Sambungan Bagian 1:Memancangkan Tonggak Niat
ACAPKALI kita dengar seseorang memotivasi dengan mengatakan, “Apabila ingin menjadi penulis, segeralah menulis!” tanpa memberikan petunjuk, bagaimana seharusnya menulis. Percayalah, menulis tanpa tujuan yang jelas hanya akan membuang-buang waktu saja.
Mungkin si (calon) penulis sudah dapat ilham atau gagasan untuk tulisannya tersebut. Ia juga sudah membuat judul. Namun ketika dia akan menulis ternyata buntu pikirannya. Bolak-balik mencoba menuliskan beberapa kalimat, ternyata mentok. Dihapus dan diulangi lagi. Demikian seterusnya. Apa pasal?
Tiada lain lantaran si (calon) penulis tersebut tidak ada arah yang akan dituju untuk menetapkan pelabuhan tujuannya. Namun berbeda apabila tulisan itu sudah diketahui dari awal sampai akhir (terbayang di pikiran), barulah tulisan itu dapat dimulai.
Tujuan menulis suatu postingan bisa kita artikan pula sebagai apa yang hendak kita raih dari tulisan tersebut. Jika mau menulis tentang menjamurnya blog, misalnya, anda mungkin akan mengajak agar para blogger untuk senantiasa meng-update blognya secara kontinyu. Sebab dalam pengamatan anda, blog-blog yang tumbuh bak cendawan di musim penghujan itu, ternyata hanya fenomena sesaat. Orang berlomba-lomba membuat blog hanya untuk gagah-gagahan, agar nama si blogger tersebut terindeks mesin pencari dan sebagainya, yang setelah posting beberapa tulisan ditinggalkan begitu saja.
Ajakan secara halus agar para blogger senantiasa meng-update tulisannya secara kontinyu itu merupakan tujuan dari postingan anda. Namun demikian, tujuan menulis dalam satu postingan merupakan “tujuan antara” saja. Ada tujuan yang jauh lebih besar, mulia dan luhur dari proses aktivitas menulis yang tiada henti itu.
Barangkali anda ingin agar menjadi pengarang besar di kelak kemudian hari. Yang bisa menghasilkan buku-buku bestselling. Barangkali pula anda ingin menjadi ilmuwan di bidangnya. Atau menjadi motivator jempolan di forum-forum seminar. Dan sebagainya. Itulah pelabuhan tujuan yang sedari awal musti ditetapkan.
Sudah barang tentu tatkala tujuan yang hendak diraih itu tercapai, anda menjadi penulis yang bermanfaat bagi sesamanya. Lantaran, jejak rekam anda dalam aktivitas menulis tersebut sudah diuji dan diakui oleh orang lain.
***
Berkenaan dengan pokok masalah di atas, banyak penulis sukses memulai persiapan menulisnya dengan membuat kerangka tulisan lebih dahulu. Dalam penulisan fiksi semacam roman, novel atau cerpen maka karangka merupakan unsur sangat penting. Dari kerangka itu bisa ditulis garis besar bagaimana watak tokoh-tokoh yang akan ditampilkan, tempat-tempat kejadian dan suasana yang melingkupi tulisan tersebut.
Dalam penulisan fiksi kerangka (framework, outline, plan) dibuat seperlunya saja. Yang penting dari situ akan tampak jalan cerita dari awal hingga akhir. Kerangka diperlukan sebagai panduan agar saat menulis tidak ke luar jalur, akan tetapi lurus menurut yang diarahkan dalam kerangka tersebut.
Dengan adanya kerangka itu, maka akan tampak pula kejadian-kejadian yang sambung menyambung hingga tulisan fiksi itu tamat. Kejadian sambung menyambung seyogyanya mencapai klimaks. Sehingga bila diputus ceritanya, orang akan bertanya, “Bagaimana kelanjutannya?”
Di sinetron televisi atau film-film bioskop (berseri), acapkali kita melihat sebuah cerita dihentikan justru pada saat kita ingin mengetahui bagaimana kelanjutannya. Itu tiada lain sutradara memutuskan sinetron atau film pada suatu klimaks. Dengannya penonton musti menunggu dengan berdebar-debar bagaimana kelanjutannya.
Segi lain di luar masalah pentingnya kerangka dalam penulisan fiksi , yakni adanya “unsur tiba-tiba “atau “unsur tidak terduga”. Dalam bahasa Inggris disebut sebagai element of surprise. Contohnya, balas dendam yang aneh tokoh Keiko dalam novel Keindahan dan Kesedihan karya Yanunari Kawabata, misalnya, merupakan “unsur tiba-tiba” dan “unsur tidak terduga” yang menyentak pembaca novel tersebut.
Menulis non fiksi, saya rasa juga memerlukan kerangka. Walaupun tidak mutlak. Di luar kerangka, apabila kita membuat artikel atau esei, agar lebih akurat diperlukan catatan-catatan (dapat berupa suatu kutipan atau suatu referensi).
Catatan dalam penulisan artikel atau esei bisa berupa informasi baru mengenai tema yang akan ditulis. Namun bisa pula didasarkan suatu bacaan atau pengalaman yang pernah kita alami. Jika anda seorang pengarsip yang baik, maka catatan atas suatu kejadian masa lalu tentunya ditulis dalam buku agenda atau diary. Namun bisa pula catatan itu masih mengawang-awang di benak pikiran. Apabila berdasarkan ingatan, sudah barang tentu pula diverifikasi untuk menghindari kesalahan saat penulisan.
***
Kembali ke fokus bahasan, hendaknya sedari awal menetapkan pelabuhan tujuan dalam menulis. Dengan pelabuhan tujuan yang jelas, saat bahtera yang akan dikemudikan itu (aktivitas menulis) terombang-ambing di lautan, anda tetap konsisten mengarahkan bahtera menuju pelabuhan harapan.
*****
Bersambung Bagian 3: Kunci Utamanya Disiplin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H