Sejak media sosial dominan mempengaruhi keseimbangan kehidupan manusia, kadang aku harus katakan dengan jujur bahwa ada banyak sisi negatif media sosial yang membuat ada perasaan bahwa manusia tidak seperti dulu. Banyak kegilaan muncul, banyak anomali pikiran, perilaku yang datang terutama nir sosial dan munculnya sikap egois. Aku perlu mengembalikan ritme dengan menulis agar kewarasan tetap terjaga.Â
Dari menulis aku merekam banyak peristiwa baik sosial budaya maupun peristiwa-peristiwa politik.
Suatu ketika dulu pernah mengenal sosok sosk inspiratif di pelosok desa. Mereka penggerak kearifan lokal. Bisa mendengar sepenuh jiwa pengalaman kehidupan yang dipenuhi dengan ujian-ujian kehidupan.
Bukan hanya membaca deretan tulisan di buku dan novel-novel tua. Dari menulis aku bisa mengendapkan kemarahan, merenungi kehidupan yang tidak pernah mulus.Â
Jalan tidak selalu lurus, namun tidak pernah pula konsisten menanjak. Semua telah tertakar oleh rumus-rumus misteri yang transenden dan susah terjangkau.
Dari deretan tulisan-tulisanku, tidak pernah mendaku bahwa aku berbakat menulis, berbakat menjadi pengarang atau wartawan. Aku hanya mengendapkan.Â
Dalam suatu masa ketika ada perasaan frustrasi, depresi dengan kemarahan tidak tertahankan ingin kulampiaskan pada wajah-wajah memuakkan, namun segera sadar percuma menyakiti orang, akupun terdiam dan merenung lalu mengambil secarik kertas, kugoreskan kedongkolan, kemuakan dan kemarahan.Â
Pelan-pelan gejolak jiwaku surut mengikuti irama kata-kata yang muncul dalam barisan kalimat demi kalimat.
Ternyata Menulis bisa meredam gelegak emosi. Kubiarkan memaki dan menumpahkan rasa, lalu aku menjadi lebih bisa mengontrol kesabaran pelahan-lahan.Â
Meskipun dalam kadar tertentu sisi emosi tidak bisa ditahan namun pelan-pelan ada hal-hal yang tidak bisa kuceritakan namun sangat membantu diriku kelak di kemudian hari.Â
Pernahkah kalian merasa bahwa ada perasaan frustrasi, cemburu, depresi akibat cinta yang tidak bersambut.Â