Mohon tunggu...
Dwi Mughni Saddam Hanafiah
Dwi Mughni Saddam Hanafiah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa tahun kedua di program studi Hubungan Internasional yang memiliki ketertarikan pada fenomena sosial-budaya.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menilik Efektivitas dan Pengaruh Hallyu dalam Diplomasi Budaya Korea Selatan di Kawasan Asia Pasifik

1 Juli 2023   22:52 Diperbarui: 2 Juli 2023   07:48 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Latar Belakang Eksistensi dan Penyebaran Hallyu 

Korea Selatan atau rakyatnya menyebut negeri mereka sebagai Hanguk adalah sebuah negara berdaulat yang terletak di kawasan Asia Timur. Negara yang beribukotakan di Seoul ini berbatasan secara langsung dengan ‘saudaranya’, Korea Utara, di arah utara, Laut Kuning di barat, berbatasan dengan Laut Jepang di timur, dan Laut China Timur di sebelah selatan. Korea Selatan memang dikenal dengan sejarah panjang dalam urusan kenegaraannya. Negara yang saat ini dipimpin oleh Presiden Yoon Suk-Yeol pada awalnya tak berbeda dengan gambaran negara-negara Asia lainnya — miskin dan terbelakang. Namun, stigma tersebut perlahan pudar di negara ini, ditandai dengan transformasi ekonomi yang sebelumnya berupa masyarakat tradisional yang bertumpu pada sektor agraris menjadi negara yang berorientasikan industri dan manufaktur pada era tahun 1960-an di bawah kepemimpinan militeristik Park Chung-hee. Perubahan inilah yang kelak akan menjadi pondasi dasar dalam pembangunan Korea Selatan di berbagai bidang yang dampaknya dapat terlihat hingga sekarang.

Pada era kontemporer ini, Korea Selatan dianggap sebagai salah satu negara yang memiliki pengaruh besar di dunia, terkhusus di Asia Pasifik. Pemerintah Korea Selatan memainkan peran vital dalam mendukung keberlangsungan hal ini, di mana pengaruh tersebut secara spesifik bersumber dari budayanya — pop culture. Saat ini, budaya populer Korea Selatan telah menjadi suatu komoditas yang hadir dan terdifusi dengan masif di berbagai penjuru negara di dunia secara global. Berbagai bentuk budaya populer yang berasal dari negara Korea Selatan memiliki sebuah istilah dalam penyebutannya, yaitu Hallyu atau Korean Wave. Sejatinya, kata Hallyu berasal dari bahasa Mandarin yang pada mulanya digunakan untuk menyebut budaya Korea saat fase awal masuknya acara televisi Korea beserta pengaruhnya di kalangan masyarakat lokal Tiongkok pada akhir 1990-an (Kim & Jaffe, 2010). Namun, dalam perkembangannya, Hallyu memperoleh kesuksesan secara regional di kawasan Asia Timur dan lebih jauh lagi berevolusi menjadi sebuah fenomena internasional pada saat penyebarannya meliputi negara-negara di kawasan Asia Pasifik dan berbagai belahan dunia lainnya (Kim & Marinescu, 2015). Pada fase ini pengaruh dari Hallyu  telah bersifat global dan dapat dirasakan hampir di seluruh negara di dunia.

Penggunaan istilah Hallyu saat ini merujuk pada bermacam-macam wujud kebudayaan yang berasal dari Korea Selatan, mulai dari serial drama dan film, industri kosmetik, tren fesyen dan kecantikan, tradisi dan gaya hidup, makanan khas, dan tentunya kepopuleran musik K-pop (Romano, 2018). Tren Hallyu juga dipandang sebagai sebuah fenomena yang inklusif. Hal ini dapat dibuktikan dari bagaimana tren ini berkaitan erat dengan proses globalisasi dan terasosiasi langsung dengan beberapa unsur lain dalam fokus ekspor Korea Selatan, yakni korporasi Samsung, Hyundai, dan LG sebagai nation-branding . Fakta ini mengindikasikan bahwasanya penyebaran Hallyu tak terbatas pada bagaimana budaya Korea dan pengaruhnya terdiaspora ke seluruh dunia saja. Namun, juga tentang bagaimana Hallyu sebagai strategi dan stimulus Korea Selatan dalam menyebarluaskan karakteristik serta identitas mereka sebagai sebuah bangsa yang besar, di mana hal tersebut akan berimplikasi secara positif terhadap proyeksi dan eskalasi hubungan luar negeri Korea Selatan di panggung politik global. Dengan demikian, akan lebih tepat jika kita menyebut Hallyu sebagai salah satu bentuk soft power dari diplomasi budaya yang diimplementasikan Korea Selatan. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, keberadaan Hallyu adalah sebagai sarana dalam pembentukan citra Korea Selatan. Maka dari itu, muatan yang terkandung dalam konten-konten dan unsur budaya populer Korea Selatan sebisa mungkin harus dapat membangun citra positif terhadap negaranya. Dengan eksistensi Hallyu yang semakin nyata, masyarakat di negara lain dapat terpikat dan pada akhirnya berkeinginan untuk mengetahui dan mempelajari tentang Korea Selatan secara lebih lanjut (Kim, 2016). Beberapa titik puncak dari Hallyu sebagai fenomena global dapat diamati melalui Parasite (2019) — film pemenang berbagai kategori Academy Awards, BTS yang secara konsisten memuncaki Billboard Hot 100 melalui berbagai rilisannya, hingga lagu Gangnam Style milik PSY yang sempat membuat seluruh dunia heboh dan ikut bergoyang pada 2012 silam.

Untuk memahami perkembangan Hallyu sebagai sebuah fenomena internasional secara lebih komprehensif, sudah sepatutnya kita turut memahami linimasa sejarah dari negara Korea Selatan sendiri. Bagaimana Hallyu yang pada mulanya hanya sebatas konsumsi domestik dapat bertransformasi dan mengakar secara kuat sebagai sebuah fenomena yang memengaruhi masyarakat global? Untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan kilas balik sejarah menuju Korea Selatan pada masa lampau. Landasan dasar dari Korean Wave sendiri lahir dari karakteristik budaya Korea yang memiliki kohesi kuat terhadap musik dan tarian (Jang & Paik, 2012). Keberadaan Hallyu sendiri berkaitan erat dengan salah satu periode sejarah Korea Selatan, The Sixth Republic. Istilah ini merujuk pada fase transisi Korea Selatan dari pemerintahan otoriter menuju demokrasi yang jauh lebih terbuka terhadap dunia luar (Srinivas, 2021). Korea Selatan pada saat itu memiliki dua pokok tujuan nasional, yaitu membangun kekuatan ekonomi dan memperbaiki citra secara global dan pada saat yang bersama menjalin hubungan dengan negara-negara di dunia. Di sanalah Hallyu muncul sebagai jawaban untuk mendukung realisasi terhadap dua tujuan utama negara tersebut.

Kerangka Teoritis: Soft Power dan Public Diplomacy

Dalam Studi Hubungan Internasional, power adalah suatu konsep krusial yang dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memengaruhi pihak lain guna mencapai hasil ideal (Nye, 2008). Pada artikel ini, penulis hanya berfokus pada penggunaan terminologi soft power oleh Joseph Nye yang nantinya akan melahirkan istilah diplomasi budaya sebagai bagian dari diplomasi publik. Mengutip dari Gomichon (2013), Nye mengatakan dalam bukunya The Future of Power, konsep soft power identik dengan paradigma liberalisme dalam HI, meskipun memang masih sejalan dengan pandangan dasar realisme tentang power. Berlawanan dengan hard power, soft power sendiri tidak memberi penekanan pada posibilitas perang, akan tetapi justru malah mempromosikan kerja sama antar negara melalui kekuatan ide atau gagasan.

Penting untuk diketahui, bahwasanya untuk mencapai kepentingan nasional suatu negara, tidaklah efektif apabila hanya melalui pemaksaan dari ancaman bersifat militeristik. Untuk itu, perlu adanya pengoptimalan soft power sebagai sebuah agenda dalam mencapai tujuan dan menyebarkan pengaruh yang akan diterima dengan sukarela, tanpa ada paksaan. Nye (2008) mendefinisikan soft power sebagai kemampuan dalam pemenuhan tujuan-tujuan tertentu melalui atensi yang dibentuk, alih-alih upaya koersif. Artinya, soft power sendiri adalah kemampuan negara dalam memaksimalkan daya tariknya dan membentuk citra atau pandangan dunia internasional terhadap dirinya. Sebagai permisalan, negara A menggunakan soft power untuk menggerakkan negara B dalam rangka memenuhi kepentingan nasionalnya, tanpa harus memaksa negara B melakukan apa yang bertentangan dengan kepentingan negara B itu sendiri karena adanya kesepahaman melalui konsep soft power. Terlebih lagi, soft power bukan sekadar pengaruh, melainkan sumber yang memantik pengaruh itu sendiri (Nye, 2008).

Diplomasi publik adalah salah satu instrumen yang perannya sangat penting dalam kerangka besar soft power (Melissen, 2005). Diplomasi publik sebagai cabang dari disiplin ilmu politik dan hubungan internasional yang fokus studinya meninjau terhadap rangkaian proses dan praktik yang dilakukan oleh negara atau aktor internasional lainnya dalam melibatkan publik global demi mencapai kepentingannya. Secara terminologis, diplomasi publik diartikan sebagai upaya legal dari suatu negara dalam melakukan diplomasi berupa komunikasi dengan pendekatan langsung terhadap publik atau masyarakat di negara lain (Britannica, 2017).  Pada akhirnya, diplomasi publik menjadi suatu instrumen esensial bagi aktor internasional dalam mengoptimalisasikan soft power-nya dalam rangka mencapai tujuan dan kepentingan tertentu melalui proses yang damai, dan sarat akan pembentukan citra positif di mata publik internasional. Bentuk diplomasi ini ditujukan untuk mendikte opini masyarakat global terkait negara tersebut, sesuai dengan tujuan atau agenda dari pemerintahannya. Namun, perlu digarisbawahi, diplomasi publik memerlukan pemahaman kompleks dari masyarakat sipil dan tidak bisa disamakan dengan propaganda. Apabila diplomasi publik telah berubah bentuk menjadi propaganda, hal ini justru akan cenderung melemahkan soft power (Nye, 2008). 

Potensi soft power pada sebuah negara dapat muncul dari sumber gagasan atau nilai yang ada di negara tersebut, dalam hal ini bagaimana negara mengutarakan kepentingan nasional, salah satunya melalui aspek kebudayaan (Nye, 2008). Untuk meningkatkan efektivitas dari sumber daya yang potensial berupa kebudayaan ini, negara melakukan diplomasi kebudayaan sebagai bentuk dari diplomasi publik. Diplomasi budaya adalah tentang bagaimana negara mengoptimalkan penggunaan sumber-sumber kebudayaannya untuk meraih tujuan kebijakan luar negeri (Clarke, 2020). Sebagaimana diplomasi publik, diplomasi budaya dilakukan sebagai perwujudan identitas nasional langsung kepada masyarakat, bukan antarpemimpin.

Implementasi Hallyu sebagai Soft Power dalam Diplomasi Budaya Korea Selatan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun