Mohon tunggu...
Dwi Elyono
Dwi Elyono Mohon Tunggu... Freelancer - Penerjemah

Suka menjaga Lawu Email: dwi.elyono@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dosen Indonesia Bukan Jebolan Institut Teka-Teki Silang Berhadiah

1 Maret 2020   17:08 Diperbarui: 1 Maret 2020   17:11 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Mahasiswa Indonesia memperlajari terlalu banyak ilmu, tapi kulitnya doing. Isinya begitu-begitu saja. Bukan salah mahasiswa, tapi salah sistem. Tapi banyak juga mahasiswa Indonesia yang menguasai isi. Bukan berkat sistem, tapi berkat usaha mandiri mereka dalam menggali ilmu. Peraturan kurikulum memaksa mahasiswa mengikuti terlalu banyak mata kuliah setiap semester. Rata-rata mereka harus mengambil antara 10 sampai 12 mata kuliah. 

Para pencipta kebijakan beranggapan bahwa semua sub-bidang yang saling terkait (misal sub-bidang (dalam bidang linguistik) sociolinguistics, pragmatics, semantics, systemic functional linguistics, syntax, anthropology linguistics, filsafat bahasa, dll) semuanya HARUS dikuasai mahasiswa. Padahal cukup beberapa saja dari sub-bidang itu perlu diberikan. Asumsi saya, jika seorang mahasiswa menguasai dua atau tiga sub-bidang saja, bisa kita anggap bahwa dia mempunyai potensi untuk menguasai sub-sub bidang lainnya. 

Selain masalah terlalu banyaknya sub-bidang yang harus dikuasai, mahasiswa juga dijejali dengan terlalu banyak mata kuliah yang tidak ada sangkut pautnya dengan bidang mereka, yang kita semua tahu mata kuliah apa saja itu. Saya pikir mahasiswa cukup mengambil 3 atau 4 mata kuliah saja dalam satu semester dengan per mata kuliah diberi bobot 6 SKS. Dengan cara demikian, mereka bisa betul-betul mendalami ISI-nya ilmu, bukan kulitnya doang.

EMPAT: pangkas birokrasi perdosenan yang ruwet bin mbulet

Semua dosen (yang sejati) di Indonesia mengeluhkan birokrasi yang seharusnya menaungi dan membantu mereka dalam bergerak, bukan sebaliknya. Sudah sertifikasi belum? Sudah ngurus kenaikan pangkat belum? Kalau belum ngurus, nganu lho? Sudah ngisi form yang itu belum? Sudah ngumpulin foto copy dokumen itu belum? 

Semua ini ditanyakan terus dan harus dijalankan dari waktu ke waktu, diulang-ulang, mulai dari saat dosen pertama masuk bekerja sampai pensiun. Kapan DIKTI bisa mempunyai sistem data base yang bagus sehingga dokumen yang sama tidak harus dikumpulkan ribuan kali, dan sehingga form yang sama tidak harus diisi jutaan kali. 

Kapan DIKTI bisa mempunyai sistem pengembangan form yang bagus, sehingga yang perlu diisikan dalam form hanya yang penting-penting dan yang relevan-relevan saja. Berapa banyak waktu dan energi dosen terbuang untuk hal-hal yang seharusnya bisa dipangkas dan disederhanakan ini? Kapan dosen bisa benar-benar fokus ke urusan akademis, bukan terjebak pada urusan form dan foto copy? Mereka bukan lulusan Institut Teka-Teki Silang Berhadiah lho.

Salam hangat. Selamat bekerja, Mas Nadiem.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun