***
Menyimak proses lahirnya puisi Rakyat berdasarkan penuturan penulisnya di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam mencipta seorang penulis dituntut untuk mengasah kepekaannya dengan memperhatikan segala hal yang bisa ditangkap melalui pancaindera. Dengan membaca, melihat, mendengar, merasai, dan membaui fenomena sosial yang ada di sekelilingnya. Dengannya seorang penulis tidak mungkin kekeringan sumber ilham.
Apabila ada seorang penulis yang menyatakan dirinya kekeringan ide, itu sebenarnya pernyataan kurang tepat. Mengalami kebuntuan ide, mungkin, sebagaimana pernah dialami Hartojo Andangdjaja tatkala ia menulis puisi Rakyat di atas. Sebab, jika kekeringan ide maka sesungguhnya si penulis telah menutup rapat-rapat pancaindera yang dimilikinya....
***
SEKILAS PROFIL HARTOJO ANDANGDJAJA:
Dilahirkan di Solo, Jawa Tengah, pada 4 Juli 1930. Ia dan meninggal di kota kelahirannya Solo pada 30 Agustus 1991. Karya-karya aslinya: Simphoni Puisi (1954; bersama D.S. Moeljanto), Manifestasi (1963; bersama Goenawan Mohamad, et. al.), Buku Puisi (1973), Dari Sunyi ke Bunyi (1991; kumpulan esai peraih hadiah Yayasan Buku Utama Depdikbud 1993). Karya-karya terjemahannya: Tukang Kebun (1976; Rabindranath Tagore), Kubur Terhormat bagi Pelaut (1977; Slauerhoff), Rahasia Hati (1978; Natsume Soseki), Musyawarah Burung (1983; Farid al-Din Attar), Puisi Arab Modern (1984), Kasidah Cinta ( tentang puisi sufi Jallaludin Rumi).
*****
Sumber Foto: Klik Sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H