Raden Wijaya menatap wajah-wajah prajuritnya yang penuh semangat dan keberanian.
8.Menggunakan Kata Kiasan/Majas
  Di bawah sinar bulan yang redup, Raden Wijaya berdiri bak singa yang siap menerkam musuh di hadapannya.Â
Modifikasi ceritaÂ
Konflik :
Di tengah kegelapan malam, Raden Wijaya terjaga dari tidurnya yang gelisah. Bayangan pengkhianatan Jayakatwang masih menghantuinya. Dengan tangan gemetar, ia menggenggam keris pusaka peninggalan leluhurnya. "Demi leluhurku dan rakyat Singasari, aku bersumpah akan membangun kerajaan yang lebih besar," bisiknya dalam hati.
Hari-hari pelarian terasa mencekam. Bersama tiga sahabat setianya---Sora yang perkasa, Nambi sang cerdik, dan Ranggalawe yang gagah---mereka menerobos hutan belantara. Setiap gemerisik daun membuat mereka waspada, setiap suara burung malam bisa jadi pertanda bahaya. Pengejaran pasukan Jayakatwang tak kenal lelah.
Klimaks :
Ketika pasukan Mongol tiba di pantai Jawa, Raden Wijaya melihat kesempatan emas. Dengan kecerdikannya, ia memainkan permainan berbahaya. Di hadapan para panglima Mongol, ia berpura-pura menjadi sekutu setia, sementara diam-diam menyusun rencana besar.
"Biar kutunjukkan jalan menuju Kediri," ujarnya kepada Shih-pi, sang panglima Mongol, sambil menyembunyikan senyum licik. Pasukan gabungan bergerak maju bagai ombak besar menerjang pertahanan Jayakatwang.
Pertempuran dahsyat pecah di istana Kediri. Darah mengalir, pedang beradu, dan teriakan perang memenuhi udara. Di tengah kekacauan itu, Raden Wijaya menunggu momen yang tepat. Begitu Jayakatwang tumbang, ia menghunus kerisnya dan berseru, "Sekarang, saudara-saudaraku! Usir penjajah dari tanah leluhur kita!"