Ini kisah tentang gerak-gerak aktif seorang tokoh yang saya ceritakan dari menyarikan banyak data dari pemberitaan. Tentang sebuah kebijakan yang selama ini dilakukan oleh seorang Ganjar Pranowo sebagai Gubernur Jawa Tengah.
Tentang birokrasi pelayanan dari unit-unit negara yang selama ini menjadi momok kehidupan di tengah masyarakat. Birokrasi justru lebih menjadi kendala bagi efektif dan produktifnya sebuah program pelayanan kepada masyarakat dilakukan unit-unit pelayanan pemerintah. Karena memang secara umum, birokrasi dimaknakan sebagai sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah tersebab berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan.
Tapi seorang Ganjar Pranowo bisa jadi berpikir beda. Justru birokrasi itu punya peran vital untuk menunjukkan kapasitas pejabat atau unit pemerintah yang sedang bertugas. Pejabat yang gila kerja malah sering tidak memikirkan dengan penghormatan atas hierarki statusnya itu sebagai pemerintah.
Karenanya tidak heran jika kemudian, si pejabat boleh punya sebutan si ringan tangan. Meski untuk mendapat sebutan yang seperti itu banyak romantika perjalanan yang terjal.
Dalam praktiknya memimpin Jateng, banyak hal yang secara nyata harus dilakukan Ganjar. Terutama karena ia menjadikan "mboten korupsi, mboten ngapusi" sebagai kredo kinerjanya. Salah satu yang dibuktikan adalah adanya integritas. Selain membuat program, seorang pejabat harus memberi contoh yang baik kepada masyarakat.
Ganjar tak hanya menjalankan sistem dengan baik tapi juga harus memiliki ekstra kesabaran untuk mendidik pejabat-pejabat di bawahnya. Termasuk kepala desa yang menggelar musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) abal-abal atau fiktif.
Sejak Undang-undang No.6 Tahun 2014 tentang Desa disahkan, desa diberi kewenangan penuh untuk mengatur urusannya sendiri. Desa diakui eksistensinya atau keberadaannya.
Dengan terbitnya UU Desa ini pula, diharapkan tercipta pemerataan pembangunan dan percepatan pembangunan. Sebagai konsekuensi logis atas pengakuan tersebut, desa akan mendapatkan kucuran dana APBN sebesar lebih kurang 1 Miliar rupiah.
Undang-undang ini sudah dinanti masyarakat desa dan tidak terkecuali oleh perangkat desa. Sebab, secara langsung maupun tidak langsung, UU ini memberi peluang besar bagi masyarakat desa untuk menentukan nasibnya sendiri. Tetapi, di sisi lain juga dikhawatirkan melahirkan "raja" kecil di desa, karena kepala desa memegang kekuasaan penuh dalam hal pengaturan keuangan.
Dari sinilah muncul kemudian kekhawatiran akan terjadinya kerawanan tindak penyelewengan kekuasaan. Maka dibutuhkan peran masyarakat desa sebagai kontrol atas kekuasaan tersebut.
Sekalipun mampu menentukan nasibnya sendiri, namun peran kepala daerah, baik bupati, walikota maupun gubernur harus mampu men-supervisi atas terselenggaranya demokratisasi di desa. Kecerdasan dan kepekaan sosial kepala desa beserta perangkat dan lembaga-lembaga desa lainnya akan sangat menentukan keberhasilan sebuah desa.