Atau jika iklan film menimbulkan keresahan sosial atau mengganggu ketertiban masyarakat, baik sebelum maupun sesudah film tersebut dirilis, maka pemerintah berhak untuk menarik kembali iklan film dan film tersebut agar tidak beredar di masyarakat.
Agar hal ini tidak terjadi maka dapat ditanggulangi dengan memiliki Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) terlebih dahulu karena nantinya film akan evaluasi terkait dua poin. Pertama, film tidak memberikan dampak buruk pada masyarakat seperti sengaja mendiskriminasi SARA, dan sebagainya. Kedua, film seharusnya tidak mengandung unsur-unsur yang tidak ditunjukkan ke khalayak seperti pornografi, narkotika, kekerasan, dan sebagainya.
Sensor dalam Film
Menurut UU No. 8 Tahun 1992 pasal 1 angka 4: Sensor Film adalah penelitian dan penilaian terhadap film dan reklame film untuk menentukan dapat atau tidaknya sebuah film dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum, baik secara utuh maupun setelah peniadaan bagian gambar atau suara tertentu.
Pertama, penyensoran dan pelarangan apabila film yang ditayangkan sengaja mengajak publik berbuat yang tidak baik.
Kedua, penyensoran dan pelarangan apabila film yang ditayangkan mengandung unsur pornografi, penyalahgunaan narkotika, perjudian, kekerasan, agama, serta harkat dan martabat manusia (Vita, R. A., 2022: 50).
Pelanggaran pada film Green Chair (2005)
Pelanggaran yang dilakukan oleh film ini ada pada Permendikbud tahun 2019 Bab 2 Bagian Kedua Pasal 8 dan 12 terkait kriteria penyensoran pada film. Adegan-adegan pada film Green Chair telah melanggar penyensoran terkait pornografi dalam film.
Kemudian, dijelaskan pada Pasal 12 bahwa penyensoran dilakukan apabila dengan sengaja menampilkan eksploitasi seksual seperti visual telanjang, aktivitas persenggamaan, dialog cabul, dan masih banyak lagi.
Sumber:
Astuti, R. A. V. N. P. (2022, Juli). Buku Ajar: Filmologi Kajian Film. UNY Press.