Bahkan ia malah menolak jika diminta untuk membela presiden ketika ditekan, diejek, dihina dan dipojokkan netizen dan politikus oposisi. Bahkan ia malah mendatangi dan mengatakan ia mengidolakan sosok Rocky Gerung yang tidak pernah absen mengritik dan mengatakan jelek tentang ayahnya. Kata-kata dungu yang terlontar untuk menyerang pemerintahan sekarang, tidak digubris Gibran. Ia malah mendatangi "musuh bebuyutan" Jokowi dan datang untuk silaturahmi ke sang Kritikus yang sindirannya bikin panas dan emosi pada mereka yang tidak tega Jokowi diejek habis-habisan.
Dalam filosofi Jawa dikenal dengan Ngluruk tanpa bala menang tanpa ngasorake. Atau ada istilah lain suro diro jayaningrat lebur dening pangastuti. Artinya kurang lebih mendatangi musuh tanpa teman, menang tanpa merendahkan. Semua bentuk keangkaramurkaan yang bertahta dalam diri manusia lebur atau hancur oleh tindakan kasih sayang.
Kalau AHY lebih memilih menyerang dan mengandalkan kesuksesan ayahnya. Gibran lebih senang pencapaian kesuksesan dihargai oleh usaha sendiri. Ia tidak suka jika harus menilai pencapaian ayahnya karena ia ingin dihargai bukan sebagai anak presiden tetapi karena dirinya sendiri. Â Begitu kesan yang bisa dipetik dari tipikal seperti Gibran. Ia tidak suka dibanding-bandingkan. Ojo Dibandingke. Begitu lagu abah Lala yang dinyanyikan awalnya oleh caknan dan semakin moncer kala dinyanyikan anak kecil bernama Farrel Prayoga.
Puan dan Pekerjaan Rumahnya Menaikkan Elektabilitas
Lalu bagaimana dengan Puan Maharani? Puan adalah politikus matang yang belajar politik dari ibunya yang ketua umum PDIP. Ia cukup lama terjun ke politik, belajar dan kemudian mendapat posisi sebagai anggota DPR, sempat didapuk menteri di awal masa jabatan Jokowi dan ketika pada 2019 ia mendapat mandat sebagai Ketua DPR.
Secara pengalaman jelas ia lebih pengalaman dibandingkan AHY dan Gibran. Ia sudah terbiasa dengan intrik-intrik politik. Partai tempat bernaungnya banteng moncong putih sudah menggemblengnya menjadi politikus matang, namun lagi-lagi secara popularitas maaf ia masih kalah jauh dengan Ganjar, Anies dan Prabowo Subianto. Kalau mau mengajukan diri menjadi calon presiden ia harus bekerja keras agar suaranya terdongkrak signifikan, namun bukan hal mudah menaikkan popularitas dalam waktu sekejab.Â
Bahkan dari banyaknya diskusi dan komentar di medsos, semesta alam tampaknya masih meragukan kapasitas dan kapabilitas Puan Maharani meskipun ia adalah putra mahkota ketua umum, cucu dari legenda demokrasi dan pencetus kemerdekaan  Soekarno. Secara biologis dan ideologis ia mungkin mewarisi trah Soekarno, tetapi kenyataannya banyak masyarakat menilai sekarang bukan lagi karena keturunan siapa, tetapi lebih pada rekam jejak dan kerja nyata.
Masyarakat lebih melihat Puan bukan orang yang pandai bicara, lebih banyak bekerja dalam diam, sehingga banyak orang kurang mengenal kualitas kepemimpinannya. Puan dikenal lebih karena ia anak Megawati, mantan presiden dan ketua umum dari partai besar. Sedangkan prestasi individunya tidak banyak orang mengenalnya. Bagaimana meyakinkan masyarakat agar Puan dikenal?
Bukan dengan spanduk dan banner yang dipajang di mana-mana, tetapi lebih pada kepedulian, jejak kedekatannya dengan masyarakat bukan karena gimmick hanya saat mendekati pemilu, tetapi karena memang kemampuan diri sendiri yang terbiasa dekat dengan rakyat, itu yang belum ditunjukkan oleh Puan, AHY dan sebagian anak-anak pejabat yang masih mengandalkan popularitas orang tuanya.
Jadi bagi anda yang menginginkan sosok pemimpin negara masa depan siapa  diantara anak presiden yang punya kans besar  meneruskan jejak menjadi pimpinan tertinggi negara ini. Hanya alam yang tahu dan tentu usaha mereka sendiri untuk merebut simpati masyarakat. Salam Damai Selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H