Aku tidak tahu bagaimana menghadapi kemarahan perempuan ketika ia benar-benar cemburu pada partner kerja. Entah, setiap kali menemukan foto yang muncul di galeri, mukanya berubah masam, ada dendam, ada cemburu, walaupun aku sudah katakan dengan jujur bahwa dia hanya partner kerja. Tidak siapa-siapaku dan bukan siapa-siapaku. Namun sampai saat ini rasa dendam dan kecemburuan masih seperti sekam yang sewaktu-waktu membara tanpa permisi.
Sudah kukatakan bahkan aku tidak apa-apa, tidak pernah ada apa-apa tetapi masalah ini seperti noktah yang susah hilang, ia akan muncul sewaktu-waktu. Aku sendiri kurang peka dan tidak sadar bahwa suatu saat aku akan mengabadikan moment bukan untuk melihat dan menyimpannya, namun semata untuk laporan kerja karena perlu dokumentasi.
Yang menjadi masalah aku bukan orang yang apik menyimpan, sehingga suatu saat dokumentasi itu muncul ketika pasanganku iseng melihat di galeriku tentang foto-foto yang kusimpan. Selalu ada hari naas, selalu ada hari yang mengecewakan saat aku sedang merenda rasa sayang, disiram dengan bara cemburu yang membungkam sementara komunikasi yang semula cair.
Aku jadi bingung, sebab apapun alasanku tidak pernah ia terimanya, apalagi aku sangat anti merusak rumah tangga orang. Kedekatanku pada perempuan perempuan saat ini lebih karena aku memang dekat dan kebetulan bekerja di satu atap.
Pikiranku saat ini tidak terbersit satu persenpun untuk melakukan hal-hal yang mengganggu relasi dengan pasangan hidup. Dasarnya adalah mengapa harus memercik bara jika aku akan semakin menderita bila menyembunyikan sebuah rahasia. Aku jarang menyimpan rahasia, kecuali pada masalahku sendiri yang berhubungan dengan kesenanganku menulis.
Kalau masalah menulis itulah egoku, aku perlu keras kepala dan susah diatur. Masalah yang lain aku anggap hanya rempah-rempah karena nyatanya aku orangnya setia pada komitmen. Namun itulah misterinya perasaan perempuan yang susah terukur, ia bisa bahagia memuncak namun tiba-tiba muncul rasa sedih penuh emosional karena kecemburuan yang sebenarnya hanya bagian dari rasa  takut kehilangan perhatian.
Apakah harus kukatakan dengan sebenarnya, dan jika aku menarasikan dengan bahasa verbalku ia hanya tersenyum pahit karena sering bingung dengan bahasaku yang celemotan. Aku tidak biasa bercerita lewat mulut, aku terbiasa mengungkapkan masalah dengan menulis. Ini yang membuat aku sering terbata dan tidak bisa menjawab ketika pasanganku mencecar dengan pertanyaan-pertanyaan yang bagiku terlalu cerdas.
Aku pasti gelagapan tidak bisa berkata dan memilih diam karena tidak punya kata-kata yang bisa menjawabnya dengan bahasa yang mudah dipahami.
Hai diary, bagaimana apakah kau bisa menjawab pertanyaanku dan memecahkan persoalan yang rumit, sementara tidak mudah menghilangkan stigma yang terlanjur menempel dalam sel-sel darahnya ketika mendengar nama, melihat wajah, foto, dan apapun tentang perempuan yang bukan siapa-siapa melainkan rekan kerja semata.
Adakah yang bisa memberikan solusi untuk hal ini, karena ketika aku diam itu juga salah, menjawabpun juga salah. Apapun alasanku pasti selalu saja terpentok pada satu jawaban. Hati perempuan itu penuh misteri.
Menjawab jujurpun aku bisa dianggap seperti anak kecil, mencari alasan lainpun akan tergiring bahwa itu hanya alibiku saja yang berusaha menyembunyikan keadaan yang sebenarnya, semakin aku panik dan gagap akan semakin menjadi makanan empuk untuk mencerca dengan banyak referensi tentang ciri-ciri orang yang selingkuh salah satunya adalah panik dan wajah tidak tenang yang dianggap bagian dari teori kebohongan.
Oke diari begitulah, apapun aku tetap mencintainya, kecembuan itu berarti rasa cinta yang nyata, meskipun aku sendiri tidak pernah bisa memperlihatkan bagaimana menunjukkan perasaan cemburu itu. Â Aku itu seperti angin, yang suaranya kadang lenyap, kadang muncul untuk situasi yang tidak pada tempatnya.
Kecemburuanku lebih pada kenapa orang lain bisa sangat merdeka menulis, sedangkan aku harus berkompromi dengan waktu, dan mesti menjaga perasaan agar aku tidak dicap egois sebagai penulis yang biasa mengumbar imajinasi. Seperti halnya ketika aku sedang melukis dan mencoret-coret kertas dan kanvas. Aku hanya ingin bebas berselancar meluncurkan imajinasiku.
Seniman itu kadang membingungkan, penulis demikian juga, mereka yang mengandalkan imajinasi kadang terjebak dalam imajinasi liar yang salah-salah menjadi bumerang bagi diri sendiri.
Oke diari itu saja, aku sudah puas menulis, dan semoga ada hal yang mencerahkan sehingga mampu melepaskan bayang-bayang menakutkan setiap kali muncul masalah yang sewaktu-waktu muncul secara tidak sengaja. Hidup itu memang pahit, tapi selalu ada rasa syukur yang terselip karena Tuhan tidak tidur, selalu datang membantu, meskipun manusia sering melupakan saat kesenangan datang. Termasuk diriku ini yang jujur tidak rajin berdoa, mungkin hanya menggumam bahkan lebih sering mengeluh.
Ataukah sesekali aku kadang mengumpat dan memakimu Tuhan dan itu adalah kekonyolan yang lahir dari gelegak emosi yang muncul tidak terkendali saat diakuisisi oleh setan yang berhasil memperdayaku untuk memuntahkan kemarahan.
Diari aku benar-benar mencintainya. Tidak ingin mengkianati kekasihku itu, secuilpun. Semoga kau membacanya sayang. Luka-luka itu akan kubasuh dengan anggur cintaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H