Saya sebetulnya agak ngeri ngeri sedap menuliskan judul ini. Di tahun politik beberapa bulan menjelang pemilihan umum, sepertinya banyak muncul cerita-cerita mengagetkan dari perilaku pengamat, politisi, orang-orang yang berkepentingan terhadap keberlangsungan masa depan negeri ini.
Apakah terjadi degradasi moral, kebingungan melihat Indonesia ke depan, atau sekedar manuver politik untuk mendongkrak elektabilitas calon presiden dan legislatif. Sepertinya semakin banyak yang los kontrol, baik dalam tindakan dan ucapan-ucapan yang terlontar di ruang publik.
Hati hati Melontarkan Kata-Kata di Ruang Publik
Di era digital dan media sosial segala tindak tanduk, ucapan, dan aktivitas apapun terekam jika sudah terendus media. Semua tidak begitu saja hilang karena terekam dan terdata. Maka ketika ada pesohor, politisi bicara dengan mengandalkan spontanitas saja tanpa dipikirkan efek ke depannya. Pemerhati, komentaror, netizen cerdas akan merekamnya. Jika tidak konsisten bicara akan dengan mudah dijungkirbalikkan argumentasinya.
Seseorang yang pernah melontarkan janji, komitmen dan opini yang terekam media suatu saat akan ditagih, apakah sama antara dulu, sekarang dan di masa depan. Calon pemimpin tidak boleh ngomong "esuk tempe, sore dele". Artinya omongannya tidak bisa dipegang.
Segala tetapi tipe masyarakat sekarang mudah lupa. Apa yang terjadi di masa lalu apalagi menyangkut pejabat publik rasanya tidak menawarkan keadilan. Seorang koruptor, napi negara yang merugikan negara dengan jumlah luar biasa masih "termaafkan". Bisa terjun kembali ke dunia politik dan membentangkan sepanduk, billboard janji-janji yang bombastis.
Tahun politik mengajarkan generasi muda untuk selalu saling berkonflik baik di dunia nyata maupun dunia maya. Tetapi saya melihat lebih ekstrem di dunia maya. Saling ejek, saling melontarkan argumen tentang betapa baiknya si itu, si ini tetapi lebih mengarah fanatisme berbalut sentimen agama, ras dan kesukuan. Pelajaran cukup buruk diperlihatkan oleh tokoh-tokoh politik yang cenderung prakmatis, menampilkan fakta-fakta berita di media sosial, menyerang pribadi dan menebalkan kebencian dengan isu-isu yang cukup mencengangkan seperti dihembuskan kembali komunisme, kesukuan, sentiment agama.
Menjelang pemilu berseliweran berita berita menyudutkan kandidat. Politisi saling klaim keberhasilan, saling klaim didukung rakyat. DPR sebagai perwakilan rakyat anggotanya lebih sibuk kampanye dan banyak memasang spanduk untuk mencalonkan lagi sebagai wakil rakyat di periode selanjutnya. Sebagaimana rakyat yang butuh kepastian, rasanya simpangsiur politik itu sangat meresahkan. Berbagai serangan terhadap pemerintah yang sedang berkuasa pun masif. Oposisi berusaha membangun opini seakan-akan pemerintah tidak bekerja apa-apa untuk masyarakatnya.
Sedangkan pemerintah rasanya kurang maksimal karena sebagian pejabatnya datang dari partai sehingga sekelas menteri, dan petinggi terlihat lebih sibuk lobby untuk memperoleh legitimasi bagai partainya untuk bisa menang bertarung di kontestasi 2024.
Beberapa kali saya membaca komentar dari netizen. Ada yang obyektif, kritis sambil memberikan solusi dan pemaparan yang bijak, tetapi tidak sedikit yang asal koment, sepertinya akun-akun kloningan yang sengaja meramaikan komentar pada berita-berita yang berpotensi memancing opini pembaca media sosial.
Kalau melihat fenomena media sosial, pergesekan, perdebatan sudah mengarah para perang dukungan. Banyak logika pendapat yang kabur bahkan cenderung ngawur, tetapi semakin banyak komentar muncul menguntungkan media sehingga dibiarkan muncul perdebatan sengit agar medianya semakin sering dikunjungi dan dilihat. Tentu muncul peningkatan oplah dan rasio keterbacaan tinggi.
Para pembaca berita umumnya bukan pembaca yang melek literasi, lebih banyak yang membaca secara sekilas, sehingga banyak tertipu oleh judul-judul bombastis yang memancing emosi. Dari judulnya saja sering direspon oleh netizen sehingga memunculkan banyak pendapat yang tidak sinkron dengan isi berita secara keseluruhan.
Dari sini bisa disimpulkan darurat literasi pada pendidikan di Indonesia benar-benar luar biasa. Kemampuan membaca, memahami isi bacaan dan kecenderungan memberikan pendapat tanpa pikir panjang memunculkan generasi los literasi. Suasana semakin runyam tatkala politikpun menampilkan gila-gilaan, ditambah munculnya podcast, youtube, dan berita-berita yang muncul tidak melalui kurasi dan editorial sehingga kadang isu-isu tanpa data valid bermunculan.