Mohon tunggu...
Dwi Elyono
Dwi Elyono Mohon Tunggu... Freelancer - Penerjemah

Suka menjaga Lawu Email: dwi.elyono@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dosen Indonesia Bukan Jebolan Institut Teka-Teki Silang Berhadiah

1 Maret 2020   17:08 Diperbarui: 1 Maret 2020   17:11 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Halo Mas Nadiem Makarim, saya salut sama gebrakan-gebrakan sampeyan dalam program Kampus Merdeka. Nuwun sewu, saya tambahi EMPAT gebrakan nggih, yang saya pikir sangat mendesak untuk dijalankan demi membantu mengangkat perguruan tinggi Indonesia dari kejumudan.

SATU: terapkan sistem kontrak untuk dosen

Dosen (yang sejati, bukan dosen yang hobi cari status, kredit, atau pangkat) sejatinya dinamis. Dinamis dalam artian gila mencari ilmu dan menerapkannya ke arah mana saja sesuai kebutuhan dan semendalam mungkin selama situasi memungkinkan. Berkat kedinamisan ini, minat keilmuan dosen dari waktu ke waktu menjadi semakin kaya. Minat dia bisa merambah ke bidang-bidang di luar bidang awalnya. Kedinamisan semacam ini juga membuat pengetahuan dan keahlian dosen menjadi semakin mendalam dan kuat. 

Pada titik-titik tertentu, diversifikasi bidang dan/atau penguatan pengetahuan dan keahlian membuat dosen merasa 'menthok', 'duk', tidak bisa bergerak lagi di perguruan tinggi tempat dia bekerja karena sarana dan sumber dayanya sudah tidak mampu lagi mengakomodasi pergerakan akademik dan intelektualnya. 

Pada titik ini, dosen perlu melompat pagar dan mencari tempat lain yang lebih sesuai dengan kedinamisannya. Karena alasan inilah, saya berpendapat bahwa sistem kontrak perlu diberlakukan untuk dosen. Lama kontrak bisa 3 atau 4 tahun. Dengan sistem kontrak, dosen bisa leluasa bergerak mencari tempat dan bekerja sesuai kedinamisannya. 

Perguruan tinggi yang ditinggal oleh dosen tidak akan terlantar karena kemudian mereka akan diisi oleh dosen lainnya yang merasa cocok dengan fokus dan tingkat kedalaman keilmuan dari perguruan tersebut. Sejatinya banyak dosen yang 'sejati' di Indonesia. Tetapi mereka bernasib malang karena dikungkung di satu perguruan tinggi dengan sistem kerja sampai tua. Tidak ada kesempatan bagi mereka untuk bergerak secara merdeka dan optimal bagi pengembangan ilmu mereka.

DUA: bila diperlukan, terapkan sistem kepegawaian ganda atau lebih untuk dosen

Terkait dengan kedinamisan dosen, seorang dosen bisa saja tidak keluar dari perguruan tinggi tempat dia bekerja ketika dia sudah sampai pada titik 'menthok' sebagaimana saya jelaskan di atas. Dia bisa tetap bekerja di situ dan pada waktu yang sama bekerja di tempat lain yang dia rasa cocok dengan minat keilmuan barunya dan/atau pengetahuan dan keahliannya yang semakin menguat. Perguruan tempat awal dia bekerja dan perguruan tempat baru dia bekerja bisa sama-sama mempekerjakan dia sebagai pegawai. Dengan kata lain, dia memperoleh kepegawaian ganda. 

Dengan sistem kepegawaian ganda, perguruan tinggi pertama dan kedua bisa sama-sama memperoleh manfaat. Pengembangan ilmu dan keahlian yang diperoleh dosen setelah JUGA bekerja di universitas kedua bisa dibagikan ke perguruan pertama. 

Dan perguruan kedua bisa menjadi semakin kuat dengan masuknya dia ke situ. Perguruan tinggi kedua, tempat dosen menjalankan pekerjaan keduanya, bisa perguruan tinggi di Indonesia, dan juga bisa perguruan tinggi di negara-negara maju, seperti Australia, Jepang, dan Amerika. Jangan lagi meneriakkan "tidak nasionalis" ke dosen-dosen Indonesia yang berkiprah di negara-negara maju. Tapi akomodasi 'kegilaan' mencari ilmu dan kedinamisan mereka dengan sistem kepegawaian ganda atau lebih.

TIGA: hapus mata kuliah yang tidak relevan dan yang bisa 'terwakili penguasaannya'

Mahasiswa Indonesia memperlajari terlalu banyak ilmu, tapi kulitnya doing. Isinya begitu-begitu saja. Bukan salah mahasiswa, tapi salah sistem. Tapi banyak juga mahasiswa Indonesia yang menguasai isi. Bukan berkat sistem, tapi berkat usaha mandiri mereka dalam menggali ilmu. Peraturan kurikulum memaksa mahasiswa mengikuti terlalu banyak mata kuliah setiap semester. Rata-rata mereka harus mengambil antara 10 sampai 12 mata kuliah. 

Para pencipta kebijakan beranggapan bahwa semua sub-bidang yang saling terkait (misal sub-bidang (dalam bidang linguistik) sociolinguistics, pragmatics, semantics, systemic functional linguistics, syntax, anthropology linguistics, filsafat bahasa, dll) semuanya HARUS dikuasai mahasiswa. Padahal cukup beberapa saja dari sub-bidang itu perlu diberikan. Asumsi saya, jika seorang mahasiswa menguasai dua atau tiga sub-bidang saja, bisa kita anggap bahwa dia mempunyai potensi untuk menguasai sub-sub bidang lainnya. 

Selain masalah terlalu banyaknya sub-bidang yang harus dikuasai, mahasiswa juga dijejali dengan terlalu banyak mata kuliah yang tidak ada sangkut pautnya dengan bidang mereka, yang kita semua tahu mata kuliah apa saja itu. Saya pikir mahasiswa cukup mengambil 3 atau 4 mata kuliah saja dalam satu semester dengan per mata kuliah diberi bobot 6 SKS. Dengan cara demikian, mereka bisa betul-betul mendalami ISI-nya ilmu, bukan kulitnya doang.

EMPAT: pangkas birokrasi perdosenan yang ruwet bin mbulet

Semua dosen (yang sejati) di Indonesia mengeluhkan birokrasi yang seharusnya menaungi dan membantu mereka dalam bergerak, bukan sebaliknya. Sudah sertifikasi belum? Sudah ngurus kenaikan pangkat belum? Kalau belum ngurus, nganu lho? Sudah ngisi form yang itu belum? Sudah ngumpulin foto copy dokumen itu belum? 

Semua ini ditanyakan terus dan harus dijalankan dari waktu ke waktu, diulang-ulang, mulai dari saat dosen pertama masuk bekerja sampai pensiun. Kapan DIKTI bisa mempunyai sistem data base yang bagus sehingga dokumen yang sama tidak harus dikumpulkan ribuan kali, dan sehingga form yang sama tidak harus diisi jutaan kali. 

Kapan DIKTI bisa mempunyai sistem pengembangan form yang bagus, sehingga yang perlu diisikan dalam form hanya yang penting-penting dan yang relevan-relevan saja. Berapa banyak waktu dan energi dosen terbuang untuk hal-hal yang seharusnya bisa dipangkas dan disederhanakan ini? Kapan dosen bisa benar-benar fokus ke urusan akademis, bukan terjebak pada urusan form dan foto copy? Mereka bukan lulusan Institut Teka-Teki Silang Berhadiah lho.

Salam hangat. Selamat bekerja, Mas Nadiem.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun