Mohon tunggu...
Dwiki Setiyawan
Dwiki Setiyawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

#Blogger #Solo #Jakarta | Penyuka #Traveling #Sastra & #Politik Indonesia| Penggiat #MediaSosial; #EventOrganizer; #SEO; http://dwikisetiyawan.wordpress.com https://www.facebook.com/dwiki.setiyawan http://twitter.com/dwikis

Selanjutnya

Tutup

Money

Titip Rindu Buat Ibuku

29 Juli 2010   07:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:30 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Menjelang Subuh, kereta tiba di Klaten. Pulang ke rumah kami menumpang becak. Menyusuri  jalan-jalan kota dan pedesaan Klaten yang masih lengang. Sesekali kendaraan bermotor melintas dari arah depan maupun belakang. Becak yang kami tumpangi melaju agak kencang. Kadang berkejar-kejaran dengan pedagang pasar yang mengayuh sepeda dengan keranjang bambu dan muatan dagangan tersusun rapi di dalamnya. Pula, beberapa kali kami menyalib gerobak penuh muatan hasil panenan sawah atau palawija yang ditarik oleh dua ekor sapi. Orang Jawa menamakannya gerobak sapi, yang pada saat kini fenomena itu sudah susah ditemui.

Tiba di rumah hari sudah terang, matahari perlahan naik sepenggalan, menyinari bumi sembari tersenyum. Namun tidak dengan suasana di rumah kami ayng murung. Bulikku yang selama ini merawat dengan telaten ibu menangis histeris. Beberapa kerabat lain ikut sesunggukan. Namun demikian, ayahku tegar menghadapi kenyataan yang terjadi. Sementara diriku, hanya terbengong-bengong dengan tangan digenggam erat kakak, disaksikan adik yang baru saja terbangun dari tidur. Dari tiga bersaudara sekandung, hanya diriku yang ikut ayah di Jakarta tatkala ibu tetirah proses menyembuhkan penyakit yang dideritanya di kampung.

Anehnya aku tidak menangis saat itu, walau adik perempuanku yang masih balita, dengan terbata-bata ia mengatakan kemarin mengantar kepergian ibu di pusara.  Terus terang, saat itu aku masih belum mengerti akan arti pergi untuk tidak kembali. Kalaulah boleh meratapi, letak persoalannya bukan pada kepergian ibuku. Akan tetapi, mengapa aku tidak berkesempatan melihat paras sejuk ibu untuk terakhir kali?

Barulah siang harinya, dengan ditemani bulik (adik perempuan ayah), paklik (adik laki-laki ayah) dan pakde (kakak laki-laki ayah) kami mengunjungi pusara almarhumah ibu. Di depan gundukan tanah yang agak basah bermantel taburan bunga mawar memerah, kami berdoa.

Inilah yang dikatakan ayah sewaktu kemarin di dalam gerbong kereta api. Mengunjungi dan menemui ibu. Akan tetapi, yang kukunjungi dan kutemui bukan sosok fisik ibu yang pernah mendekapku hangat sewaktu dalam buaian. Bukan pula kukunjungi dan kutemui semangat pantang menyerah pada badan yang semakin melemah di akhir sisa hidupnya. Aku kunjungi dan temui pusaranya masih segar di hadapanku. Setelah lebih setahun tidak bertemu.

Sedikit cerita tentang penyakit ibuku. Ketika pertama kali terdeteksi sakit kanker, dengan adanya benjolan kecil di payudara kirinya, ibuku saat itu takut operasi. Beliau hanya selang-seling berobat jalan ke dokter dan pengobatan alternatif. Tak kunjung sembuh, lama kelamaan akhirnya sel kanker itu merembet ke bagian-bagian tubuh lainnya. Akhirnya, saat semuanya sudah terlambat, ibu baru mau dioperasi. Opname beberapa saat dan operasi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).

Tak perlu aku ceritakan detail soal penyakitnya. Yang jelas setelah operasi di RSCM, beliau memohon pada ayah pulang ke Klaten. Untuk tetirah sembari mencari alternatif pengobatan di sana. Kata ayah, ibu bersama adik bungsu perempuanku cukup senang tinggal di dusun. Udara di kampung sangat sejuk. Banyak sanak-saudara di sana, dan ada yang setiap saat merawatnya. Beliau juga ingin bisa lebih dekat dengan kakak sulungku (saat itu kelas 1 SMP) yang sedari kecil dirawat bulik dan berpisah lama dengannya.

***
Setelah lebih 30 tahun berlalu, aku mencoba mengingat-ingat sosok ibu yang kukenal dulu. Mulai dari ciri-ciri fisik dan juga sekelumit latar belakang keluarganya.

Perawakannya tinggi semampai (sementara tinggi ayahku sebahu beliau). Berambut lurus panjang –yang kemudian rontok semua saat penyakit kanker menggerogotinya. Berkulit kuning langsat. Dengan ciri khas mata sipit seperti bentuk mata yang kumiliki.

Beliau perempuan Jawa yang lahir dan menghabiskan keriangan masa kecil di Gunung Kidul Yogya. Berasal dari keluarga petani sederhana. Saat remaja, bersama beberapa saudara kandungnya hijrah dan mengadu nasib di kota Yogyakarta. Beberapa dari bulik dan pakde saudara kandung ibu itu berprofesi sebagai pedagang sedari masih muda.

Lingkungan semacam itulah, yang membuat ibu setelah menikah dengan ayah, menjadi pribadi yang tidak bisa tinggal diam. Yang hanya berpangku tangan di rumah saja. Kala ayahku membanting tulang bekerja sebagai seorang karyawan instansi swasta dengan gaji pas-pasan, beliau membuka usaha kecil-kecilan. Membuat kolak dan beberapa jajanan khas Jawa seperti wajik dan jadah, dan hanya dijajakan di atas sebuah meja tidak seberapa besarnya dekat rumah. Namun,  pelanggan kolak dan jajanan ibuku cukup banyak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun