Mohon tunggu...
Dwiki Setiyawan
Dwiki Setiyawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

#Blogger #Solo #Jakarta | Penyuka #Traveling #Sastra & #Politik Indonesia| Penggiat #MediaSosial; #EventOrganizer; #SEO; http://dwikisetiyawan.wordpress.com https://www.facebook.com/dwiki.setiyawan http://twitter.com/dwikis

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Bertualang Sebagai Penumpang Gelap di Lokomotif Kereta Api Argolawu

29 Oktober 2009   03:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:30 5332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_2909" align="alignleft" width="300" caption="Lokomotif Kereta Api Argo Lawu (http://media.photobucket.com/image/lokomotif)"][/caption]

PENGALAMAN satu lagi yang cukup langka. Mendebarkan. Kalau saat ini mau melakukan kembali barangkali saya harus berpikir seribu kali. Disamping cukup beresiko tinggi, mungkin dengan melihat keadaan fisik diri saat ini nampaknya juga harus tahu diri.

Kisah ini berkaitan dengan soal persalinan kedua sang istri. Akhir tahun 1999, istri mengandung anak kedua. Usia kehamilan 6 bulan. Entah mengapa, dengan alasan agar dekat dengan keluarga besar dan udara kampung yang masih segar, istri bersikeras ingin melahirkan anak kedua di Yogyakarta. Saat itu, adik-adik ipar (tiga orang perempuan) di kampung Blawong Trimulyo Jetis Bantul belum berkeluarga. Sementara anak pertama yang lahir di Jakarta pada April 1998 usianya kurang lebih satu setengah tahun. Alasan yang bisa diterima, mungkin adik-adik ipar bisa membantu kerepotan semacam itu.

Jadilah pada bulan Januari tahun 2000 saya mengantar istri pulang ke Yogyakarta untuk mempersiapkan kelahiran anak kedua itu. Dari sinilah, saya awali sebuah petualangan cukup mendebarkan berpetualang naik kereta api Jakarta-Yogyakarta bersama masinis di lokomotif kereta Argolawu. Bukan hanya sekali, namun berkali-kali. Kereta eksekutif ini dipilih lantaran dia satu-satunya kereta api yang berangkat malam dan paling akhir dari stasiun Gambir. Jarang berhenti dan begitu kalau tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta masih pagi.

Sejak akhir Januari hingga Juni 2000, setiap dua minggu sekali (kadang seminggu sekali) saya 'olah raga jantung' Jakarta-Yogyakarta. Berangkat hari Jum'at selepas Magrib dari kantor di kawasan Senayan langsung ke stasiun Gambir. Dan tepat pukul 21.00 wib, sudah nangkring bersama masinis di lokomotif Argolawu meninggalkan emplasemen stasiun Gambir menuju Yogyakarta. Itu ritual berangkatnya.

Sedang dari Yogyakarta, kembali ke Jakarta bukan lagi naik Argolawu melainkan Kereta Api Senja Bisnis Yogyakarta yang meninggalkan stasiun Tugu pada kurang lebih pukul 18.00 wib. Di lokomotif juga? Bukan. Melainkan di gerbong barang kereta tersebut yang kalau dari Yogyakarta letak gerbong paling belakang. Persis dibelakang gerbong diesel! Di situ, sudah banyak 'teman-teman' yang saban minggu juga bolak-balik Jakarta-Yogyakarta lantaran keluarganya di desa. Mula pertama terasa bising oleh suara mesin diesel. Namun lama kelamaan juga terbiasa. Tetap bisa tidur nyenyak.

Mengapa hal demikian saya lakukan? Pangkal soalnya semata-mata soal "penghematan". Mengikuti prinsip ekonomi: mendapatkan hasil maksimal dengan biaya minimal. Dengan cara menghindar beli karcis resmi yang kalau tidak salah saat itu Argolawu bertarif Rp 100 ribu lebih. Dengan naik di lokomotif, saya cukup membayar Rp 30 s.d Rp 40 ribu. Pikir saya, lha wong sama-sama ke Yogyakarta-nya. Lagi pula selisih antara membeli harga karcis resmi dengan "nembak" di atas lokomotif cukup besar kala itu. Dan lumayan buat "nambah gizi" istri di kampung. Pun demikian, juga "sedekah" buat si masinisnya. :)

Gimana tekniknya bisa naik ke lokomotif? Sesampai di stasiun Gambir, untuk mengelabui petugas jaga karcis, saya hanya membeli karcis peron. Kadang kalau terburu-buru, saya hanya bilang pada petugas di pintu masuk, "Pak, ada barang saya tadi yang ketinggal di cafetaria atas". Yang penting bisa sampai di atas. Lolos dari situ belum berarti kondisi aman. Masih ada tahap selanjutnya.

Penjagaan polisi khusus kereta api Argolawu agak ketat. Untuk bisa naik ke lokomotif harus kucing-kucingan. Berjalan dulu ke arah selatan mencari lokomotif sambil lihat-lihat ke belakang. Bila merasa aman, tinggal kasih kode pada masinis yang sedang bertugas dan biasanya sebelum kereta berangkat salah satu masinis berada di luar lokomotif.

Naik ke lokomotif saja harus menunggu beberapa saat setelah ada pemberitahuan dari mikrofon atau TOA bahwa kereta akan segera berangkat. Kalau nekat sebelum itu, dan mendekam di lokomotif kadang bisa kena razia polisi khusus yang menginspeksi lokomotif. Saya pernah juga gagal pulang ke Yogyakarta dan harus kembali ke rumah di bilangan Pasar Rebo Jakarta Timur lantaran terjaring razia polisi khusus kereta api. Beruntung hanya diperingatkan. Tidak sampai urusan yang lebuh jauh lagi.

Kabin lokomotif Argo Lawu cukup lapang. Ada ruang cukup untuk rebahan berselonjor di belakang kemudi masinis. Lokomotifnya sendiri dikendalikan dua orang: masinis dan co-masinis. Kereta ini berhenti di Stasiun Cirebon, lantaran dari stasiun ini ada pergantian masinis. Bayar lagi? Ya tidak. Mungkin soal ini sudah diselesaikan secara adat oleh masinis sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun