Mohon tunggu...
Dwiki Reynaldi
Dwiki Reynaldi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Gadjah Mada

Political Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Bisakah Negara Disebut Teroris? Sebuah Refleksi

15 Agustus 2022   17:00 Diperbarui: 15 Agustus 2022   17:09 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pengantar 

Perbincangan terkait terorisme menjadi salah satu isu keamanan yang gencar diperdebatkan, terlebih pasca peristiwa 9/11. Seperti data yang diberikan oleh Andrew Silke menunjukan bahwa publikasi terkait isu terrorism dan counterterrorism dalam rentang wkatu dari 1980-2016, terjadi peningkatan yang sangat signifikan pada tahun 2000-an awal (Silke, 2018). 

Dan seperti yang kita ketahui bahwa peristiwa 9/11 juga terjadi pada awal 2000-an. Pengkajian isu terorisme mulai berfokus pada aktor non-negara, jejaring, bahkan hingga pendanaan. Terorisme dipandang sebagai salah satu bentuk ancaman bagi negara dan masyarakat. Kemudian memicu massifnya wacana counterterrorism di berbagai belahan dunia.

Terorisme secara umum dipahami sebagai perilaku atau tindakan terror yang dilakukan oleh aktor non-negara. Namun yang menjadi pertanyaan ialah, bagaimana kalau terjadi sebaliknya? Justru tindakan terorisme berasal dari negara? Bisakah negara menjadi teroris? Kebingungan-kebingungan inilah yang menjadi titik awal tulisan ini sekaligus menjadi gugatan atas narasi dominan terkait terorisme yang hanya diasosiasikan pada individu/kelompok non-negara.

Terrorism dan Counterterrorism 

Apa itu terorisme? Merupakan pertanyaan yang hingga hari ini masih terus diperdebatkan. Pendefinisan atas makna terorisme masih belum memiliki titik temu yang disepakati dalam ruang akademik. Maka seringkali untuk membedakan tindakan tertentu dengan tindakan terorisme, penekanan lebih diarahkan pada aspek sifat atau karakteristik tindakan bukan berbasis pada aktor (walaupun realitanya masih terjadi perdebatan atas asumsi ini). 

Dalam terorisme, ketakutan adalah alat yang digunakan untuk mencapai realisasi tujuan yang diinginkan dan pada saat yang sama, ketakutan adalah reaksi ulang dari tindakan teroris (Aliozi, 2007). Namun realitanya pemaknaan atas terorisme lebih dilihat dari aspek aktor secara dominan, dan aktor disini tentunya ialah aktor non-negara.

Pemaknaan terorisme sebagai tindakan aktor non-negara ini bisa dilacak dari beberapa peristiwa sejarah tertentu. Misalnya peristiwa 9/11, dimana terdapat serangan terorisme yang dilakukan oleh sekelompok aktor non-negara terhadap salah satu fasilitas publik. Peristiwa ini secara tidak langsung berdampak pada pemaknaan atas terorisme sebagai tindakan aktor non-negara.

 Terlebih karena peristiwa ini menjadi salah satu pemicu terbesar perhatian publik, negara, bahkan ruang akademik sekalipun dalam mengkaji isu seputar terorisme. Sehingga pada akhirnya pemaknaan atas terorisme yang hanya berbasiskan aktor menjadi pengertian yang dominan hingga saat ini.

Berdasar pada asumsi tersebut, muncul suatu wacana atau respon untuk menangani sekaligus melawan tindakan terorisme, yaitu yang kita kenal sebagai counterterrorism. Counterterrorism adalah kebijakan, strategi, dan taktik yang digunakan negara untuk melawan terorisme dan beserta konsekuensinya (Silke, 2018). 

Berdasar pada pengertian tersebut, terlihat dengan jelas bahwa pengaruh pemahaman awal atas terorisme juga cukup berdampak pada kemunculan dan pendefinisan counterterrorism. Bentuk dari counterterrorism cukup beragam, dari mulai pendekatan yang non-militerisitik, semi-militeristik, bahkan militeristik. 

Negara dipandang sebagai satu-satunya sosok protagonis dan sebaliknya aktor non-negara dipandang sebagai sosok antagonis. Hal ini sudah semestinya digugat dan dipertanyakan ulang. Terlebih pembiaran atas hal tersebut justru akan berdampak pada kaburnya penanganan tindakan terorisme. Karena bisa saja tindakan destruktif tersebut dilakukan oleh aktor diluar aktor non-negara, yakni negara itu sendiri.

Kemudian, bisakah tindakan counterterrorism bertransformasi menjadi state terrorism? Dan kapan counterterrorism bisa menjadi state terrorism? Pertanyaan ini perlu diajukan untuk menguji terkait klaim pemaknaan bahwa terorisme hanya berlaku bagi aktor diluar negara. Dan sekaligus membuka kemungkinan bahwa pemaknaan bisa terjadi sebaliknya.

Bisakah Negara disebut Teroris?

Sebelum terlalu jauh membahas mengenai pengertian state terrorism dan bagaimana counterterrorism berubah menjadi state terrorism, alangkah lebih baiknya kita memulai dengan penjelasan ringkas bagaimana perdebatan atas definisi terorisme itu berlangsung.

Secara makna kata, sebenarnya terorisme pada awalnya memiliki kaitan yang erat dengan negara (Alizoi, 2007). Misalnya Alizoi berpendapat bahwa akar kata terrorism memiliki makna yang sama dengan tromocratia atau terrorcracy, yang artinya terror sebagai pemegang kuasa atau terror sebagai alat kekuasaan negara untuk mengelola pemerintahannya. 

Kemudian ia meneruskan bahwa didalam setiap "cracy" selalu ada bersemayam watak negatif. Maka singkatnya induk dari terorisme adalah terorisme negara (state terrorism). Penjelasan Alizoi tersebut ingin menunjukan bahwa terdapat kekeliruan sekaligus ketidakselesaian pemaknaan atas istilah terorisme.

Karena seperti yang kita ketahui bahwa pemaknaan istilah terorisme secara tradisional terasosiasi dengan individu atau kelompok (non-negara) sebagai pelaku, dan negara sebagai korban. Dan tidak berlaku sebaliknya.

 Pergeseran istilah dari terrorcracy ke terrorism membuat makna negatif yang secara inheren berada dalam negara justru menjadi memudar. Pada akhirnya negara tidak dilihat sebagai sosok yang tidak akan melakukan tindakan terorisme.

Kemudian yang menjadi hal paradoksal lainnya ialah bahwa sebagian besar literatur mengenai terorisme mengambil latar peristiwa terror yang dilakukan selama revolusi perancis (yang semuanya dilakukan oleh aktor negara), namun ironisnya terorisme dewasa ini lebih diasosiasikan hanya pada aktor non-negara saja.

Selain itu juga dapat dilacak pada pemaknaan Hobbes, Hegel, dan Rousseau atas negara. Mereka melihat bahwa negara atau pemerintah merupakan institusi yang akan membawa kedamaian manusia, mencegah orang-orang terlibat dalam mutual destruction, dan mengatur kehidupan manusia. 

Negara dilihat atas monopolinya atas kekerasan dan otoritas sebagai sesuatu yang absolut (Deckers, 1995). Namun tidak pernah terpikirkan bahwa "negara" bisa saja menyerang warganya sendiri.

Berdasarkan beberapa penjelasan sebelumnya dapat kita simpulkan bahwa pemaknaan atas terorisme cukup memiliki kompleksitasnya sendiri. Dan hal ini juga berlaku bagi pendefinisan atas state terrorism yang sama sulitnya dengan pendefinisian atas terorisme. Bagi sebagian analis, perilaku represi terhadap warganya sendiri juga merepresentasikan state terrorism. 

Namun agar tidak terjebak pada perdebatan atas pendefinisian tentang state terrorism, penulis meminjam argumentasinya Andrew Silke bahwa state terrorism berkaitan erat dengan kekerasan (Silke, 2018). Kekerasan bisa jadi indikator untuk menentukan tindakan tertentu sebagai state terrorism atau bukan. 

Untuk pembahasan terkait kekerasan ini akan dibahas lebih dalam di bagian selanjutnya. Namun singkatnya state terrorism ialah tindakan terorisme yang dilakukan oleh aktor negara (Aliozi, 2007).

Alizoi menambahkan bahwa seorang pejuang kemerdekaan melakukan tindakan terorisme justru karena dipicu oleh tindakan terorisme negara atau state terrorism itu sendiri sebagai bentuk "actus reus" atau tindakan reaktif alami. Hal ini juga menunjukan bahwa terrorism, counterterrorism, dan state terrorism merupakan hal yang harus dilihat secara beriringan.

Kemudian kapan counterterrorism menjadi state terrorism? Jawabannya ialah ketika adanya penggunaan targeted killings dan counterterrorism termanifestasi dalam peningkatan pendekatan militeristik dalam penyelesaian masalahnya (Silke, 2018).

Salah satu contohnya ialah Amerika pasca 9/11, dimana Amerika menjaga counterterrorism domestik dengan pendekatan peradilan pidana, namun counterterrorism internasionalnya menggunakan pendekatan militeristik. Hal tersebut bagi Silke sudah termasuk bentuk state terrorism. Lantas, apakah bisa negara menjadi teroris? Merujuk berbagai penjelasan sebelumnya yang coba dibangun penulis, jawabannya ialah negara bisa menjadi teroris.

Monopoli dan Praktik Kekerasan Negara, Bolehkah?

Pertanyaan mengenai bisakah negara menjadi teroris, berawal dari fakta bahwa kekerasan negara lebih besar dan lebih massif dibandingkan dengan kekerasan non-negara. Dan yang menjadi kebingungan selanjutnya ialah mengapa yang menjadi target perlawanan justru aktor non-negara. Kekaburan cara pandang ini salah satunya disebabkan oleh temuan bahwa state terrorism sebagian besar hilang sebagai subjek literature terorisme.

Isu terkait state terrorism seolah menjadi hantu ditengah hiruk pikuk penanganan 'terorisme'. Padahal garis hantunya masih bisa dideteksi. Misalnya, dari penggunaan istilah "terror" yang erat kaitannya dengan kekerasan negara. Oleh karena itu terorisme sebenarnya memiliki "gema kekerasan negara". Walaupun secara dominan lebih diasosiasikan pada aktor non-negara.

Salah satu diktum yang mencoba menggugat kondisi tersebut ialah klaim Ruth Blakeley bahwa "state violence as state terrorism" (Blakeley, 2012).           Lebih lanjut ia mengatakan bahwa ciri khas state terrorism yang membedakannya dengan bentuk kekerasan negara lainnya ialah bahwa ia melibatkan penargetan illegal terhadap individu yang seharusnya dilindungi oleh negara dengan tujuan menyebar rasa takut diluar sasaran.

Asumsi atas monopoli kekerasan negara berbeda dengan kekerasan aktor non-negara. Kekerasan negara seringkali dianggap sebagai hal yang sah, dan kekerasan non-negara sebagai hal yang tidak sah. Dan ketidaksah-an ini yang akhirnya dilabeli sebagai tindakan terorisme. Hal ini bisa dilacak dari asumsi Weberian tentang negara, bahwa negara adalah satu-satunya institusi yang sah memonopoli kekerasan. 

Namun ironisnya, pandangan tersebut menutup mata bahwa kekerasan yang dilabeli "sah" tersebut bisa saja dilancarkan pada warganya sendiri. Menurut Blakeley, asumsi atas kekerasan tersebut dilatarbelakangi oleh dua hal, pertama, pembedaan didasarkan pada aktor bukan pada kesamaan bentuk kekerasan; dan kedua, kata "sah" justru mengaburkan praktik kekerasan negara (Blakeley, 2012).

Maka semakin jelas bahwa tidak semua bentuk kekerasan negara adalah "sah". Karena bisa saja negara berlindung dibalik logika keabsahan monopolinya atas kekerasan. Permasalahan ini dimulai karena pendefinisian yang kontoversial atas terorisme dan juga kebuntuan akademik untuk menyepakati definisi terorisme.

Dan hal ini juga membantu memperjelas bahwa ketika pendifinisan atas terorisme dan kekerasan basisnya adalah tindakan bukan aktor, maka negara bisa menjadi pelaku terorisme. Karena seringkali state terrorism bersembunyi dan berlindung dibalik kalimat "tindakan yang diperlukan" atau "tindakan polisi" dan berbagai pernyataan sejenis lainnya.

Negara sudah terlibat terlalu jauh dalam tindakan terorisme, maka ada upaya untuk mengubah definisi atas terorisme itu sendiri dengan tujuan untuk tetap mendapatkan legitimasi memonopoli kekerasan sebagai hal yang sah (Jackson, 2008). Fokus yang terdisrtorsi atas terorisme, mengakibatkan terorisme non-negara dipandang sebagai bagian dari masalah sosial. 

dan pada akhirnya berdampak pada pola penanganan masalah. Artinya solusi muncul dan dilakukan dari negara terhadap aktor non-negara (contohnya ialah counterterrorism). Dari perspektif etika-normatif, pengaburan berguna untuk mengalihkan perhatian dari state terrorism yang lebih besar dan justru hanya berfokus pada tindakan terorisme non-negara.

Kesimpulan

Ketidakjelasan terkait pendinisian terorisme ternyata cukup membuka mata kita bahwa terdapat dampak serius atas pemaknaan yang agak keliru terhadap terorisme. Terorisme secara dominan dimaknai sebagai tindakan yang dilakukan oleh aktor non-negara. Sehingga penanganan counterterrorism juga beroperasi sesuai dengan logika negara. 

Dimana negara sebagai korban dan aktor non-negara sebagai pelaku, dan hal ini tidak berlaku juga sebaliknya. Sehingga pada akhirnya tidak membuka kemungkinan bahwa negara bisa menjadi pelaku terorisme juga. 

Namun dekonstruksi atas istilah terorisme ternyata membuka sekaligus mengggugat pemkanaan dominan atas terorisme. Secara ringkas bahwa pemaknaan yang berbeda juga berdampak berbeda pada cara pandang kita dalam melihat terorisme. Dan hal itu membuka kemungkinan bahwa negara juga bisa menjadi pelaku terorisme.

Asumsi terkait kekerasan negara juga perlu diperbaiki, karena tidak semua kekerasan negara adalah "sah". Karena bisa saja terjadi sebaliknya, bahwa kekerasan tersebut bisa menyerang warganya sendiri. Dan pada kondisi itu lah posisi negara dipertanyakan, apakah negara lebih bersifat sebagai pengayom atau justru teroris

 Dan hal itu juga yang ditekankan di tulisan ini bahwa negara juga bisa melakukan tindakan terorisme, yaitu yang kita sebut sebagai state terrorism. Berdasarkan persepektif hak asasi manusia, menghadapi semua phobia terror yang dipicu oleh tindakan counterterrorism dan obsesi keamanan total kita menyaksikan adanya penurunan kualitas penurunan nilai hak asasi manusia.

Kesimpulan yang saya dapat ialah bahwa studi keamanan sebenarnya secara inheren bersifat politis. Maka dari itu menyimpan alat kecurigaan atas berbagai konsep dan wacana dalam isu keamanan dirasa cukup membantu dalam melihat permasalahan secara lebih utuh.

Daftar Pustaka

Aliozi, Zoi. (2007). A Critique of State Terrorism. The Crit: A Critical Legal Studies Journal Vol.6 No.1.

Blakeley, Ruth. (2012). State Violence as State Terrorism. The Ashgate Research Companion to Political Violence. Ashgate.

Deckers, Wolfgang. (1995). The Real State Terrorism. Peace Review: A Journal of Social Justice, 7:3-4, 321-326, DOI: 10.1080/10402659508425896.

Jackson, Richard. (2008). The Ghost of State Terror: Knowledge, Politics, and Terrorism Studies. Critical Studies on Terrorism, Vol. 1, Issue 3, Hal. 377-392.

Silke, Andrew. (2018). State Terrorism. Handbook of Terrorism and Counterterrorism, Hal. 66-73. Routledge.

Silke, Andrew. (2018). The Study of Terrrorism and Counterterrorism. Handbook of Terrorism and Counterterrorism, Hal. 1-10. Routledge.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun