Kerumitan
Hari Tani yang jatuh pada hari Selasa, 24 September 2019 seharusnya menjadi ajang pembuktian bagi pemerintah pada agenda reforma agrarianya selama ini. Namun sangat disayangkan, kondisi tersebut hingga opini ini ditulis, hal itu tak terjadi.Â
Pemerintah berkutat dengan DPR seolah memainkan RUU yang merugikan masyarakat maupun lembaga KPK. Mulai dari RUU Revisi KPK, RKUHP, RUU Pertanahan, RUU PKS, RUU Ketenagakerjaan, RUU Pemasyarakatan, RUU Minerba, semua menggeluti alur birokrasi Senayan-Istana.Â
Wajar saja hal tersebut membuat mahasiswa seluruh Indonesia geram, negara sebagai sosok otoritas dominan dianggap akan membuat kesalahan yang fatal. Namun, sebelum RUU dituangkan ke DPR,Â
Sebenarnya peran Presiden selaku pemimpin tertinggi negeri ini kemana ? Apakah melimpahkan ke DPR karena sudah terjadi lobi-lobi politik saling menguntungkan bagi keduanya ? Ataukah pemerintah dan DPR sama-sama tidak mensahkannya RUU tersebut pada Hari Tani ini, tetapi dikemudian hari baru disahkan ? Perlu diwaspadai kemelut ini.Â
Memaknai Hari Tani
Alangkah baiknya bila reforma agraria menjadi agenda terpenting tepat di Hari Tani ini. Akan tetapi tak bisa dipungkiri, realita permasalahan yang kompleks mendorong suatu gerakan untuk mendobrak kegobrokan sistem negara.Â
Bicara tentang agraria, agenda Presiden tak mampu menjawab seutuhnya, hal ini masih menyebabkan kesejahteraan semu dimana-mana (saya batasi pembicaraan tentang struktur dan konflik).Â
Kasus satu; pembagian sertifikat tanah gratis yang dilakukan Badan Pertanahan Nasional (BPN) tak sebanding dengan pemberdayaan masyarakat yang mandiri. Sertifikat tersebut setelah diberikan tak diawasi pemerintah secara serius, hingga masyarakat pun mampu menjual atau menjadikan sertifikat tersebut sebagai jaminan kredit untuk kebutuhannya.Â
Kecerobohan dalam kasus merupakan contoh kecil yang harusnya pemerintah berparadigma people centre development, kini masih stagnan di product centre development. Celakanya, pemerintah pun menargetkan hingga pada akhir tahun 2019, dirinya harus mampu membagi 11 juta sertifikat tanah gratis ke masyarakat.Â
Padahal, di lokasi-lokasi lain masih terdapat tumpang tindih klaim lahan dengan akibat banyaknya konflik lahan yang terjadi (Tahun 2018, menurut KPA luasan konflik seluas 807,17 ribu Ha = yang terlapor !).Â
Harusnya prioritaskan itu Pak ! Bukan memprioritaskan sesuatu yang mudah dimengerti bagi rakyat untuk memuluskan kekuasaannya di Parlemen atau Istana Rakyat Pak ! Kami intelektual tak bisa dikibuli !
Konflik nelayan tak jauh seksinya dengan konflik agraria walau tak berhembus kencang. Bagi kalangan akademisi hal ini menarik untuk dibicarakan, sebagai kasus kedua ini, nelayan perlu diperhatikan bila bicara dengan relasi sosialnya. Tak salah memang, pemerintah dalam agenda kemaritiman sudah berpihak dan menyerang bila ada pelaut asing yang mencari makan di daerah tangkapan masyarakat.Â
Namun lagi-lagi, bagaimana yang mencari makan di daerah tangkapan masyarakat lokal adalah masyarakat daerah lain, hal ini bisa memicu konflik bukan ? Perbedaan alat tangkap dan gap kelas antara buruh nelayan dan pemilik hingga kini menjadi pusat perhatian bagi sosiolog untuk melihat relasinya yang seolah-olah tak tertebak, alias rentan konflik.Â
Mungkin tak terhitung kasusnya oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan RI karena seolah olah buruh pun menunjukkan tak ada prasangka buruk pada pemiliknya, namun tetaplah waspada negara ! Nelayan itu juga aset kita ! Pesimistik saya kini; negara berani melawan perusahaan kecil punya asing, namun tak mampu melawan perusahaan besar negerinya maupun yang asing ! Miris.Â
Disamping konflik yang terjadi, sebagai pekerjanya pun (sebagai kasus ketiga), upah buruh tani sawah masih jauh dari kata cukup. Jelas masih jauh dari kata cukup ! Badan Pusat Statistik baru saja merilis upah buruh tani nasional naik 0,22 persen; tadinya 54.237/ hari di Bulan Juli 2019, kini 54.354/ hari untuk kebutuhan pendidikan, modal, hutang, kontrak rumah, bahkan kredit bila ada, memang tak sejahtera petani Indonesia. Omongan gelontoran bantuan terus digaungkan, namun yang terjadi tetap saja belum sejahtera petani kita Bung ! Menurut BPS pun, masyarakat paling miskin ialah petani, harus dibenahi hal ini.Â
Perkiraan Permainan Negara dan Sedikit Solusi
Sudah cukup nampaknya untuk ketiga kasus di atas dipaparkan, tak banyak tenaga untuk mengeluarkan kegelisahan pada agraria Indonesia di sini. Pemerintah, khususnya Presiden beserta partainya memang tak dibebani oleh politik lagi karena dirinya tak bisa maju di 2024. Namun, kebijakannya akan terus berlangsung seiring adanya kelompok-kelompok  partainya. Tak hanya partainya saja, bagi saya semua partai sama saja, bila sudah kecemplung dalam permainan uang ala-ala rintenir kejam itu sama; sama-sama tidak berpihak pada masyarakat.Â
Di Hari Tani ini, sedikit solusi yang tepat, bila bicara akses dan kontrol, pastikan berpihak lah kedua itu untuk rakyat, maka hasilnya akan memperpanjang kualitas hidup dan memandirikan masyarakat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H