Dibandingkan Kompasianer lainnya yang aktif saya termasuk generasi tua yang masih berstatus penjelajah. Boro-boro harusnya sudah senior bahkan maestro. Lihat dari tahun gabung Pak Tjiptadinata itu junior saya tapi prestasi ya kalah jauh karena tidak setiap hari hadir menayangkan tulisan dan diantara mereka produktifitas saya kalah jauh.
Apakah saya iri? Harusnya iri karena penulis yang baik dan unggul salah satunya karena konsisten rajin menyapa pembaca. Saya mungkin termasuk kategori sombong karena jarang berkunjung, menanggapi artikel sesama kompasianer dan gampang bosan. Terkadang kalau tengah bosan, berbulan-bulan tidak menulis. Jadi boleh dikatakan di Kompasiana ini meskipun bercentang biru tapi nir prestasi.
Apakah saya tidak konsisten menulis, selama absen di Kompasiana. Tidak juga karena ada kemampuan lain seperti menggambar menulis indah (ijazah) masih digeluti (Apa hubungannya hehehe). Kompasiana bagaimanapun tetaplah prioritas platform blog. Meskipun tidak seaktif Pak Tjipta, selaju Mbak Ari Budianti, beberapa teman yang jauh masih sering membaca tulisan saya. Dan redaksi masih sering menempatkan tulisan saya di Headline terutama artikel seni budaya.
Kompasiana telah menyimpan 1398 tulisan saya sejak 2010. Beberapa artikel malah sering dijadikan rujukan, dan referensi seminar dan skripsi. Elok bukan tepuk tangan buat saya sendiri, ah canda. Tahun ini maaf mungkin tidak bisa memenuhi target karena banyaknya hari dan bulan yang sering saya lewatkan, maklumlah saya pegawai swasta eh guru swasta yang mesti rajin menulis RPP, menulis administrasi sekolah, mengikuti berbagai webinar, pelatihan menulis, pelatihan tetekbengek untuk mendapatkan bonus lebih sebagai guru yang bisa digugu dan ditiru. Nah diantara selipan pekerjaan ini kalau waktu kosong disempatkan menulis.
Ah, alasan, penulis itu harus pandai memanfaatkan waktu sesedikit mungkin menghasilkan tulisan-tulisan yang diupload di Kompasiana. Semakin sering menulis dan pandai membaca isu maka saldo gopay semakin tebal.
Yah sejak beberapa bulan lalu bahkan mungkin lebih dua tahun saya sudah pasrah kalau tidak mendapat jatah gopay karena keterbacaan tulisan saya tidak sebanyak teman-teman yang seringkali mendapat rejeki dan konsistensi menulis. Saya bukan penulis yang punya komitmen kuat untuk menang, lomba, menang sebagai yang terbaik. Mengalir saja, Senang bisa berbagi tulisan apalagi mendapat penilaian inspiratif, aktual menarik, unik, menghibur.
Mungkin tulisan saya tidak seberani teman-teman seperti Mas Yon Bayu, beberapa Kompasianer yang tulisannya sangat tegas dalam keberpihakan dan berprinsip. Tulisan saya anggaplah sebagai bahasa kalbu, bahasa manusia yang tidak berani mengkritik frontal. Kalau marah saya akan menggunakan bahasa sindiran, keluhan, kalau kecewa saya menempatkan diri sebagai orang lain yang sering menumpahkan kekecewaan karena pengalaman gagal dan dikecewakan.
Mungkin saya pernah kecewa karena begitu banyaknya tulisan di Kompasiana tidak satupun yang mampu menggugah pengelola kompasiana untuk mengajukan diri mendapat award, entah sebagai penghargaan penulis terputih rambutnya atau sebagai penulis dengan like tersedang dan penulis senior yang masih bertahan di Kompasiana selain Omjay. Mariska Lubis saja sudah lama menghilang, banyak penulis yang aktif di sekitar 2010 telah hilang dari peredaran sedangkan saya sesekali masih mengirimkan artikel di Kompasiana.
Yuhuuu, tetapi saya berterimakasih kepada Kompasiana karena membentuk saya sebagai seorang penulis yang tetap masih berharap setelah pensiun nanti sebagai guru konsistensi menulis tidak luntur bahkan bisa dijadikan modal untuk memacu semangat diri agar terus menjaga asa menikmati hari tua dengan menulis.
Sejak awal  menulis di Kompasiana memang tidak menjanjikan secara finansial, tetapi kekayaan pengetahuan dan pengalaman menulis itu adalah sebuah harta yang tidak ternilai. Saya mendapat banyak ilmu dari teman-teman penulis, mereka memberi pengalaman hidup yang sangat berharga. Penulis yang datang dari berbagai kalangan. Dari Doctor dengan keahlian khusus, wartawan, guru senior, pengusaha, motivator, konten kreator, mantan wartawan, novelis, hotelier, buruh pabrik, blogger.
Mereka pasti menulis karena berangkat dari kesukaan membaca, travelling, beraudiensi, praktisi pengusaha, penulis jempolan. Di sini tidak terlihat kesombongan intelektual dengan menempatkan diri sebagai yang lain dari para penulis recehan seperti saya yang hobi menulis berdasarkan kesukaan membaca, terbiasa curhat dengan cara menulis.
Saya bisa belajar dari Kompasianer dengan beragam profesi, menjadi tahu bagaimana pengelolaan hotel dari penulis sekaligus sebagai hotelier, konten kreator yang senang berpetualang dan sering diendorse untuk  menuliskan di Kompasiana atau di media sosial mereka karena viewer mereka sudah banyak.
Sebetulnya mereka adalah ibaratnya buku. Pengalaman para penulis Kompasianer adalah referensi luar biasa yang bisa dipelajari dan dijadikan rujukan dalam menulis. Tetapi bagaimanapun seorang penulis yang baik tetap memegang kuat prinsip penulisannya dengan tetap menonjolkan karakter sendiri dalam setiap tulisannya.
Terus terang anggapan di atas langit masih ada langit memang benar adanya. Sepertinya dengan pengalaman segudang saya menganggap sudah mahir menulis, tetapi ketika menengok tulisan teman-teman dengan kualitas merekapun banyak yang  di atas rata-rata. Makanya banyak yang sering menang  lomba.
Saya iri benar-benar tidak bisa terima maka saya kadang frustasi, tapi akhirnya tahu diri, masih ada waktu untuk mengejar yang belum bisa dikejar, masih ada kesempatan mendapatkan yang terbaik tetapi menyesuaikan diri dengan kemampuan. Bagi banyak teman tulisan-tulisan saya itu luar biasa, tapi diantara teman-teman kompasianer mungkin masih berasa standar meskipun kenyataan centang biru adalah pengakuan bahwa kumpulan tulisan saya sudah bisa dianggap sebagai tulisan dari penulis yang diakui kualitas tulisannya, sering menginspirasi dan konsisten dengan topik yang dikuasai.
Akhirnya keminderan saya di Kompasiana saya pupuskan saja, ada yang lebih nelangsa, banyak yang ngenes dari saya. Saya tidak mau minta belas kasihan karena saya yakin bahwa seberapapun talenta yang diberikan merupakan anugerah luar biasa. Meskipun begitu kalau mau berhasil dan sukses kerja keraslah yang menentukan keberhasilan seseorang apapun profesinya.
Okelah ternyata meskipun masih ditataran kelas penjelajah, aku masih berharap laju saya sampai senior dan maestro. Dengan syarat harus tancap gas dan menjemput pembaca sebanyak-banyaknya.(Ini yang susah) karena saya sering hanya berprinsip seperti air mengalir, tidak ngoyo yang penting happy. Oke mari mensuport diri agar tidak gampang frustasi dan minder karena semakin banyak saingan dan mengurangi kesempatan mendapat penghargaan. Penghargaan terbesar adalah ketika tulisan kita dibaca dan diapresiasi dengan baik. Terimakasih Saudara-saudaraku sekeluarga besar Kompasiana.
Salam Literasi. Semangat menulis.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H