Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Refleksi Sebuah Peristiwa di Ujung Pena Penulis

5 April 2022   06:08 Diperbarui: 5 April 2022   13:26 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tugas penulis bukan menelanjangi masalah, bukan komentator yang asal "njeplak"hingga suasana menjadi sebuah kemelut akibat perbedaan cara berpikir tentang sebuah polemik. Tugas penulis mendinginkan suasana bukan memperkeruh masalah.

Berkaca pada setiap masalah terutama para pegiat yang senang turun ke jalan, membentangkan spanduk dan berteriak penuh emosi, penulis datang dengan kepala dingin, mencari sumber masalah dan referensi  valid atas segala sebab akibat yang ditibulkan dari kasus viral, masalah besar yang menjadi polemik.

Karena penulis adalah pembaca yang baik, setiap langkah dan pikirannya bukan berdasarkan asumsi pribadi, tetapi berdasarkan refleksi hati. Bukan sekedar menulis karena emosi apalagi dengan jari telunjuk yang seakan-akan menunjuk ke muka tertuduh.

Ia harus lebih dahulu membersihkan keinginan diri, melihat wajah, pikiran dan jiwanya dahulu sebelum melontarkan kritik. Mungkin itulah yang dilakukan oleh para penulis yang sudah lama merasakan asam, pahit manisnya dunia. Ia mengerti berbagai peristiwa, melihat akar masalahnya dan berusaha untuk mengurai tanpa menyakiti.

Memang setiap penulis mempunyai prinsip, dan pasti mempunyai subyektifitas, tetapi paling tidak ia tidak membabi buta menghakimi. Tulisannya lebih sekedar sebagai pengingat dan jangkar agar tidak terseret arus besar emosional yang melahirkan kata- kata anarkhis dan pola pikir radikal.

Radikal dalam prinsip tetap ada tetapi ada yang jauh lebih esensial daripada mengumpat tidak tentu arah. Ia (penulis) tetap tersenyum meskipun hidup penuh kepahitan. Tetap bisa tertawa meskipun nestapa bertubi-tubi datang.

Tulisannya tetap runtut meskipun ia selalu merasa derita selalu mendekat dan hampir putus asa menghadapi hantaman badai ujian yang tak kunjung usai.  Penulis merefleksikan peristiwa sebagai hikmah, bagian dari drama dan bagian dari pengalaman hidup yang memperkaya katanya dengan mereflesikan betapa luar biasanya hidup.

Penulis melangkah dengan hati dan pikiran jernih, meskipun kelu, kelam menimpa dan seperti selalu mendapat hantaman keras, sebab meskipun tulisannya mendapat decak kagum para pembacanya, mereka tidak tahu ada banyak hal sedih yang bisa disembunyikan dan hanya dijadikan ilustrasi imajinatif untuk mencontohkan bahwa banyak peristiwa sedih yang bisa membuat air mata pembacanya meneteskan air mata, antara haru dan ingat bahwa peristiwa yang diceritakan penulis itu seperti refleksi kehidupannya.

Sungguh pintar penulis merangkai sebuah tulisan, ia melihat sebelum orang melihat. Coba saja rasakan tulisan-tulisan dari Paulo Cuelho, Ernest Hemingway, Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar, Anton Chekov, Iwan Simatupang, dan sederet penulis lain yang tidak bisa saya sebut satu persatu saking banyaknya.

Bukan sekedar memaki, para penulis itu merangkai kata-kata yang menyentuh kalbu, bukan sekedar kritik dan protes ia menceritakan sebab akibat dari perilaku manusia egois yang hanya mementingkan diri sendiri dan golongannya. Bukan sekedar benci, ia bisa membuka kotak Pandora bagaimana setiap masalah mempunyai konsekwensi.

Tulisan-tulisan yang lahir dari penulis seringkali lebih tajam dari samurai, ia bisa menjadi senjata mematikan bagi orang yang dengan congkak memangkas hak hidup orang banyak. Kalau setiap manusia bisa membaca dengan pikiran dan emosi jernih, maka setiap peristiwa bisa membuat jiwanya mengerti betapa tidak mudahnya memutuskan dan memotong sebuah rantai masalah.

Egoisme manusialah yang kadang membuat sebuah peristiwa tampak runyam dan kacau, pemimpin yang egois melahirkan banyak kekacauan. Akibat dari "nggugu karepe dewe" maka banyak yang berhubungan dengan kemanusiaan terlewatkan. Ada banyak manusia bertumbangan karena kebijakan yang lahir dari emosi manusia ego. Ia hanya berpikir untuk kepentingan diri bukan merasa empati terhadap kesusahan manusia atau makhluk lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun