"Ih, GR Mas Darmin ini... wong aku cuma suka saja..."
" Masa sih. Kalau tidak mau kenapa mau diajak mojok di dapuran mpring ini(sekumpulan pohon bambu)"
"Khan sebetulnya aku takut mas?"
"Takut kenapa... jujur saja."
Dengan lirih Marsih berbisik ke telingaku
"Takut kehilanganmu Mas."
Kata-kata Marsih membuat aku terdiam. Sebegitu dalamnya cinta Marsih kepadaku sampai ia benar-benar polos mengatakan bahwa ia takut kehilangan diriku. Aduh rasanya jadi melayang, panas dingin hati ini.
Suara jalak membuat aku tergagap, tidak mampu bicara kecuali seperti kerbau dicocok hidung. Dengan naluri pria spontan, aku pegang tangannya, kuelus lembut buku-buku jarinya, kupegang lembut rambutnya yang terurai, memetik bunga liar yang tumbuh disekitar gerumbulan bambu. Bunga itu kuselipkan di kuping kanannya.
"Kamu cantik sekali dengan bunga di atas kupingmu Marsih."
Aku melihat dan merasakan tangan Marsih agak bergetar, seperti ada bulu-bulu kuduk yang membuka, namun tiba-tiba matanya tertutup, mengharapkan sesuatu yang akan memberi hadiah indah untuk dibawa ke dalam mimpinya.
Sebuah kecupan lembut mendarat di dahi Marsih. Aku menciumnya sepenuh jiwa. Wajah Marsih memerah, tetapi matanya tetap tertutup seperti tengah merasakan ada gejolak yang muncul dari hati dan otaknya. Sepertinya ia tengah tenggelam dalam khayalan dan getar- getar cinta yang tengah membara.