Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Cak Nun, Jokowi dan Sindiran Halus Mohammad Sobary

20 Januari 2023   14:27 Diperbarui: 21 Januari 2023   08:16 2170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari belakangan muncul perbincangan hangat  tentang terpelesetnya lidah Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) yang memberi ilustrasi tentang sosok Jokowi sebagai Firaun. Pengusaha (Anthony Salim) sebagai yang dekat lingkaran Jokowi sebagai Qorun dan Haman untuk menggambarkan Luhut sebagai birokrat yang dekat lingkar kekuasaan.  

Penggambaran tentang Jokowi itu sontak menuai banyak hujatan, banyak netizen, yang mengagumi sosok presiden sekarang itu jauh bila digambarkan seperti Firaun raja di raja Mesir yang jahat (gambaran cerita turun temurun).

Membangun Kritik bukan Menghina Pemimpin

Mungkin Emha membayangkan bahwa ada banyak orang yang merasa kebijakan pemerintah sekarang, terutama era kepemimpinan Jokowi sebagai otoriter, terlalu keras untuk orang-orang yang tidak pernah suka dengan kebijakannya dari awal. Bagi lawan-lawan politiknya Jokowi sering dipandang sebelah mata, dibilang planga-plongo, banyak hutang, banyak menindas kaum ulama, apalagi yang berpaham ekstrem kanan.

Ada banyak hal merugikan terutama dari mereka yang sebelumnya begitu menikmati kemewahan dengan mengambil banyak keuntungan dari hasil alam Indonesia yang kaya raya. Begitu sempitnya kesempatan untuk melakukan pengerukan sumber alam, membuat banyak lawan politik Jokowi seperti mati kutu.

Jokowi tidak mudah ditaklukkan dan dirayu, sehingga banyak yang menganggap  presiden  R I ke 7 harus disingkirkan dan digambarkan sebagai tokoh keras kepala dengan macam-macam ilustrasi yang sengaja diarahkan untuk sosok  yang jarang dan langka menanggapi nyinyiran para barisan sakit hati.Cak Nun  bagi sebagian orang dianggap budayawan, oleh keluarganya menurut pengakuan sendiri digoblok-goblokkan, disalah-salahkan karena mengingkari ajaran sendiri. Cak Nun dalam banyak kesempatan selalu mengajarkan di komunitasnya Maiyah, Padang Bulan untuk tidak subyektif, tidak merendahkan secara personal (menurut pemahaman saya sebagai penulis).

Cak Nun, orang yang pernah "berjasa" melengserkan Soeharto bersama dengan para cendikiawan lain seperti Amien Rais, keseleo lidah. Sesuatu yang seharusnya dijaga oleh sosok yang dianggap budayawan yang netral, tidak memihak berdasarkan sentimen pribadi, kalaupun mengkritik yang halus, mungkin dengan kiasan saja.

Sontak saja pernyataan suami dari Novia Kolopaking menuai hujatan.  Merasa kecolongan. Ia meminta maaf tapi bukan langsung dengan yang dikritiknya melainkan minta maaf ke keluarganya sendiri.

Jokowi sendiri diam, tidak menanggapi, tidak merespon. Yang merespon masyarakat, para pengagum Jokowi, mereka yang merasa bahwa apa yang digambarkan punggawa Kyai Kanjeng tidak telah offside, jauh sifat dan karakternya dengan gambaran Firaun yang sebenarnya.

Ajining Diri Soko lathi

Saat ini bapak dari Sabrang Mowo Damar  Panuluh (Noe) pasti sedang kerepotan. Ceramah, berbicara di era digital itu tidak mudah. Yang terekam dan kebetulan blunder bisa berbalik ke diri sendiri. Apapun mau politikus, penceramah, motivator, budayawan, ulama, harus hati-hati dalam berkata-kata. Konsistensi menjadi kunci, kehati-hatian memegang peranan penting, rendah hati dan tidak merasa lebih pintar, lebih baik, lebih sempurna, lebih cerdas dari audience, stakeholder dan masyarakat menjadi kunci untuk tetap dihargai. Jauh lebih bijaksana jika merendah daripada sombong dengan merasa lebih pintar, lebih menguasai ilmu, lebih ganteng dan lebih bijaksana.

Dalam ilustrasi Kang Sobary, (Muhammad Sobary budayawan asal Bantul, kolomnis di Kompas, penulis buku dan cendikiawan) Merasa Jadi macan, tetapi ternyata hanya dianggap kucing, bahkan kucing gering. Padahal gelarnya biasa seabreg, prestasi pendidikannya doktor berderet-deret, tapi jika hanya dianggap kucing ya percuma saja.

Hal ini menjadi catatan penulis (terutama saya) agar hati-hati dalam mengolah kata, sebab sekali terpeleset akan fatal akibatnya. Ajining diri soko lathi, Ajining rogo saka busana (harga diri  seseorang ditentukan oleh ucapan, kehormatan seseorang ditampilkan melalui penampilan)

Sebagai manusia bagaimanapun, ulama, cendikiawan, doktor, pastor, kyai pemimpin politik tetaplah manusia. Semakin dikenal, semakin berada di atas harus semakin waspada bahwa  setiap hari, setiap  berbicara, menulis dan melakukan komunikasi dengan orang lain harus selalu dijaga ucapannya, jangan sampai menyakiti, atau membuat banyak orang tersinggung.

Emha, semasa mudanya sangat aktif dalam penulisan buku, aktif dalam aktivitas budaya. Saya pernah bertemu melihat langsung Emha. Pentas teater dengan judul Santri-Santri Kidlir. Garapan teater dan komunitas budayanya yaitu Kyai Kanjeng telah pentas di banyak tempat. Musiknya yang kontemporer memadukan gamelan dan perangkat digital serta teaternya mewakili ragam komunitas dan lintas agama. 

Ceramahnya blak-blakan dan mudah dipahami. Terselip pesan-pesan moral dan filosofi hidup yang inspiratif. Namun tidak semua orang bisa memahami isi ceramahnya.

Bagi yang masih berpikiran tradisional pemikiran Emha tentunya tampak nyeleneh, namun sebenarnya buku-buku yang ditulisnya sarat humanisme tinggi. Ia adalah sosok keluaran santri yang wawasan  pergaulannya luas. Malah ia dulu sering diundang untuk menjadi penasihat penguasa.

Hanya sepandai-pandai tupai melompat akhirnya terpeleset juga. Apalagi berbicara  di era digital. Salah ucap sedikit bisa menimbulkan banyak masalah.  sekarang Cak Nun mungkin sedang tercenung, introspeksi dan merasa harus kembali pada dirinya. 

Apa yang sudah terucap tidak bisa ditarik lagi, untuk mengembalikan nama baik bukan hal mudah, tapi dari peristiwa terpeleset lidah ini  akan menjadi pembelajaran berharga, apalagi dengan sematan budayawan bahkan bagi sebagian orang menganggapnya kyai. Bukan kyai majenun yang sedang kerasukan jin, kesambet roh halus, atau setan.

Eling lan waspada (Ingat dan waspada) itu penting, apalagi mereka yang dianggap publik figur. Jokowi mungkin tidak marah, dan menganggap auman harimau itu hanya sebagai meongan kucing saja. Bukan mengkultuskan seorang presiden namun Jokowi itu dianggap luar biasa karena ia begitu sabarnya menerima segala hinaan, cercaan, kritikan yang seringkali mengarah ke fisik, meremehkan dilecehkan oleh yang merasa harimau, yang merasa punya kecerdasan lebih.

Adigang, Adigung, Adiguna. Filosofi Jawa yang menyiratkan agar manusia tidak merasa lebih kuat dengan menunjukkan kekuatannya yang lebih besar dari yang lain, Merasa lebih berkuasa dengan menggunakan besarnya kekuasaan untuk menekan masyarakat atau orang lain, merasa lebih pintar dan menganggap bodoh manusia lainnya.

Secara obyektif penulis melihat dalam masa pemerintahan Jokowi memang masih banyak kekurangannya, terutama dalam bidang hukum dan relasi kehidupan beragama, namun banyak kemajuan terutama dalam hal infrastruktur, penanganan Covid-19 yang dianggap berhasil dan tidak bergeming dengan rayuan pada rayuan negara lain untuk mengekspor bahan mentah ke luar negeri.

Meskipun angka kemiskinan masih tinggi, usaha Presiden Jokowi dan jajarannya telah membuat pondasi perekonomian cukup kokoh, dibandingkan dengan negara-lain di dunia yang tengah dilanda krisis akibat akumulasi bencana covid-19 dan krisis finansial.

 Jokowi dikenal sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat, tidak risi makan bersama masyarakat dan terlihat bahwa ia adalah seorang pemimpin eksekutor, gesit dan irit kata, lebih banyak terlihat di lapangan, bukan seseorang yang berkutat di belakang meja.

Dalam beberapa tahun belakangan banyak yang mengkritik aneka kebijakannya, terutama karena selama  dua tahun lebih berkutat dan fokus dalam penanganan pandemi, sedangkan perekonomian lambat perkembangannya (meskipun diakui bukan Jokowi saja yang merasakan tapi hampir seluruh negara di dunia merasakan dampak krisis akibat Covid-19 dan perang antara Ukraina dan Uni Sovyet).

Permenungan Diri

Cak Nun saat ini mungkin merasakan tamparan itu, tapi mungkin baik bagi dia untuk kembali tegak sebagai budayawan yang berdiri kuat sebagai penyangga budaya bukan sebagai serangga yang bikin risi dan bising dengan dengungannya. Seperti halnya yang tersirat dari buku-bukunya yang kualitasnya tidak diragukan lagi.

Manusia sesekali mendapat sentilan. Agar ia kembali menjadi manusia yang sadar bahwa ia butuh manusia lain untuk menggenapi ketidaksempurnaannya. Nah, itu yang ingin penulis katakan untuk diri sendiri. Ada sifat Firaun dalam setiap diri manusia kalau terlalu jumawa dan sombong pasti sesekali manusia akan terpeleset juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun