Baru-baru ini muncul berita hangat tentang bullying yang terjadi di Batam. Diduga korban mengalami pengalaman bullying oleh rekan satu kelas dan gurunya sendiri. Berita ini mungkin menjadi berita hangat dikalangan aktivis atau pejuang anti-bullying dipelbagai daerah. Hal ini bisa menjadi pelajaran dan dapat dikritisi lebih dalam lagi tentang apa sebenarnya kebutuhan remaja saat ini. Apakah remaja saat ini mengalami krisis identitas yang bisa dikatakan akut? Atau memang fase remaja merupakan fase-fase pencarian jati diri?
Menurut dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah, Tangerang dalam jurnalnya yang berjudul Psikologi Remaja dan Permasalahannya ditulis bahwa usia 10 sampai 21 tahun adalah fase dimana remaja mengalami fase peralihan. Fase peralihan yang dimaksud adalah fase dimana remaja mengalami peralihan dari anak-anak menuju dewasa rentan. Fase ini bisa diidentifikasi dari fisik maupun mental atau sifat dari remaja tersebut.Â
Secara fisik, remaja pada fase peralihan ini akan tampak lebih besar pada bagian payudara, dsb setelah dia mengalami masa pubertasnya. Secara mental atau sifatnya, remaja masa peralihan akan cenderung memembuka diri untuk berelasi dan menambah teman, Â baik itu lawan jenis atau sesama jenisnya.
Kebutuhan remaja pada fase ini juga akan semakin kompleks. Misalnya, remaja yang sedang menjalin relasi tentu butuh sebuah persiapan matang untuk mengahadapi lawan bicaranya.Â
Perlu diketahui bahwa remaja pada fase ini sejatinya membutuhkan afeksi yang besar. Ramaja pada fase ini akan terus mencari dan mencari afeksi dari orang lain. Maka tak heran, jika remaja pada fase ini mengalami ketertarikan pada lawan jenisnya. Maka, butuh pendampingan dan pengawasan khusus (tetapi tidak strict). Tujuannya agar remaja tetap pada jalur yang semestinya.
Remaja pada fase ini akan terus mencoba mencari afeksi atau jati dirinya dan penyesuaian dirinya, baik dalam lingkup dua orang tau kelompok.Â
Pemberontakan dari remaja terhadap orang tuanya juga sering terjadi pada remaja fase ini. Remaja fase ini akan terus berfikir dan tentu akan terus berkembang pikiran rasionalnya. Pemberontakan yang dilakukan tak lain dan tak bukan merupakan proses dan kebutuhan dari remaja fase peralihan ini.Â
Hal ini juga ditegaskan oleh dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah, Tangerang. Amita Diananda menuliskan bahwa persoalan remaja saat ini salah satunya adalah berkata-kata vulgar dan cenderung memojokkan. Tidak heran apabila banyak kasus bullying yang terjadi dikalangan remaja atau lingkup sekolah.
Tidak hanya itu, banyak di kalangan remaja yang merasa dalam kondisi krisis identitas. Krisis identitas inilah dampak dari kurangnya perhatian atau afeksi dari orangtua atau kurangnya pengakuan dari teman-teman sebayanya.Â
Dari hal ini disimpulkan bahwa sejatinya remaja masih rentan untuk dipengaruhi oleh iklim lingkungan atau komunitasnya. Tandanya iklim komunitas atau lingkungan berpengaruh besar pada perkembangan remaja. Lihat saja remaja di daerah perkotaan. Remaja di daerah perkotaan cenderung sifatnya condong ke arah liberal (bebas).Â
Banyak remaja yang mengkonsumsi obat terlarang, merokok akibat iklim sosial (Social Smoker), seks bebas, dll. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mendata pada tahun 2010, meunujukan 51% remaja di JABODETABEK telah melakukan seks pranikah. Artinya dari 100 remaja, 51 remaja sudah tidak perawan.
Lantas bagaimana menanggapi kebutuhan remaja pada fase ini? Yang pertama bisa dilakukan adalah merubah atau mengembangkan metode parenting yang baik bagi para orangtua. Orangtua hendaknya mengerti terlebih dahulu kebutuhan-kebutuhan yang dibutuhkan anak dalam perkembangnnya. Contoh sederhana yang bisa dilakukan adalah metode Apreciation. Berilah apresiasi kepada anak apabila anak melakukan hal yang baik dan benar. Anak akan merasa dihargai dan diakui apabila orangtua mengapresiasi anaknya.Â
Metode teguran juga tidak boleh lepas dari hal ini. Apabila anak melakukan hal yang kurang pas atau salah, bukan berarti anak tersebut salah melulu dalam hidupnya. Perlu ada teguran agar anak tahu mana yang salah dan mana yang benar. Metode ini membantu anak juga dalam memenuhi afeksinya. Apabila anak masih ada yang menegur, anak pasti akan merasa bahwa masih ada yang mau memperhatikan dirinya.
Dua metode diatas bisa menjadi modal dasar orangtua. Saya merasa orangtua haruslah paham dan pasti sudah banyak orangtua yang paham akan hal ini. Metode lainnya adalah metode gathering. Kebutuhan anak adalah didengarkan. Anak butuh teman cerita baik dari sahabatnya atau dari orangtuanya. Efektifnya, anak akan bertemu lebih lama dengan orangtuanya ketimbang dengan sahabatnya.Â
Oleh karena itu, berilah waktu bersama antara orangtua dan anak untuk saling bertukar cerita. Metode ini juga akan memberi dampak yang positif yaitu anak akan percaya pada penuh pada orangtuanya. Berilah saran yang cukup jangan terlalu banyak saran, karena anak butuh didengarkan dan mendengarkan.Â
Yang tak kalah penting jangan menghakimi anak. Misal, ketika anak cerita bahwa ia merasa jatuh cinta pada lawan jenisnya, jangan langsung dihakimi dengan kata-kata larangan seperti, "Masih kecil tidak boleh pacaran, nanti saja kalau sudah kerja." Lontaran kalimat tersebut akan mematahkan semangat anak. Sekali lagi orangtua hendaknya harus tahu dan paham kebutuhan anak.
Cara terakhir yang bisa ditempuh untuk mengasuh dan mendampingi anak adalah metode kolaborasi. Metode ini bisa diterapkan tidak hanya oleh orangtua saja melainkan tenaga pendidik di sekolah formal maupun non formal. Metode kolaborasi menekankan kepercayaan orangtua atau tanaga pendidik pada anak. Baiknya anak diberi tanggung jawab untuk mengerjakan sesuatu proyek dalam suatu kelompok.
Dari nama metode ini menekankan bahwa anak tidak bekerja sendiri. Anak diberi kepercayaan dalam suatu kelompok. Iklim yang terbangun dalam kelompok yang mampu berkolaborasi akan membantu anak untuk menumbuhkan rasa percayaa antar teman. menumbuhkan rasa simpati bahkan empati dan harapannya berujung pada aksi konkret yang bisa dilakukan. Tiga elemen; olah rasa, olah pikir dan olah kehendak dalam metode ini terintegrasi menjadi satu kesatuan yang holistik.
Jadi, peran orangtua dan komunitas bisa sangat mempengaruhi proses pertumbuh kembangan anak dalam relasi baik intrapersonal maupun interpersonal. Orangtua yang baik adalah orangtua yang understanding pada kebutuhan anak dan paham tindakan yang harus dilakukan. Oleh sebab itu, jangan patah semangat untuk menjadi orangtua yang baik bagi generasi calon penerus bangsa!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H