Mohon tunggu...
Dwi Mughni Saddam Hanafiah
Dwi Mughni Saddam Hanafiah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa tahun kedua di program studi Hubungan Internasional yang memiliki ketertarikan pada fenomena sosial-budaya.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menilik Efektivitas dan Pengaruh Hallyu dalam Diplomasi Budaya Korea Selatan di Kawasan Asia Pasifik

1 Juli 2023   22:52 Diperbarui: 2 Juli 2023   07:48 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-Un, sedang berbincang dengan musisi Korea Selatan, Red Velvet. Sumber gambar: South China Morning Post.

Korea Selatan sebagai aktor internasional telah merealisasikan nilai budaya sebagai kerangka dasar dalam praktik hubungan luar negerinya. Hal ini terefleksikan dari penggunaan elemen-elemen dalam budaya populernya sebagai penggerak dalam diplomasi budaya terhadap negara lain. Diplomasi budaya yang diadopsi oleh pemerintah Korea Selatan diultilisasi guna membentuk citra positif negaranya pada level internasional. Pembentukan citra yang baik ini secara tidak langsung akan memudahkan Korea Selatan dalam menjalin hubungan dan kerja sama regional maupun internasional. Elemen fundamental lainnya dalam diplomasi budaya adalah adanya promosi atas penggunaan dan penyebaran bahasa nasional (Pajtinka, 2014). Hal ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Korea Selatan. Pada saat beberapa ekspor budaya populer oleh negara lain melakukan berbagai penyesuaian agar dapat diterima secara global, Hallyu tidak demikian — mereka tetap teguh dengan penggunaan bahasa Korea dan tulisan Hangeul dengan sedikit tambahan kosakata serapan dan bahasa asing. Bahkan,  Presiden Moon Jae-in secara terang-terangan menyebut Hangeul memang sebagai soft power yang digunakan dalam diplomasi budaya Korea —  buntut dari penambahan 26 kosakata Korea ke dalam Oxford English Dictionary (Srinivas, 2021).

Pendekatan dan penggunaan soft power di satu sisi telah merefleksikan perkembangan dinamika hubungan internasional. Saat ini, negara-negara menjadikan soft power sebagai ajang perlombaan untuk menanamkan pengaruhnya secara global. Korea Selatan adalah contoh yang tepat dalam kasus ini. Negara ini mengoptimalkan potensi soft power melalui penyebarluasan budaya populernya yang disebut sebagai Hallyu melalui implementasi diplomasi budaya. Tentunya, peran pemerintah dalam memfasilitasi hal ini juga sangat fundamental. Pemerintah Korea Selatan secara konsisten terus menunjukkan dukungannya terhadap Hallyu. Pernyataan ini terefleksikan dari kesamaan unsur pidato terkait konteks budaya yang dilakukan oleh presiden Korea Selatan dari ke masa-masa, yaitu adanya implikasi Hallyu sebagai sumber soft power yang dimaksimalkan negara melalui diplomasi budaya. Korean Wave atau Hallyu sebagai sarana diplomasi budaya telah membawa berbagai pengaruh terhadap Korea Selatan sendiri dan dinamika hubungannya dengan negara lain.

Dari perspektif Korea Selatan sendiri, Hallyu telah menjadi citra nasional yang eksistensinya ada pada berbagai aspek dan bersifat kontinu —  tidak lagi terbatas pada kebudayaan belaka.  Pada saat ini, K-pop sebagai salah satu elemen dalam Hallyu telah berevolusi pada level yang lebih kompleks. Kekuatan dari K-popers — sebutan untuk penggemar K-pop, telah jauh melampaui sebatas industri musik. Melalui jaringan digital yang masif dan kuat, kini banyak penggemar K-pop yang turut menyuarakan perhatian atau memberikan dukungannya pada berbagai gerakan sosial dan aksi pro-lingkungan di masyarakat, misalnya pada saat masifnya gerakan Black Lives Matter dan Stop Asian Hate beberapa tahun lalu (Liu et al., 2021). Selain itu, Hallyu juga dipandang sebagai sebuah unsur yang akan selalu melekat dengan negara Korea Selatan dalam jangka waktu yang panjang. Hal ini terlihat dari penambahan huruf “K” pada awalan nama industri-industri penting Korea Selatan sebagai identitas nasional, seperti misalnya liga sepakbola K-League dan K-food untuk makanan. Terlebih lagi, Presiden Korea Selatan saat itu, Moon Jae-in, menyebut karantina dan segala bentuk strategi penanganan pandemi Covid-19 di negaranya sebagai “K-Quarantine” (Srinivas, 2021). Hal-hal seperti ini tentu tidak akan bisa terwujud apabila tidak ada peran pemerintah di dalamnya. Hallyu juga disebut sebagai upaya empirik pemerintah dalam meningkatkan nasionalisme warga negara melalui pengembangan budaya (Kang, 2015).

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, pemerintah Korea Selatan telah menunjukkan keseriusannya dalam mendukung penyebaran Hallyu. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator dan promotor dalam penggunaan Hallyu sebagai diplomasi budaya guna meningkatkan citra negaranya secara global. Hallyu sebagai sumber soft power dalam penerapan diplomasi budaya adalah hal yang sifatnya resmi atau legal di Korea Selatan. Hal ini dikoordinir oleh Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan serta Dewan Presiden untuk Citra Nasional sebagai martir utama dalam penerapan Hallyu sebagai diplomasi budaya (Jang & Paik, 2012). Bahkan, mengutip dari Srinivas (2021), pada tahun 2020, Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata Korea Selatan sempat memberikan pengumuman tentang pendirian departemen Hallyu di bawah naungannya. 

Pemerintah Korea Selatan secara aktif mendukung penyebaran Hallyu sebagai diplomasi budaya melalui pengadaan acara kesenian, festival, musik, dan film berstandar internasional di beberapa negara. Pemerintah Korea Selatan yang dulu relatif pasif dalam mendukung Hallyu, sementara kini terkesan lebih aktif dalam prosesnya. Menurut Gibson (2020), akan lebih mudah bagi pemerintah Korea Selatan untuk mengkonversi Hallyu yang telah tersebar secara global menjadi soft power melalui metode dukungan yang bersifat indirect. Keikutsertaan pemerintah Korea Selatan dalam mempromosikan budaya populernya membuat mereka melibatkan unsur-unsur budaya populer secara langsung ke dalam beberapa proses diplomasi tradisional. Hal ini secara nyata dapat diamati pada proses upaya perdamaian Semenanjung Korea melalui Deklarasi Panmunjom 2018 silam. Saat itu, Presiden Moon menggandeng superstar K-pop, Red Velvet dan penyanyi Baek Ji-young untuk tampil di hadapan Kim Jong-Un dan ratusan masyarakat Korea Utara pada sebuah konser di Pyongyang. Lalu, ada juga BTS yang tampil sebagai pembicara pada Sidang Majelis Umum PBB tahun 2021. Mereka membawa pesan mengenai urgensi SDGs tahun 2030 sebagai utusan resmi dari presiden. Hal ini tentunya menarik atensi komunitas internasional, khususnya para penggemar. Peristiwa ini dinilai sebagai contoh sempurna dalam penerapan Hallyu sebagai soft power melalui diplomasi budaya. Pasalnya, pemerintah Korea Selatan di sini bukan seperti membonceng kebijakan luar negerinya, melainkan lebih berfokus pada minat dan perhatian masyarakat global terhadap elemen budayanya.

Implikasi Hallyu terhadap Hubungan Bilateral Korea Selatan di Kawasan Asia Pasifik

Deretan fakta-fakta diatas telah menegaskan eksistensi Hallyu sebagai diplomasi budaya yang dilakukan oleh Korea Selatan. Diplomasi budaya yang diterapkan tentunya memberikan dampak dan pengaruh tertentu pada dunia internasional. Pengaruh yang ditimbulkan bervariasi di berbagai negara di dunia, tetapi pada umumnya, strategi Korea Selatan menerapkan diplomasi budaya dalam bentuk penyebaran Hallyu berefek positif. Lebih jauh lagi, eksistensi dan pengaruh Hallyu di suatu negara juga memengaruhi hubungan negara tersebut dengan Korea Selatan. Sebagai contoh, di Taiwan, kesan terhadap negara Korea Selatan tidak terlalu bagus dan cenderung buruk pasca pemutusan hubungan diplomatik tahun 1992. Tingginya konsumsi budaya populer Korea di kalangan masyarakat Taiwan sejak awal tahun 2000-an telah menghapus pandangan negatif penduduk lokal terhadap Korea Selatan (Sung, 2010). Reaksi positif ini terus berlanjut hingga masa sekarang, terlebih dengan hadirnya representatif Taiwan dalam dunia industri kreatif Korea Selatan, misalnya Tzuyu dari girl group Twice. Hal-hal tersebut telah membuka peluang untuk rekonstruksi hubungan bilateral kedua entitas yang renggang akibat pemutusan hubungan diplomatik.

Di Tiongkok, eksistensi Hallyu diibaratkan sebagai pisau bermata dua. Popularitas Hallyu di Negeri Tirai Bambu telah mengubah perspektif masyarakat Tiongkok mengenai Korea Selatan menjadi lebih baik. Selain itu, Hallyu menjadi pengingat akan kesamaan akar budaya oriental kedua negara ini sehingga keterhubungan transnasional antara Korea Selatan dan Tiongkok dapat terkonstruksi dengan baik. Namun, di sisi lain Korean Wave juga berpotensi memberikan efek bumerang berupa kebangkitan ultranasionalisme yang temperamental di Tiongkok. Hal ini terefleksikan saat terjadinya ketegangan diplomatik antara dua negara. Misalnya saat Korea Selatan merampungkan pemasangan rudal AS sebagai elemen pertahanan nasional. Tiongkok melakukan protes dengan cara membatasi kuantitas ekspor budaya dan pariwisata kreatif dari Korea Selatan yang masuk ke negaranya (Gibson, 2020).

Sementara di Jepang, Hallyu bukan merupakan hal yang baru. Berdasarkan pandangan dari beberapa ahli di Korea Selatan, Jepang sendiri merupakan pasar luar negeri paling dominan dan potensial untuk K-pop sebelum terjadinya penyebaran ke AS dan Eropa. Hallyu, khususnya K-pop, memang sudah mendapatkan tempatnya tersendiri di masyarakat Jepang. Hal ini dilihat dari kepopuleran penyanyi solo BoA, Girls Generation, dan saat ini Twice. Banyaknya artis Jepang yang berkarir di industri musik Korea Selatan juga menjadi latar belakang hal ini. Namun, bukan berarti Hallyu sebagai instrumen diplomasi budaya Korea Selatan di Jepang berhasil tanpa kendala. Dalam perkembangannya, ada banyak respon negatif terkait kepopuleran Hallyu di Jepang. Di sisi lain, masyarakat Korea Selatan juga seringkali tidak menerima keberadaan artis asal Jepang pada dunia industri kreatif. Sentimen ini mayoritas disebabkan adanya gesekan masa lalu tentang kenangan buruk pada masa pendudukan Jepang di Korea. Hal ini tergambar dengan jelas pada saat penandatanganan perjanjian untuk inisiasi hubungan Jepang-Korea Selatan tahun 1965, di mana saat itu sekelompok orang di Korea Selatan menolak dan tidak mengakuinya (Lux, 2021). Secara terpisah, berbagai upaya penolakan terhadap elemen Hallyu atau disebut anti-Korean Wave telah tersebar di Jepang. Demonstrasi 6000 masyarakat Jepang yang menuntut Fuji TV untuk mengurangi jam tayang K-drama pada tahun 2010 dan aksi boikot terhadap aktris Kim Tae-hee terkait isu sengketa pulau Takeshima/Dokdo adalah dua dari banyak peristiwa terkait hal ini. Sejauh ini, Hallyu sebagai alat diplomasi budaya tak banyak berpengaruh pada hubungan Jepang-Korea Selatan.

Pengaruh Hallyu sebagai diplomasi budaya Korea Selatan tidak hanya terbatas di Asia Timur saja, melainkan juga di beberapa negara di regional lain — khususnya Asia Pasifik. Di Mongolia misalnya, Hallyu diterima dengan sangat baik oleh masyarakat lokal. Sejak awal, pandangan masyarakat Mongolia terhadap Korea Selatan memang sudah baik pasca keruntuhan Soviet dan dimulainya hubungan diplomatik resmi tahun 1990 (Kang et al., 2021). Strategi Korea Selatan dalam memanfaatkan tren Hallyu sebagai diplomasi budaya dinilai cukup berhasil di Mongolia. Kepopuleran Hallyu di Mongolia telah membawa dampak positif bagi hubungan kedua negara tidak hanya pada bidang sosial-politk dan ekonomi, tetapi juga bidang lingkungan. Pernyataan ini terkait dengan program kerja sama pada tahun 2017, “The Korea-Mongolia Green Belt Project” untuk mencegah fenomena desertifikasi di Mongolia.

Selaras dengan Mongolia, fenomena Hallyu sebagai diplomasi budaya di Malaysia berpengaruh cukup besar dalam perkembangan hubungan Malaysia-Korea Selatan. Hallyu secara nyata telah berkontribusi terhadap peningkatan level hubungan bilateral dan diplomatik kedua negara, khususnya di bidang sosiokultural dan ekonomi. Kesan positif mengenai Korea Selatan yang ditimbulkan oleh tren Hallyu telah mendorong ketertarikan masyarakat Malaysia terhadap budaya dan bahasa Korea. Terkait dengan hal ini, Hallyu juga berimplikasi pada aspek ekonomi, berupa peningkatan kuantitas konsumsi Malaysia atas produk-produk Korea Selatan dan jumlah wisatawan Malaysia yang menjadikan Negeri Ginseng sebagai destinasi wisata favorit. Keberhasilan kerja sama ini turut didorong oleh kebijakan “Look East” yang diterapkan Malaysia pada masa Perdana Menteri Mahathir Mohamad tahun 1982 (Lee & Hwang, 2012).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun