Korea Selatan atau rakyatnya menyebut negeri mereka sebagai Hanguk adalah sebuah negara berdaulat yang terletak di kawasan Asia Timur. Negara yang beribukotakan di Seoul ini berbatasan secara langsung dengan ‘saudaranya’, Korea Utara, di arah utara, Laut Kuning di barat, berbatasan dengan Laut Jepang di timur, dan Laut China Timur di sebelah selatan. Korea Selatan memang dikenal dengan sejarah panjang dalam urusan kenegaraannya. Negara yang saat ini dipimpin oleh Presiden Yoon Suk-Yeol pada awalnya tak berbeda dengan gambaran negara-negara Asia lainnya — miskin dan terbelakang. Namun, stigma tersebut perlahan pudar di negara ini, ditandai dengan transformasi ekonomi yang sebelumnya berupa masyarakat tradisional yang bertumpu pada sektor agraris menjadi negara yang berorientasikan industri dan manufaktur pada era tahun 1960-an di bawah kepemimpinan militeristik Park Chung-hee. Perubahan inilah yang kelak akan menjadi pondasi dasar dalam pembangunan Korea Selatan di berbagai bidang yang dampaknya dapat terlihat hingga sekarang.
Pada era kontemporer ini, Korea Selatan dianggap sebagai salah satu negara yang memiliki pengaruh besar di dunia, terkhusus di Asia Pasifik. Pemerintah Korea Selatan memainkan peran vital dalam mendukung keberlangsungan hal ini, di mana pengaruh tersebut secara spesifik bersumber dari budayanya — pop culture. Saat ini, budaya populer Korea Selatan telah menjadi suatu komoditas yang hadir dan terdifusi dengan masif di berbagai penjuru negara di dunia secara global. Berbagai bentuk budaya populer yang berasal dari negara Korea Selatan memiliki sebuah istilah dalam penyebutannya, yaitu Hallyu atau Korean Wave. Sejatinya, kata Hallyu berasal dari bahasa Mandarin yang pada mulanya digunakan untuk menyebut budaya Korea saat fase awal masuknya acara televisi Korea beserta pengaruhnya di kalangan masyarakat lokal Tiongkok pada akhir 1990-an (Kim & Jaffe, 2010). Namun, dalam perkembangannya, Hallyu memperoleh kesuksesan secara regional di kawasan Asia Timur dan lebih jauh lagi berevolusi menjadi sebuah fenomena internasional pada saat penyebarannya meliputi negara-negara di kawasan Asia Pasifik dan berbagai belahan dunia lainnya (Kim & Marinescu, 2015). Pada fase ini pengaruh dari Hallyu telah bersifat global dan dapat dirasakan hampir di seluruh negara di dunia.
Penggunaan istilah Hallyu saat ini merujuk pada bermacam-macam wujud kebudayaan yang berasal dari Korea Selatan, mulai dari serial drama dan film, industri kosmetik, tren fesyen dan kecantikan, tradisi dan gaya hidup, makanan khas, dan tentunya kepopuleran musik K-pop (Romano, 2018). Tren Hallyu juga dipandang sebagai sebuah fenomena yang inklusif. Hal ini dapat dibuktikan dari bagaimana tren ini berkaitan erat dengan proses globalisasi dan terasosiasi langsung dengan beberapa unsur lain dalam fokus ekspor Korea Selatan, yakni korporasi Samsung, Hyundai, dan LG sebagai nation-branding . Fakta ini mengindikasikan bahwasanya penyebaran Hallyu tak terbatas pada bagaimana budaya Korea dan pengaruhnya terdiaspora ke seluruh dunia saja. Namun, juga tentang bagaimana Hallyu sebagai strategi dan stimulus Korea Selatan dalam menyebarluaskan karakteristik serta identitas mereka sebagai sebuah bangsa yang besar, di mana hal tersebut akan berimplikasi secara positif terhadap proyeksi dan eskalasi hubungan luar negeri Korea Selatan di panggung politik global. Dengan demikian, akan lebih tepat jika kita menyebut Hallyu sebagai salah satu bentuk soft power dari diplomasi budaya yang diimplementasikan Korea Selatan. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, keberadaan Hallyu adalah sebagai sarana dalam pembentukan citra Korea Selatan. Maka dari itu, muatan yang terkandung dalam konten-konten dan unsur budaya populer Korea Selatan sebisa mungkin harus dapat membangun citra positif terhadap negaranya. Dengan eksistensi Hallyu yang semakin nyata, masyarakat di negara lain dapat terpikat dan pada akhirnya berkeinginan untuk mengetahui dan mempelajari tentang Korea Selatan secara lebih lanjut (Kim, 2016). Beberapa titik puncak dari Hallyu sebagai fenomena global dapat diamati melalui Parasite (2019) — film pemenang berbagai kategori Academy Awards, BTS yang secara konsisten memuncaki Billboard Hot 100 melalui berbagai rilisannya, hingga lagu Gangnam Style milik PSY yang sempat membuat seluruh dunia heboh dan ikut bergoyang pada 2012 silam.
Untuk memahami perkembangan Hallyu sebagai sebuah fenomena internasional secara lebih komprehensif, sudah sepatutnya kita turut memahami linimasa sejarah dari negara Korea Selatan sendiri. Bagaimana Hallyu yang pada mulanya hanya sebatas konsumsi domestik dapat bertransformasi dan mengakar secara kuat sebagai sebuah fenomena yang memengaruhi masyarakat global? Untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan kilas balik sejarah menuju Korea Selatan pada masa lampau. Landasan dasar dari Korean Wave sendiri lahir dari karakteristik budaya Korea yang memiliki kohesi kuat terhadap musik dan tarian (Jang & Paik, 2012). Keberadaan Hallyu sendiri berkaitan erat dengan salah satu periode sejarah Korea Selatan, The Sixth Republic. Istilah ini merujuk pada fase transisi Korea Selatan dari pemerintahan otoriter menuju demokrasi yang jauh lebih terbuka terhadap dunia luar (Srinivas, 2021). Korea Selatan pada saat itu memiliki dua pokok tujuan nasional, yaitu membangun kekuatan ekonomi dan memperbaiki citra secara global dan pada saat yang bersama menjalin hubungan dengan negara-negara di dunia. Di sanalah Hallyu muncul sebagai jawaban untuk mendukung realisasi terhadap dua tujuan utama negara tersebut.
Kerangka Teoritis: Soft Power dan Public Diplomacy
Dalam Studi Hubungan Internasional, power adalah suatu konsep krusial yang dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memengaruhi pihak lain guna mencapai hasil ideal (Nye, 2008). Pada artikel ini, penulis hanya berfokus pada penggunaan terminologi soft power oleh Joseph Nye yang nantinya akan melahirkan istilah diplomasi budaya sebagai bagian dari diplomasi publik. Mengutip dari Gomichon (2013), Nye mengatakan dalam bukunya The Future of Power, konsep soft power identik dengan paradigma liberalisme dalam HI, meskipun memang masih sejalan dengan pandangan dasar realisme tentang power. Berlawanan dengan hard power, soft power sendiri tidak memberi penekanan pada posibilitas perang, akan tetapi justru malah mempromosikan kerja sama antar negara melalui kekuatan ide atau gagasan.
Penting untuk diketahui, bahwasanya untuk mencapai kepentingan nasional suatu negara, tidaklah efektif apabila hanya melalui pemaksaan dari ancaman bersifat militeristik. Untuk itu, perlu adanya pengoptimalan soft power sebagai sebuah agenda dalam mencapai tujuan dan menyebarkan pengaruh yang akan diterima dengan sukarela, tanpa ada paksaan. Nye (2008) mendefinisikan soft power sebagai kemampuan dalam pemenuhan tujuan-tujuan tertentu melalui atensi yang dibentuk, alih-alih upaya koersif. Artinya, soft power sendiri adalah kemampuan negara dalam memaksimalkan daya tariknya dan membentuk citra atau pandangan dunia internasional terhadap dirinya. Sebagai permisalan, negara A menggunakan soft power untuk menggerakkan negara B dalam rangka memenuhi kepentingan nasionalnya, tanpa harus memaksa negara B melakukan apa yang bertentangan dengan kepentingan negara B itu sendiri karena adanya kesepahaman melalui konsep soft power. Terlebih lagi, soft power bukan sekadar pengaruh, melainkan sumber yang memantik pengaruh itu sendiri (Nye, 2008).
Diplomasi publik adalah salah satu instrumen yang perannya sangat penting dalam kerangka besar soft power (Melissen, 2005). Diplomasi publik sebagai cabang dari disiplin ilmu politik dan hubungan internasional yang fokus studinya meninjau terhadap rangkaian proses dan praktik yang dilakukan oleh negara atau aktor internasional lainnya dalam melibatkan publik global demi mencapai kepentingannya. Secara terminologis, diplomasi publik diartikan sebagai upaya legal dari suatu negara dalam melakukan diplomasi berupa komunikasi dengan pendekatan langsung terhadap publik atau masyarakat di negara lain (Britannica, 2017). Pada akhirnya, diplomasi publik menjadi suatu instrumen esensial bagi aktor internasional dalam mengoptimalisasikan soft power-nya dalam rangka mencapai tujuan dan kepentingan tertentu melalui proses yang damai, dan sarat akan pembentukan citra positif di mata publik internasional. Bentuk diplomasi ini ditujukan untuk mendikte opini masyarakat global terkait negara tersebut, sesuai dengan tujuan atau agenda dari pemerintahannya. Namun, perlu digarisbawahi, diplomasi publik memerlukan pemahaman kompleks dari masyarakat sipil dan tidak bisa disamakan dengan propaganda. Apabila diplomasi publik telah berubah bentuk menjadi propaganda, hal ini justru akan cenderung melemahkan soft power (Nye, 2008).
Potensi soft power pada sebuah negara dapat muncul dari sumber gagasan atau nilai yang ada di negara tersebut, dalam hal ini bagaimana negara mengutarakan kepentingan nasional, salah satunya melalui aspek kebudayaan (Nye, 2008). Untuk meningkatkan efektivitas dari sumber daya yang potensial berupa kebudayaan ini, negara melakukan diplomasi kebudayaan sebagai bentuk dari diplomasi publik. Diplomasi budaya adalah tentang bagaimana negara mengoptimalkan penggunaan sumber-sumber kebudayaannya untuk meraih tujuan kebijakan luar negeri (Clarke, 2020). Sebagaimana diplomasi publik, diplomasi budaya dilakukan sebagai perwujudan identitas nasional langsung kepada masyarakat, bukan antarpemimpin.
Implementasi Hallyu sebagai Soft Power dalam Diplomasi Budaya Korea Selatan
Korea Selatan sebagai aktor internasional telah merealisasikan nilai budaya sebagai kerangka dasar dalam praktik hubungan luar negerinya. Hal ini terefleksikan dari penggunaan elemen-elemen dalam budaya populernya sebagai penggerak dalam diplomasi budaya terhadap negara lain. Diplomasi budaya yang diadopsi oleh pemerintah Korea Selatan diultilisasi guna membentuk citra positif negaranya pada level internasional. Pembentukan citra yang baik ini secara tidak langsung akan memudahkan Korea Selatan dalam menjalin hubungan dan kerja sama regional maupun internasional. Elemen fundamental lainnya dalam diplomasi budaya adalah adanya promosi atas penggunaan dan penyebaran bahasa nasional (Pajtinka, 2014). Hal ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Korea Selatan. Pada saat beberapa ekspor budaya populer oleh negara lain melakukan berbagai penyesuaian agar dapat diterima secara global, Hallyu tidak demikian — mereka tetap teguh dengan penggunaan bahasa Korea dan tulisan Hangeul dengan sedikit tambahan kosakata serapan dan bahasa asing. Bahkan, Presiden Moon Jae-in secara terang-terangan menyebut Hangeul memang sebagai soft power yang digunakan dalam diplomasi budaya Korea — buntut dari penambahan 26 kosakata Korea ke dalam Oxford English Dictionary (Srinivas, 2021).
Pendekatan dan penggunaan soft power di satu sisi telah merefleksikan perkembangan dinamika hubungan internasional. Saat ini, negara-negara menjadikan soft power sebagai ajang perlombaan untuk menanamkan pengaruhnya secara global. Korea Selatan adalah contoh yang tepat dalam kasus ini. Negara ini mengoptimalkan potensi soft power melalui penyebarluasan budaya populernya yang disebut sebagai Hallyu melalui implementasi diplomasi budaya. Tentunya, peran pemerintah dalam memfasilitasi hal ini juga sangat fundamental. Pemerintah Korea Selatan secara konsisten terus menunjukkan dukungannya terhadap Hallyu. Pernyataan ini terefleksikan dari kesamaan unsur pidato terkait konteks budaya yang dilakukan oleh presiden Korea Selatan dari ke masa-masa, yaitu adanya implikasi Hallyu sebagai sumber soft power yang dimaksimalkan negara melalui diplomasi budaya. Korean Wave atau Hallyu sebagai sarana diplomasi budaya telah membawa berbagai pengaruh terhadap Korea Selatan sendiri dan dinamika hubungannya dengan negara lain.
Dari perspektif Korea Selatan sendiri, Hallyu telah menjadi citra nasional yang eksistensinya ada pada berbagai aspek dan bersifat kontinu — tidak lagi terbatas pada kebudayaan belaka. Pada saat ini, K-pop sebagai salah satu elemen dalam Hallyu telah berevolusi pada level yang lebih kompleks. Kekuatan dari K-popers — sebutan untuk penggemar K-pop, telah jauh melampaui sebatas industri musik. Melalui jaringan digital yang masif dan kuat, kini banyak penggemar K-pop yang turut menyuarakan perhatian atau memberikan dukungannya pada berbagai gerakan sosial dan aksi pro-lingkungan di masyarakat, misalnya pada saat masifnya gerakan Black Lives Matter dan Stop Asian Hate beberapa tahun lalu (Liu et al., 2021). Selain itu, Hallyu juga dipandang sebagai sebuah unsur yang akan selalu melekat dengan negara Korea Selatan dalam jangka waktu yang panjang. Hal ini terlihat dari penambahan huruf “K” pada awalan nama industri-industri penting Korea Selatan sebagai identitas nasional, seperti misalnya liga sepakbola K-League dan K-food untuk makanan. Terlebih lagi, Presiden Korea Selatan saat itu, Moon Jae-in, menyebut karantina dan segala bentuk strategi penanganan pandemi Covid-19 di negaranya sebagai “K-Quarantine” (Srinivas, 2021). Hal-hal seperti ini tentu tidak akan bisa terwujud apabila tidak ada peran pemerintah di dalamnya. Hallyu juga disebut sebagai upaya empirik pemerintah dalam meningkatkan nasionalisme warga negara melalui pengembangan budaya (Kang, 2015).
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, pemerintah Korea Selatan telah menunjukkan keseriusannya dalam mendukung penyebaran Hallyu. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator dan promotor dalam penggunaan Hallyu sebagai diplomasi budaya guna meningkatkan citra negaranya secara global. Hallyu sebagai sumber soft power dalam penerapan diplomasi budaya adalah hal yang sifatnya resmi atau legal di Korea Selatan. Hal ini dikoordinir oleh Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan serta Dewan Presiden untuk Citra Nasional sebagai martir utama dalam penerapan Hallyu sebagai diplomasi budaya (Jang & Paik, 2012). Bahkan, mengutip dari Srinivas (2021), pada tahun 2020, Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata Korea Selatan sempat memberikan pengumuman tentang pendirian departemen Hallyu di bawah naungannya.
Pemerintah Korea Selatan secara aktif mendukung penyebaran Hallyu sebagai diplomasi budaya melalui pengadaan acara kesenian, festival, musik, dan film berstandar internasional di beberapa negara. Pemerintah Korea Selatan yang dulu relatif pasif dalam mendukung Hallyu, sementara kini terkesan lebih aktif dalam prosesnya. Menurut Gibson (2020), akan lebih mudah bagi pemerintah Korea Selatan untuk mengkonversi Hallyu yang telah tersebar secara global menjadi soft power melalui metode dukungan yang bersifat indirect. Keikutsertaan pemerintah Korea Selatan dalam mempromosikan budaya populernya membuat mereka melibatkan unsur-unsur budaya populer secara langsung ke dalam beberapa proses diplomasi tradisional. Hal ini secara nyata dapat diamati pada proses upaya perdamaian Semenanjung Korea melalui Deklarasi Panmunjom 2018 silam. Saat itu, Presiden Moon menggandeng superstar K-pop, Red Velvet dan penyanyi Baek Ji-young untuk tampil di hadapan Kim Jong-Un dan ratusan masyarakat Korea Utara pada sebuah konser di Pyongyang. Lalu, ada juga BTS yang tampil sebagai pembicara pada Sidang Majelis Umum PBB tahun 2021. Mereka membawa pesan mengenai urgensi SDGs tahun 2030 sebagai utusan resmi dari presiden. Hal ini tentunya menarik atensi komunitas internasional, khususnya para penggemar. Peristiwa ini dinilai sebagai contoh sempurna dalam penerapan Hallyu sebagai soft power melalui diplomasi budaya. Pasalnya, pemerintah Korea Selatan di sini bukan seperti membonceng kebijakan luar negerinya, melainkan lebih berfokus pada minat dan perhatian masyarakat global terhadap elemen budayanya.
Implikasi Hallyu terhadap Hubungan Bilateral Korea Selatan di Kawasan Asia Pasifik
Deretan fakta-fakta diatas telah menegaskan eksistensi Hallyu sebagai diplomasi budaya yang dilakukan oleh Korea Selatan. Diplomasi budaya yang diterapkan tentunya memberikan dampak dan pengaruh tertentu pada dunia internasional. Pengaruh yang ditimbulkan bervariasi di berbagai negara di dunia, tetapi pada umumnya, strategi Korea Selatan menerapkan diplomasi budaya dalam bentuk penyebaran Hallyu berefek positif. Lebih jauh lagi, eksistensi dan pengaruh Hallyu di suatu negara juga memengaruhi hubungan negara tersebut dengan Korea Selatan. Sebagai contoh, di Taiwan, kesan terhadap negara Korea Selatan tidak terlalu bagus dan cenderung buruk pasca pemutusan hubungan diplomatik tahun 1992. Tingginya konsumsi budaya populer Korea di kalangan masyarakat Taiwan sejak awal tahun 2000-an telah menghapus pandangan negatif penduduk lokal terhadap Korea Selatan (Sung, 2010). Reaksi positif ini terus berlanjut hingga masa sekarang, terlebih dengan hadirnya representatif Taiwan dalam dunia industri kreatif Korea Selatan, misalnya Tzuyu dari girl group Twice. Hal-hal tersebut telah membuka peluang untuk rekonstruksi hubungan bilateral kedua entitas yang renggang akibat pemutusan hubungan diplomatik.
Di Tiongkok, eksistensi Hallyu diibaratkan sebagai pisau bermata dua. Popularitas Hallyu di Negeri Tirai Bambu telah mengubah perspektif masyarakat Tiongkok mengenai Korea Selatan menjadi lebih baik. Selain itu, Hallyu menjadi pengingat akan kesamaan akar budaya oriental kedua negara ini sehingga keterhubungan transnasional antara Korea Selatan dan Tiongkok dapat terkonstruksi dengan baik. Namun, di sisi lain Korean Wave juga berpotensi memberikan efek bumerang berupa kebangkitan ultranasionalisme yang temperamental di Tiongkok. Hal ini terefleksikan saat terjadinya ketegangan diplomatik antara dua negara. Misalnya saat Korea Selatan merampungkan pemasangan rudal AS sebagai elemen pertahanan nasional. Tiongkok melakukan protes dengan cara membatasi kuantitas ekspor budaya dan pariwisata kreatif dari Korea Selatan yang masuk ke negaranya (Gibson, 2020).
Sementara di Jepang, Hallyu bukan merupakan hal yang baru. Berdasarkan pandangan dari beberapa ahli di Korea Selatan, Jepang sendiri merupakan pasar luar negeri paling dominan dan potensial untuk K-pop sebelum terjadinya penyebaran ke AS dan Eropa. Hallyu, khususnya K-pop, memang sudah mendapatkan tempatnya tersendiri di masyarakat Jepang. Hal ini dilihat dari kepopuleran penyanyi solo BoA, Girls Generation, dan saat ini Twice. Banyaknya artis Jepang yang berkarir di industri musik Korea Selatan juga menjadi latar belakang hal ini. Namun, bukan berarti Hallyu sebagai instrumen diplomasi budaya Korea Selatan di Jepang berhasil tanpa kendala. Dalam perkembangannya, ada banyak respon negatif terkait kepopuleran Hallyu di Jepang. Di sisi lain, masyarakat Korea Selatan juga seringkali tidak menerima keberadaan artis asal Jepang pada dunia industri kreatif. Sentimen ini mayoritas disebabkan adanya gesekan masa lalu tentang kenangan buruk pada masa pendudukan Jepang di Korea. Hal ini tergambar dengan jelas pada saat penandatanganan perjanjian untuk inisiasi hubungan Jepang-Korea Selatan tahun 1965, di mana saat itu sekelompok orang di Korea Selatan menolak dan tidak mengakuinya (Lux, 2021). Secara terpisah, berbagai upaya penolakan terhadap elemen Hallyu atau disebut anti-Korean Wave telah tersebar di Jepang. Demonstrasi 6000 masyarakat Jepang yang menuntut Fuji TV untuk mengurangi jam tayang K-drama pada tahun 2010 dan aksi boikot terhadap aktris Kim Tae-hee terkait isu sengketa pulau Takeshima/Dokdo adalah dua dari banyak peristiwa terkait hal ini. Sejauh ini, Hallyu sebagai alat diplomasi budaya tak banyak berpengaruh pada hubungan Jepang-Korea Selatan.
Pengaruh Hallyu sebagai diplomasi budaya Korea Selatan tidak hanya terbatas di Asia Timur saja, melainkan juga di beberapa negara di regional lain — khususnya Asia Pasifik. Di Mongolia misalnya, Hallyu diterima dengan sangat baik oleh masyarakat lokal. Sejak awal, pandangan masyarakat Mongolia terhadap Korea Selatan memang sudah baik pasca keruntuhan Soviet dan dimulainya hubungan diplomatik resmi tahun 1990 (Kang et al., 2021). Strategi Korea Selatan dalam memanfaatkan tren Hallyu sebagai diplomasi budaya dinilai cukup berhasil di Mongolia. Kepopuleran Hallyu di Mongolia telah membawa dampak positif bagi hubungan kedua negara tidak hanya pada bidang sosial-politk dan ekonomi, tetapi juga bidang lingkungan. Pernyataan ini terkait dengan program kerja sama pada tahun 2017, “The Korea-Mongolia Green Belt Project” untuk mencegah fenomena desertifikasi di Mongolia.
Selaras dengan Mongolia, fenomena Hallyu sebagai diplomasi budaya di Malaysia berpengaruh cukup besar dalam perkembangan hubungan Malaysia-Korea Selatan. Hallyu secara nyata telah berkontribusi terhadap peningkatan level hubungan bilateral dan diplomatik kedua negara, khususnya di bidang sosiokultural dan ekonomi. Kesan positif mengenai Korea Selatan yang ditimbulkan oleh tren Hallyu telah mendorong ketertarikan masyarakat Malaysia terhadap budaya dan bahasa Korea. Terkait dengan hal ini, Hallyu juga berimplikasi pada aspek ekonomi, berupa peningkatan kuantitas konsumsi Malaysia atas produk-produk Korea Selatan dan jumlah wisatawan Malaysia yang menjadikan Negeri Ginseng sebagai destinasi wisata favorit. Keberhasilan kerja sama ini turut didorong oleh kebijakan “Look East” yang diterapkan Malaysia pada masa Perdana Menteri Mahathir Mohamad tahun 1982 (Lee & Hwang, 2012).
Di negara Asia Tenggara lain seperti Filipina dan Indonesia, keberadaan Hallyu pada umumnya diterima dengan baik dan bahkan cenderung menciptakan hibriditas. Di Filipina sendiri, popularitas Hallyu sukses membentuk citra positif Korea Selatan sebagai sebuah negara dalam sudut pandang masyarakat lokal (Igno & Cenidoza, 2016). Walaupun terdapat beberapa sentimen negatif, namun pada kenyataannya, Hallyu telah memengaruhi masyarakat Filipina pada banyak aspek kehidupan. Penerimaan ini menjadi salah satu formula dalam kelancaran hubungan bilateral kedua negara. Hal yang serupa berlaku di Indonesia. Indonesia menjadi salah satu konsumen terbesar dari produk-produk Hallyu, terlihat dari adanya pengaruh kuatnya pada industri hiburan Indonesia yang bisa diamati secara langsung, mulai dari K-pop, K-drama, K-food, K-beauty, dan produk digital seperti game. Pemerintah Korea Selatan berusaha mengembangkan keuntungan ini agar dapat berpengaruh positif terhadap perkembangan hubungan kedua negara. Langkah ini direalisasikan melalui pembangunan Korean Cultural Center Indonesia di Jakarta.
Korea Selatan telah mengambil langkah yang tepat dalam penggunaan Hallyu sebagai alat diplomasi budaya. Melalui paparan di atas terlihat bagaimana kesuksesan Hallyu dalam menciptakan persepsi global mengenai Korea Selatan dan membentuk citra yang positif. Hallyu telah memengaruhi aspek kehidupan publik di beberapa negara di dunia, selanjutnya turut memengaruhi level hubungan negara tersebut dengan Korea Selatan. Hal ini menegaskan peran Hallyu atau Korean Wave sebagai instrumen diplomasi budaya dari Korea Selatan.
Kesimpulan
Korea Selatan sebagai sebuah negara sekaligus aktor dalam dinamika hubungan internasional telah berhasil mengembangkan potensi yang dimiliki negaranya. Melalui kesadaran sipil dan dukungan pemerintah, Korea Selatan mengkonversi budaya populernya yang disebut Hallyu menjadi soft power sejati. Hallyu sebagai salah satu sumber soft power, sebagaimana yang telah disinggung tadi, dimanfaatkan dalam bentuk kebijakan diplomasi publik untuk membangun pandangan akan citra positif Korea Selatan di kalangan masyarakat global. Brand Hallyu yang diinisiasi pemerintah bekerja sama dengan pihak swasta akan menghasilkan kesan Korea Selatan sebagai mitra yang yang krusial bagi negara lain di dalam hubungan internasional (Walsh, 2014). Selanjutnya, eksistensi dan distribusi Hallyu akan menimbulkan pengaruhnya di beberapa negara di dunia dan turut memengaruhi hubungan yang terjalin antara negara penerima dan negara asal — Korea Selatan. Hubungan ini relatif memproduksi umpan balik yang tentatif bagi masyarakat asing, tetapi pada umumnya bersifat positif.
Hallyu sebagai strategi diplomasi publik tidak begitu saja beroperasi tanpa hambatan. Dalam hal ini, dikenal sebuah istilah dilema diplomasi budaya. Korea Selatan adalah contoh yang tepat untuk menganalisis dilema diplomasi budaya. Tujuan awal dari diplomasi budaya dengan pendekatan soft power adalah untuk memenuhi kepentingan nasional, tetapi di sisi lain juga harus dapat mengeliminasinya demi kebaikan bersama lewat pertukaran budaya (Ang et al., 2015). Namun, pada beberapa kesempatan, pemerintah Korea Selatan kurang cermat dalam memerhatikan hal ini, di mana mereka secara aktif terlalu memaksakan kepentingan nasional berupa motif politik dan ekonomi ke dalam produk budaya populernya. Hal ini berpotensi menimbulkan kesan buruk bagi pihak asing, terutama negara-negara terdekat di Asia Timur. Mereka bisa saja menganggap bahwa Hallyu telah ditransformasi menjadi sebuah propaganda. Dengan demikian, Korea Selatan akan dicap gagal dalam membangun citra positifnya sebagai “A Good Neighbor” karena kekentalan peranan pemerintah yang terlibat secara aktif. Inilah yang mengakibatkan munculnya backwash effect seperti gerakan anti-Hallyu di beberapa negara, misalnya Jepang.
Ditulis oleh Dwi Mughni Saddam Hanafiah dan Rafie Shalhan Fairza Irwin.
Daftar Pustaka:
Ang, I., Isar, Y. R., & Mar, P. (2015). Cultural diplomacy: Beyond the national interest? International Journal of Cultural Policy, 21(4), 365–381. https://doi.org/10.1080/10286632.2015.1042474
Britannica, T. Editors of Encyclopaedia (2017). public diplomacy. Encyclopedia Britannica. Retrieved June 28, from https://www.britannica.com/topic/public-diplomacy
Clarke, D. (2020). Cultural Diplomacy. Oxford Research Encyclopedia of International Studies. https://doi.org/10.1093/acrefore/9780190846626.013.543
Gibson, J. (2020). How South Korean pop culture can be a source of soft power - the case for South Korean Soft Power. Carnegie Endowment for International Peace. Retrieved June 28, from https://carnegieendowment.org/2020/12/15/how-south-korean-pop-culture-can-be-source-of-soft-power-pub-83411
Gomichon, M. (2013). Joseph Nye on Soft Power . E-International Relations, 1–5. https://www.e-ir.info/2013/03/08/joseph-nye-on-soft-power/
Han, H. J., & Lee, J. S. (2008). A study on the KBS TV dramawinter sonataand its impact on korea'shallyutourism development. Journal of Travel & Tourism Marketing, 24(2-3), 115–126. https://doi.org/10.1080/10548400802092593
Igno, J.-A. M., & Cenidoza, M. C. E., (2016). Beyond the “Fad”: Understanding Hallyu in the Philippines. International Journal of Social Science and Humanity, 6(9), 723–727. https://doi.org/10.18178/ijssh.2016.6.9.740
Jang, G., & Paik, W. K. (2012). Korean Wave as Tool for Korea’s New Cultural Diplomacy. Advances in Applied Sociology, 02(03), 196–202. https://doi.org/10.4236/aasoci.2012.23026
Kang, H. (2015). Contemporary cultural diplomacy in South Korea: Explicit and implicit approaches. International Journal of Cultural Policy, 21(4), 433–447. https://doi.org/10.1080/10286632.2015.1042473
Kang, M., Lee, J., Han, W., Rheem, S., Seok, J., & Chung, J. (2021). Hallyu in Mongolia : Its Meaning and Socio-Political Implications. Psychology and Education, 58(3), 789–801. Retrieved June 27 from https://www.readkong.com/page/hallyu-in-mongolia-its-meaning-and-socio-political-6157525
Kim, H. (2016). Surfing the korean wave: How K-pop is taking over the world. The McGill Tribune. Retrieved June 28, from https://www.mcgilltribune.com/a-e/surfing-the-korean-wave-how-k-pop-kpop-is-taking-over-the-world-012858/
Kim, Y. M., & Marinescu, V. (2015). Mapping South Korea’s soft power: Sources, actors, tools, and impact. Romanian Journal of Sociological Studies, 2015(1), 1-10. http://journalofsociology.ro/wp-content/uploads/2015/08/Full-text-pdf..pdf
Liu, M., Shin, Y., & Tan, S. (2021). Why is K-pop so popular? The Washington Post. Retrieved June 28, from https://www.washingtonpost.com/arts-entertainment/interactive/2021/kpop-bts-youtube-twitter-blackpink/
Lux, G. (2021). Cool Japan and the Hallyu Wave : The Effect of Popular Culture Exports on National Image and Soft Power. East Asian Studies Honors Paper. https://digitalcommons.ursinus.edu/eastasia_hon/3%0AThis
Melissen, J. (2005). The new public diplomacy: Soft Power in international relations. Palgrave Macmillan. Retrieved from https://link.springer.com/book/10.1057/9780230554931
Nye, J. S. (2008). Public diplomacy and soft power. Annalys of the American Academy of Political and Social Science, 616(1), 94–109. https://doi.org/10.1177/0002716207311699
Pramadya, T. P., & Oktaviani, J. (2016). Hallyu (Korean Wave) as Part of South Korea’s Cultural Diplomacy and Its Impact on Cultural Hybridity in Indonesia. Jurnal Dinamika Global, 1(01), 87–116. https://doi.org/10.36859/jdg.v1i01.16
Romano, A. (2018). How K-pop became a global phenomenon. Vox. Retrieved June 28, from https://www.vox.com/culture/2018/2/16/16915672/what-is-kpop-history-explained
Srinivas, S. (2021). On Hallyu and its global army: Soft Power Lessons from South Korea. ORF. Retrieved June 28, from https://www.orfonline.org/expert-speak/on-hallyu-and-its-global-army/
Sung, S. Y. (2010). Constructing a new image. Hallyu in Taiwan. European Journal of East Asian Studies, 9(1), 25–45. https://doi.org/10.1163/156805810X517652
Walsh, J. (2014). Hallyu as a government construct: The Korean wave in the context of economic and social development. The Korean Wave: Korean Popular Culture in Global Context, 13–31. https://doi.org/10.1057/9781137350282
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H