Jika kemudian pemimpin seperti itu dibenci, dihina, dicibir, dinyinyir.... ya, begitulah, ada saja  menjadi kebiasaan orang-orang yang picik, karena lebih mengemukakan subyektifitas dan menjadi pepesan kosong belaka dalam kaidah ilmu pengetahuan. Menjadi ihwal yang paradoks secara definisi sebagaimana pernah diyakini menjadi kredonya penyair-pujangga WS. Rendra, bahwa pengetahuan itu jika belum diamalkan mampu menghasilkan manfaat yang baik dan berguna bagi sesama, maka belum bisa disebutkan sebagai ilmu.
Sehingga sebagus apapun si pemimpin itu telah melahirkan dan  menghadirkan prestasi yang bermanfaat dan berguna bagi sesama, dianggap sepi belaka adanya. Beroposisi itu boleh dan wajar. Tapi jika terlampau subyektif, dan tidak terbuka terhadap adanya fakta-fakta secara objektif, tidak bagus menurut saya dalam telaah dinamika ilmu pengetahuan.Â
Sesuatu yang baik itu sifatnya terbuka dan universal. Maka kalau sesuatu itu memang baik mestinya dikatakan baik. Begitupun jika buruk harus dikatakan buruk. Â Sebaiknya tidak ada pengingkaran.Â
(Dwi Klik Santosa)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H