Peranan semu
Nampaknya pemikiran Marx saat ini tepat terealisasikan untuk kondisi pelemahan Komisi Pembarantasan Korupsi (KPK) di tangan pemerintah.Â
"Peranan negara didominasi dan membela kelas-kelas atas saja, tidak untuk menghadirkan akses agar terwujudnya keadilan dan kesejahteraan"
Pemerintah melalui Presiden dan DPR bertindak tanpa seirama positif dengan tupoksi (tugas, pokok, dan fungsi) KPK yang sebagaimana harusnya telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Â
Tindakan tersebut tak sejalan dengan pencegahan dan pengurangan kerugian negara yang dinilai sangat besar di setiap tahunnya. Memang, harus diakui, negara ini penuh perpolitikan tajam yang haus akan kekayaan individu dan kemenangan kelompoknya.Â
Namun, bila ditelisik lebih jauh, korupsi yang dilakukan koruptor tak jauh-jauh dari kontribusi aktor-aktor politik tersebut yang mengancam lembaga antirasuah ini. Lantas, kemana peran negara sesungguhnya yang harus membidik koruptor sebaik mungkin, kalau tidak lewat lembaga ini? Haruskah keberadaannya menjadi lemah? Mari berpikir.
Terima kasih KPK
KPK memang bukan satu-satunya lembaga yang menangani kasus korupsi agar koruptor jera, masih ada kejaksaan dan kepolisian untuk menyelamatkan uang negara ini, tetapi lembaga ini bak pahlawan anti korupsi yang dinanti-nanti masyarakat. KPK membeberkan melalui situsnya, bila tahun 2014-2019, lembaganya sudah menyelamatkan lebih dari 5 Triliun Rupiah dari permainan kotor.Â
Puncaknya pada tahun 2018 Operasi Tangkap Tangan (OTT) dilakukan oleh KPK, yang dimana jumlah operasi pada tahun ini pun terbanyak sepanjang sejarah, sebanyak 28 operasi dan menetapkan 108 orang sebagai tersangka. Tanpa melalui OTT pun KPK juga masih melakukan penindakan korupsi secara masif, walaupun sebenarnya tak sangat jeli dan berhenti pada beberapa kasus. (Saya selipkan sedikit kritik KPK di bawah)
"KPK dalam menghadapi dilema kejahatan pasti akan mengacu pada siapa yang ditindak, akibat bila ditindak, dan pengaruh ke dirinya bila menindak"
Selain menindak, secara kelembagaan KPK sudah tak harus diragukan. Sejak berdiri, Laporan Keuangan KPK selalu memiliki Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dengan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi pemerintah (LAKIP) dimulai dari tahun 2011-2018, KPK memperoleh Nilai A.Â
Bicara mengenai prestasi KPK bisa tak ada habisnya, tapi untuk saat ini fokusnya bukan pada prestasi, melainkan tindakan struktur yang membuat KPK "akan" hilang arah dan pendiriannya. Gawat!
Tetap Kuat-lah KPK!
Kenapa harus kuat? Kuat mempunyai makna kata kontradiktif yang tepat bila harus disandingkan dengan kelemahan; bahkan kelemahan yang dibuat struktur negara. Apa saja yang dilemahkan:
Calon Pimpinan (Capim) KPK sudah dikerucutkan menjadi 10 orang melalui seleksi yang dilakukan Panitia Seleksi (Pansel) Capim KPK, namun pada hal ini, beberapa nama di antaranya terdapat nama-nama bermasalah yang telah di-blacklist oleh KPK sendiri, beberapa bahkan telah masuk kasus kejahatan (korupsi dsb).Â
Jelas dalam hal ini Pansel Capim KPK tak kuat menerjang panasnya politik dalam negeri di bangsa ini. Pada akhirnya, Pansel Capim KPK ini lah yang melempar nama 10 orang kepada Presiden dan DPR untuk memutuskan siapa yang akan berhak menjadi Capim KPK berikutnya.Â
Sekarang, DPR dan Eksekutif saling melontarkan kata-kata kontradiktif untuk menguatkan KPK; justru malah mempertanyakan urgensi bila orang yang lolos seleksi diangkat menjadi pimpinan KPK.Â
Padahal, konteks masalah ini bisa ditarik suatu benang merah yang mengartikan bila pimpinan KPK nanti diisi oleh orang bermasalah, maka dapat dipastikan secara kinerja akan mengancam sisi internal maupun produktifnya dari KPK sendiri. Singkatnya itu!
Kamis, 5 September 2019, Â Sidang Paripurna DPR telah setuju untuk merevisi Undang-Undang KPK Nomor 30 Tahun 2002 dan menjadi RUU Inisiatif DPR sendiri. Tentu KPK mengakui hak tersebut merupakan amanah yang dapat diambil oleh DPR, namun tentu saja tak bisa untuk melemahkan KPK!Â
DPR sebagai perwakilan rakyat apakah tidak melihat secara jeli kalau tindakannya mampu mengancam independensi KPK, meleluasakan koruptor, dan bahkan bisa merugikan negara serta memperluas jurang ketimpangan dengan kelas bawah. Kemana DPR? Suara rakyat di luar sana sudah jelas mengatakan bila kita harus memperkuat KPK, bukan memperlemah!
Lalu apa?
Bila sudah lemah, KPK akan kehilangan pendiriannya, peraturan yang konsisten dan mampu menangkap jera koruptor kandas begitu saja akibat tindakan DPR yang tak mengindahkan KPK. Dapat disadari, menurut DPR, dirinya melakukan revisi karena untuk membatasi penyadapan dan tidak mengulang korban "salah tangkap" seperti RJ Lino, namun bukan itu solusinya! Justru yang dibutuhkan hanya ketegasan KPK yang tidak diterpa politik dari tekanan pemerintah itu lah untuk mengatasi itu.Â
"Sadar lah wahai negara tekananmu parah"
Doakan saja, suatu saat KPK akan menjadi lembaga yang lebih kuat dan sigap dalam bertindak untuk koruptor.Â
*Semua data bersumber dari: kpk
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H