Para petinggi parpol merasa harus menghukum dengan membuat narasi-narasi sepihak untuk membuat "Sang Pengkianat" sebagai penjahat pelanggar konstitusi, mempermainkan institusi dengan cawe-cawe dan mengintervensi putusan lembaga hukum.
Namun pemikiran penulis bisa saja salah sebab jika murni berpikir dan berada di pihak netral merasa bahwa apa yang dirasakan parpol yang merasa terkhianati dan tersakiti itu wajar. Mereka pasti akan merasa tertusuk dari belakang oleh kader andalan yang akhirnya "mbalelo" dan tidak mendukung keputusan partai tempat bernaungnya.
Berbagai silang pendapat yang beredar di media massa, media online, You Tube, Twitter/X, Instagram, adalah cerminan masyarakat dari negara yang sedang berkembang. Sedang mencari bentuk sedang proses menuju negara maju tetapi belum disertai pemahaman baik dari masyarakat secara keseluruhan.
Untuk menjadi manusia beradab perlu kesadaran diri untuk tidak melanggar komitmen yang sudah disepakati bersama. Namun demi ambisi kekuasaan manusia seringkali melakukan segala cara hingga akhirnya masyarakat belum percaya sepenuhnya pada partai politik, dan elit kekuasaan, terutama birokrat yang rakus dan enteng melakukan pungutan.
Sudut pandang tiap orang berbeda makanya ketika ada rivalitas, perbedaan pendapat, perbedaan dalam memahami bahasa politik, perbedaan perilaku politik masyarakat masih bingung siapa sebenarnya yang bisa diikuti dan dipercaya jejaknya.
Masyarakat dibiarkan menunggu atau perlu revolusi di segala lini untuk mengubah mindset masyarakat terhadap politik, partai politik yang masih silang sengkarut.Â
Semoga semakin dewasa, sehingga kita bisa menyaksikan segala komponen masyarakat, partai politik, penguasa, legislatif bisa kompak mengawal demokrasi dan kemajuan bangsa, bukan dengan saling menghina dan mengungkapkan kebencian yang kontraproduktif.
Salam demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H