Mohon tunggu...
Shinbenuna
Shinbenuna Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Lepas

Mengosongkan isi kepala

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Istri Kedua (2)

13 April 2024   14:38 Diperbarui: 13 April 2024   15:09 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dia masih sebagai pemenang dan segalanya bagiku. Dia adalah orang yang selalu ingin kulihat hadirnya disekitarku. Aku selalu ingin melupakannya untuk membuang rasa sakit ini. Tapi aku selalu mengingat dia mewarnai ku dalam hidupku yang sempat kelam. Karena hadirnya adalah doa yang pernah aku langitkan" Gendhis kembali menarik nafas berat mengingat betapa sungguh ia sangat bodoh.

"Maaf mu terlampau lebih luas dari amarah dan luka yang ada dihatimu. Bodoh sekali! Dia sudah meninggalkanmu, tapi kamu tidak mampu untuk membencinya. Lebih sadis lagi setiap kali kamu merindukannya kamu tidak bisa berbuat apa -- apa" Sahabatnya ini membuat Julie harus menekan emosinya berkali -- kali. Ingin sekali rasanya ia mengumpat dan memukul kepala sahabatnya ini saking kesalnya. Kenapa sahabatnya harus jatuh cinta dengan orang yang salah dan menjadi sangat bodoh?

"Dia meninggalkanku begitu lama. Tapi rasanya cintaku semakin banyak saja. Bukankah aku sangat bodoh? Dengannya aku jatuh sejatuh -- jatuhnya. Dia hanya melakukan hal sederhana tapi tetap menjadi kisah yang tidak pernah bisa aku lupakan. Aku harus bagaimana? Aku tidak bisa mengatakan bahwa hanya aku yang mencintainya. Karena nyatanya ada wanita lain disisinya yang juga memandangnya sama seperti aku memandangnya. Dan wanita itu adalah pemenangnya! Adi memandangnya dengan penuh cinta yang tidak pernah Adi berikan untukku. Aku cinta sendiri!"  Gendhis sebetulnya sadar betul apa yang dia alami. Tapi tetap nekat terjun dalam medan pertempuran yang mungkin ia tidak akan pernah menangkan. Benarkah ini cinta? Atau, sebuah obsesi?

"Rasanya aku angkat tangan saja kamu sudah tidak tertolong! Harapanku sebagai seorang sahabat semoga keputusanmu ini tepat dan membuatmu bahagia" Julie menepuk -- nepuk pundak Gendhis menguatkan. 

"Dika tidak pernah mengetahui sehancur apa diriku saat itu, hidupku merasa sangat rendah ketika aku sudah menyayanginya habis -- habisan lalu ditinggalkan" Kisahnya memang sangat pahit!

Semua kebenaran kisah pahit di dunia ini haruslah melewati tiga langkah utama, Pertama ditertawakan, kedua ditentang dengan kasar dan yang ketiga diterima tanpa pembuktian dan alasan. Tapi, sekalipun pahit bukankah kita harus menerima segalanya dengan sabar dan ikhlas?

Ikhlas? Satu kata yang diucapkan menjadi sangat mudah tapi hati butuh tenaga dan waktu yang tidak pernah mudah untuk menghadapinya. Terkadang mulut mengagungkan dengan lantang kata Ikhlas namun hati teriris tak tertolong dengan sebuah kebenaran untuk menerima garis takdir yang datang menghampiri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun