Negara dipandang sebagai satu-satunya sosok protagonis dan sebaliknya aktor non-negara dipandang sebagai sosok antagonis. Hal ini sudah semestinya digugat dan dipertanyakan ulang. Terlebih pembiaran atas hal tersebut justru akan berdampak pada kaburnya penanganan tindakan terorisme. Karena bisa saja tindakan destruktif tersebut dilakukan oleh aktor diluar aktor non-negara, yakni negara itu sendiri.
Kemudian, bisakah tindakan counterterrorism bertransformasi menjadi state terrorism? Dan kapan counterterrorism bisa menjadi state terrorism? Pertanyaan ini perlu diajukan untuk menguji terkait klaim pemaknaan bahwa terorisme hanya berlaku bagi aktor diluar negara. Dan sekaligus membuka kemungkinan bahwa pemaknaan bisa terjadi sebaliknya.
Bisakah Negara disebut Teroris?
Sebelum terlalu jauh membahas mengenai pengertian state terrorism dan bagaimana counterterrorism berubah menjadi state terrorism, alangkah lebih baiknya kita memulai dengan penjelasan ringkas bagaimana perdebatan atas definisi terorisme itu berlangsung.
Secara makna kata, sebenarnya terorisme pada awalnya memiliki kaitan yang erat dengan negara (Alizoi, 2007). Misalnya Alizoi berpendapat bahwa akar kata terrorism memiliki makna yang sama dengan tromocratia atau terrorcracy, yang artinya terror sebagai pemegang kuasa atau terror sebagai alat kekuasaan negara untuk mengelola pemerintahannya.Â
Kemudian ia meneruskan bahwa didalam setiap "cracy" selalu ada bersemayam watak negatif. Maka singkatnya induk dari terorisme adalah terorisme negara (state terrorism). Penjelasan Alizoi tersebut ingin menunjukan bahwa terdapat kekeliruan sekaligus ketidakselesaian pemaknaan atas istilah terorisme.
Karena seperti yang kita ketahui bahwa pemaknaan istilah terorisme secara tradisional terasosiasi dengan individu atau kelompok (non-negara) sebagai pelaku, dan negara sebagai korban. Dan tidak berlaku sebaliknya.
 Pergeseran istilah dari terrorcracy ke terrorism membuat makna negatif yang secara inheren berada dalam negara justru menjadi memudar. Pada akhirnya negara tidak dilihat sebagai sosok yang tidak akan melakukan tindakan terorisme.
Kemudian yang menjadi hal paradoksal lainnya ialah bahwa sebagian besar literatur mengenai terorisme mengambil latar peristiwa terror yang dilakukan selama revolusi perancis (yang semuanya dilakukan oleh aktor negara), namun ironisnya terorisme dewasa ini lebih diasosiasikan hanya pada aktor non-negara saja.
Selain itu juga dapat dilacak pada pemaknaan Hobbes, Hegel, dan Rousseau atas negara. Mereka melihat bahwa negara atau pemerintah merupakan institusi yang akan membawa kedamaian manusia, mencegah orang-orang terlibat dalam mutual destruction, dan mengatur kehidupan manusia.Â
Negara dilihat atas monopolinya atas kekerasan dan otoritas sebagai sesuatu yang absolut (Deckers, 1995). Namun tidak pernah terpikirkan bahwa "negara" bisa saja menyerang warganya sendiri.