Mahasiswa Indonesia memperlajari terlalu banyak ilmu, tapi kulitnya doing. Isinya begitu-begitu saja. Bukan salah mahasiswa, tapi salah sistem. Tapi banyak juga mahasiswa Indonesia yang menguasai isi. Bukan berkat sistem, tapi berkat usaha mandiri mereka dalam menggali ilmu. Peraturan kurikulum memaksa mahasiswa mengikuti terlalu banyak mata kuliah setiap semester. Rata-rata mereka harus mengambil antara 10 sampai 12 mata kuliah.Â
Para pencipta kebijakan beranggapan bahwa semua sub-bidang yang saling terkait (misal sub-bidang (dalam bidang linguistik) sociolinguistics, pragmatics, semantics, systemic functional linguistics, syntax, anthropology linguistics, filsafat bahasa, dll) semuanya HARUS dikuasai mahasiswa. Padahal cukup beberapa saja dari sub-bidang itu perlu diberikan. Asumsi saya, jika seorang mahasiswa menguasai dua atau tiga sub-bidang saja, bisa kita anggap bahwa dia mempunyai potensi untuk menguasai sub-sub bidang lainnya.Â
Selain masalah terlalu banyaknya sub-bidang yang harus dikuasai, mahasiswa juga dijejali dengan terlalu banyak mata kuliah yang tidak ada sangkut pautnya dengan bidang mereka, yang kita semua tahu mata kuliah apa saja itu. Saya pikir mahasiswa cukup mengambil 3 atau 4 mata kuliah saja dalam satu semester dengan per mata kuliah diberi bobot 6 SKS. Dengan cara demikian, mereka bisa betul-betul mendalami ISI-nya ilmu, bukan kulitnya doang.
EMPAT: pangkas birokrasi perdosenan yang ruwet bin mbulet
Semua dosen (yang sejati) di Indonesia mengeluhkan birokrasi yang seharusnya menaungi dan membantu mereka dalam bergerak, bukan sebaliknya. Sudah sertifikasi belum? Sudah ngurus kenaikan pangkat belum? Kalau belum ngurus, nganu lho? Sudah ngisi form yang itu belum? Sudah ngumpulin foto copy dokumen itu belum?Â
Semua ini ditanyakan terus dan harus dijalankan dari waktu ke waktu, diulang-ulang, mulai dari saat dosen pertama masuk bekerja sampai pensiun. Kapan DIKTI bisa mempunyai sistem data base yang bagus sehingga dokumen yang sama tidak harus dikumpulkan ribuan kali, dan sehingga form yang sama tidak harus diisi jutaan kali.Â
Kapan DIKTI bisa mempunyai sistem pengembangan form yang bagus, sehingga yang perlu diisikan dalam form hanya yang penting-penting dan yang relevan-relevan saja. Berapa banyak waktu dan energi dosen terbuang untuk hal-hal yang seharusnya bisa dipangkas dan disederhanakan ini? Kapan dosen bisa benar-benar fokus ke urusan akademis, bukan terjebak pada urusan form dan foto copy? Mereka bukan lulusan Institut Teka-Teki Silang Berhadiah lho.
Salam hangat. Selamat bekerja, Mas Nadiem.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H