Kenangan masa kecil  saat sekolah baik ketika  masih anak-anak dan menginjak remaja adalah tentang seragam sekolah. SD dengan ciri khas bawahan merah atasan putih, SMP bawahan Biru atasan putih, SMA atau SMK bawahan abu-abu atasan putih. Kalau sudah seragam terasa tampak gagah karena tidak semua anak waktu kecil mendapatkan kesempatan sekolah.
Tentang Seragam dan Memori Masa Sekolah
Jujur waktu kecil saya tidak terkendala dengan seragam, karena kedua orang tua saya kebetulan Guru SD Negeri (Pegawai Negeri). Ayah bahkan sampai pensiun jadi Penilik Sekolah jenjang SD. Masalah seragam masih terjangkau. Sejak kecil mendapat pendidikan dari yayasan swasta Katolik. Masalah kedisiplinan jangan ditanya, sekali terlihat tidak memakai seragam akan mendapat hukuman baik fisik maupun hukuman sosial.
Ketika itu doktrin seragam  sudah tersistem. Tidak ada bantahan apapun apalagi suara kritis berisi penolakan dan nyinyiran seperti sekarang, kalau tidak punya seragam ya nglungsur dalam istilah Jawa. Kalau punya kakak atau saudara maka seragam itu seperti estafet, turun temurun, kecuali keadaan seragam sudah lusuh dan berjamur.
Di SD seragam yang sering digunakan untuk laki-laki adalah celana pendek warna merah (Dulu di sekolah saya warna celana merah marun), kemeja laki-laki warna putih. SMP seperti yang sudah saya tulis di atas seragam utama warna, Biru dan putih. Sedangkan ada waktu dua hari memakai seragam khas sekolah swasta. Selain seragam utama dan seragam khas sekolah ada kewajiban memakai baju pramuka, karena Pramuka adalah seragam wajib dan juga ekskur wajib kelas 7, 10 ( waktu itu istilahnya kelas 1 SMP dan kelas 1 SMA).
Selama di SMP sempat berganti baju baru setelah seragam lama berjamur dan tampak buluk. Maklum saya tinggal di lingkungan yang berhawa dingin dan matahari tidak cukup bisa mengeringkan baju karena seringnya hujan ( Jamur timbul di musim penghujan, tetapi mungkin juga karena waktu itu saya tidak rajin mencuci baju dan menjemurnya dengan benar hahaha).
Di SMA seragam dominan adalah abu-abu ( sebetulnya adalah warna biru keabu-abuan ), tapi yang tersimpan diingatan adalah anonim dari teh bu bu (Putih (terbaca teh, karena lidah jawa suka beraksen medok) abu abu.
Seragam Adalah Kebanggaan dan Identitas
Bagi saya ada kebanggaan memakai seragam, apalagi saat SMA, ada nostalgia, kisah cinta, first love, dengan mengingat masa remaja yang tengah dalam masa pencarian, gejolak, dan mencoba-coba hal baru. Banyak film tentang masa masa sekolah dengan seragam khas. Ada berbagai model dari rok yang terkesan mini atau kerennya minimalis, atau juga ada di sekolah katolik mensyaratkan seragam tidak boleh di atas betis dan lutut. Kalau  di sekolah yayasan Islam biasanya memakai rok panjang sampai mata kaki dan kerudung untuk menutup rambut.
Seragam adalah identitas, dari seragam muncul semacam ikon masa dimana siswa menunjukkan sejarah keberadaan dirinya di tiap jenjang. Bukan berarti seragam adalah simbol ketidakbebasan. Apalagi sekolah swasta mempunyai seragam khas, entah rompi kotak-kotak, atau seragam dengan warna khas yang ada dari masa ke masa.
 Di beberapa daerah seperti Jakarta,  Bandung,Yogyakarta, Surakarta ada aturan untuk memakai baju adat di hari tertentu. Kebijakan itu regional tergantung daerah masing-masing untuk menunjukkan keragaman budaya nusantara dengan baju daerahnya yang khas.
Memang ada sekolah yang membebaskan siswa di hari tertentu untuk berbaju bebas dan sekarang muncul baju batik bebas di hari tertentu. Tinggal kebijakan sekolah saja yang memberikan aturan main bagaimana pemakaian seragam.
Ketika baru-baru ini muncul polemik atau isu bahwa kemendikbud akan menerapkan aturan baru tentang seragam, maka reaksi penulis yang pertama adalah, menunggu dan mendengar penjelasan yang faktual. Tidak ingin terlibat polemik sebelum muncul kebijakan yang dirilis langsung oleh kementrian. Yang terlihat di media sosial dan komentator pada netizen, reaktif dan emosional. Baru mendengar isu sudah muncul polemik yang membuat heboh dunia maya, media sosial dan perbincangan di WAG.