Mas Ganjar itu Identik dengan Pak Jokowi
Benarkah Mas Ganjar dalam berbagai sudut pandang punya kemiripan dengan Pak Jokowi? Sehingga dianggap kemudian memiliki kepantasan dan kelayakan menjadi the next president yang dibutuhkan bangsa ini. Hanya karena Pak Jokowi dianggap oleh berbagai kalangan mampu membawa Indonesia menjadi lebih baik selama menjabat sebagai presiden RI, maka tak ayal Mas Ganjar pun yang punya kemiripan dengan Pak Jokowi itu kemudian digadang bisa menjadi penerusnya.
Dari banyak sisi dan sudut pandang, menurut saya Pak Jokowi memang punya banyak cerita yang menarik untuk dikisahkan. Begitupun kisah-kisah itu punya kemiripan dimiliki juga oleh Mas Ganjar.
Pak Jokowi dan Mas Ganjar secara keturunan, berasal dari rakyat biasa saja. Pak Jokowi ayahnya bekerja sebagai tukang kayu, dan Mas Ganjar ayahnya menjadi polisi dengan pangkat rendah. Keduanya menjadi sarjana yang lulus dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan juga pernah menjadi Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam).
Tapi setelah menjadi gubernur, secara fakta keduanya bisa bergaul mesra dengan tentara, polisi, habib, kyai, pendeta, tokoh adat, pemusik, penari, pendongeng, atlet, petani, mahasiswa, guru, anak sekolah, santri dan siapa saja. Cara bicaranya kepada orang-orang yang ditemui itupun blak-blakan dan tidak terlampau mementingkan protokoler.
Pak Jokowi dan Mas Ganjar juga suka blusukan. Gemar mendatangi rumah-rumah penduduk dan melakukan wawancara dengan warga. Bisa ketawa ngakak bersama warga yang ditemui karena memang mendapatkan sesuatu hal yang lucu. Orang yang didatangi pejabat dengan ramah, penuh senyum dan bicara blak-blakan menurut saya bisa mendatangkan kesenangan atau kegembiraan bagi siapa pun yang didatangi. Maka, tak heran jika kemudian, baik Pak Jokowi maupun Mas Ganjar selalu menjadi sasaran antusiasme foto selfie dari warga, di mana pun dapat kesempatan bertemu.
Tak segan-segan pula, baik Pak Jokowi dan Mas Ganjar selalu memberikan apa yang bisa diberikan kepada warga. Berupa sembako, kaos maupun uang. Bahkan kalau dalam sebuah seremonial Pak Jokowi selalu memberikan sepeda kepada yang berani tampil kemuka berwawancara dengannya, Mas Ganjar juga bisa memberikan hadiah serupa itu kepada warga yang diajaknya wawancara. Memang bukan selalu sepeda, tetapi bisa laptop, hape dan juga buku jika yang dihadapinya itu adalah seorang pelajar.
Terlebih dari itu, blusukan yang dilakukan baik Pak Jokowi maupun Mas Ganjar yang terkadang spontan saja --bisa dimaknakan sebagai sidak atau inspeksi mendadak-- lebih sering menjadikan takut bagi para pejabat pemerintahan yang suka nyeleweng dalam menjalankan tugas. Praktik suap, pungli dan sejenisnya yang marak dilakukan para pejabat dan pegawai pemerintahan dan merugikan masyarakat itu bagaimana pun masih saja penyakit laten dan menjadi kebudayaan yang terus saja berlangsung sampai hari ini.
Kabar-kabar tentang blusukan yang dilakukan Pak Jokowi demikian kaya khazanah dan memiliki sendiri kisahnya. Begitupun dengan selama ini yang selalu dilakukan Mas Ganjar. Pejabat yang juga intens menjadi berita mudah sekali bergaul dengan masyarakat umum; bertemu di pasar, di pondok pesantren, di masjid, di panti jompo, di panti yatim piatu, dan di jalanan bahkan, bagaimana pun merupakan kisah yang tidak lazim jika dibandingkan dengan sekian kisah dari para pejabat secara umum.Â
Maka tidak heran, jika kemudian si pejabat atau si pemimpin itu mudah sekali mendapatkan atensi atau perhatian dari rakyatnya. Tidak heran juga jika kemudian jenis pemimpin seperti itu dicintai oleh rakyatnya itu.
Pemimpin yang berasal dari kalangan biasa, menurut saya punya kans yang besar untuk bisa mendekati dan akhirnya mengerti esensi dari kerakyatan. Gayanya memimpin pun berselera egaliter. Ada kerendah-hatian dan karenanya tidak terlampau memposisikan dirinya berada di puncak mercusuar.
Jika kemudian pemimpin seperti itu dibenci, dihina, dicibir, dinyinyir.... ya, begitulah, ada saja  menjadi kebiasaan orang-orang yang picik, karena lebih mengemukakan subyektifitas dan menjadi pepesan kosong belaka dalam kaidah ilmu pengetahuan. Menjadi ihwal yang paradoks secara definisi sebagaimana pernah diyakini menjadi kredonya penyair-pujangga WS. Rendra, bahwa pengetahuan itu jika belum diamalkan mampu menghasilkan manfaat yang baik dan berguna bagi sesama, maka belum bisa disebutkan sebagai ilmu.
Sehingga sebagus apapun si pemimpin itu telah melahirkan dan  menghadirkan prestasi yang bermanfaat dan berguna bagi sesama, dianggap sepi belaka adanya. Beroposisi itu boleh dan wajar. Tapi jika terlampau subyektif, dan tidak terbuka terhadap adanya fakta-fakta secara objektif, tidak bagus menurut saya dalam telaah dinamika ilmu pengetahuan.Â
Sesuatu yang baik itu sifatnya terbuka dan universal. Maka kalau sesuatu itu memang baik mestinya dikatakan baik. Begitupun jika buruk harus dikatakan buruk. Â Sebaiknya tidak ada pengingkaran.Â
(Dwi Klik Santosa)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H