Kecemburuanku lebih pada kenapa orang lain bisa sangat merdeka menulis, sedangkan aku harus berkompromi dengan waktu, dan mesti menjaga perasaan agar aku tidak dicap egois sebagai penulis yang biasa mengumbar imajinasi. Seperti halnya ketika aku sedang melukis dan mencoret-coret kertas dan kanvas. Aku hanya ingin bebas berselancar meluncurkan imajinasiku.
Seniman itu kadang membingungkan, penulis demikian juga, mereka yang mengandalkan imajinasi kadang terjebak dalam imajinasi liar yang salah-salah menjadi bumerang bagi diri sendiri.
Oke diari itu saja, aku sudah puas menulis, dan semoga ada hal yang mencerahkan sehingga mampu melepaskan bayang-bayang menakutkan setiap kali muncul masalah yang sewaktu-waktu muncul secara tidak sengaja. Hidup itu memang pahit, tapi selalu ada rasa syukur yang terselip karena Tuhan tidak tidur, selalu datang membantu, meskipun manusia sering melupakan saat kesenangan datang. Termasuk diriku ini yang jujur tidak rajin berdoa, mungkin hanya menggumam bahkan lebih sering mengeluh.
Ataukah sesekali aku kadang mengumpat dan memakimu Tuhan dan itu adalah kekonyolan yang lahir dari gelegak emosi yang muncul tidak terkendali saat diakuisisi oleh setan yang berhasil memperdayaku untuk memuntahkan kemarahan.
Diari aku benar-benar mencintainya. Tidak ingin mengkianati kekasihku itu, secuilpun. Semoga kau membacanya sayang. Luka-luka itu akan kubasuh dengan anggur cintaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H