasalahan ini.
Saya harus mampu menjadi pendengar yang baik dari segala keluh kesah mereka, berempati terhadap apa yang mereka rasakan, memposisikan diri saya sebagai bagian dalam masalah yang mereka hadapi, dengan tidak menyalahkan mereka dan yang pastinya harus tetap terus mendukung, memberikan support dan memotivasi bahwa mereka tidak sendiri, sehingga mereka merasa sangat berharga dan mampu keluar dari permasalah tersebut.
Beberapa teknik yang saya pakai agar siswa dapat menggungkapkan apa yang dirasakan dengan lebih detail adalah dengan pendekatan konseling individual di mana di dalamnya saya menggunakan media self bubble.Â
Media self bubble merupakan media berupa kertas  yang berisi beberapa gambar lingkaran seperti gelembung-gelembung dengan beragam ukuran.
Harapannya dengan menggunakan media self bubble ini, remaja lebih dapat mengenali dirinya dan mampu mengelompokkan permasalahan apa saja yang dirasakan pada dirinya secara lebih rinci dan lebih detail.
Pada media self bubble ini terbagi menjadi dua yaitu negative bubble (permasalahan/kelemahan diri) dan positive bubble (kekuatan diri), bubble ini terdiri dari beragam ukuran dari yang paling besar, besar, sedang, kecil dan sangat kecil dan inilah yang menggambarkan berat, sedang dan ringannya masing-masing masalah yang dirasakan pada dirinya.Â