Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Air Bersih Oh Air Bersih! (Balada Gang Sempit Kota - 2)

1 Maret 2022   14:45 Diperbarui: 2 Maret 2022   13:15 882
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penjual Air Bersih Keliling banyak ditemui  di daerah Cengkareng( jakarta.tribunnews.com) 

Kelangkaan air bersih menjadi persoalan utama masyarakat yang hidup di perkampungan kota yang padat dan saling berhimpitan. Jakarta salah satu kota yang selalu mempunyai persoalan tentang air. Dan pada artikel ini akan saya kupas tentang masalah air, disamping berbagai masalah yang pernah saya rasakan ketika pernah dan masih tinggal di perkampungan padat di metropolitan Jakarta.

Artikel ini adalah kisah-kisah saya yang pernah dan masih akrab dengan pemukiman padat penduduk, dengan jalan dan gang yang boleh dikatakan tidak lebih satu meter. 

Saya pernah menceritakan di artikel sebelumnya bagaimana kehidupan di perkampungan padat penduduk di Petogogan Kebayoran Baru Jakarta Selatan. 

Sebuah kehidupan dan potret nyata dari para pekerja yang rata-rata menengah ke bawah. Bertahan dan terus menjalani kehidupan penuh tantangan termasuk langganan banjir.

Banjir dan persoalan klasik kota besar

Kemudian saya sempat pindah dan nge kost jauh dari Jakarta tepatnya di Cimanggis, Kelapa Dua Depok, Jawa barat. Cukup lama di situ terus pindah ke Pasar Minggu tepatnya di daerah Pejaten Pasar Minggu. 

Sekitar tahun 2004 pernah tinggal dan nge- kost, agak turun kost-nya dan disitu tidak lama, namun sebetulnya enak tinggal di situ karena dekat dengan bumi perkemahan di Cilandak dan juga dekat dengan kebun binatang.

Setiap Sabtu pagi atau hari minggu sering jalan kaki melewati gang yang kata orang di Pejaten itu ada studio alam milik adik Ahmad Albar Camelia Malik.

Pas kebetulan tinggal di sana gang tempat kost sering dibuat untuk shoting sinetron komedi situasi yang artis utamanya adalah Parto. Kalau lagi buka jendela, hampir setiap sore jalan depan kost dijadikan lokasi sinetron dengan scene adegan orang gila. 

Dari gang tersebut yang letaknya sebetulnya dekat dengan jalan tol Simatupang dan juga jalan Pasar Minggu menuju Cilandak. Saya dulu hapal dengan gang kecil itu dan di pojok gang ada pabrik tahu yang letaknya berada di pinggir sungai kecil.

Kost itu dekat dengan rumah Sukmawati Soekarno Putri. Angkot yang melintas adalah angkot jurusan Pejaten menuju Kebagusan belakang kebun binatang Cilandak. 

Dulu menurut penuturan Jalan Pejaten itu lurus menuju ke Kebagusan, namun karena ada Jalan Tol Simatupang maka kalau mau ke Kebagusan harus memutar dulu di perempatan Pasar Minggu Lenteng Agung. Menyusur pinggir jalan tol.

Pindah dari Pasar Minggu mendekat ke daerah Tebet Dalam sekitar tahun 2005 sampai 2007. Di Tebet dalam pun kebiasaan saya adalah menyusur gang-gang sempit di belakang apartemen rasuna Said, dan Kuburan umum Karet. 

Saya sering menyusur gang kecil menuju ke kawasan elit Rasuna said melewati kuburan yang kurang terurus di antara Tebet Dalam dan Rasuna Said. Selama tahun 2005 sampai 2007 saya sering bersepeda melewati jalan Tebet Dalam sampai ke daerah Pasar Rumput dekat stasiun Manggarai. Taman Guntur. 

Kontur jalannya agak naik turun ketika masuk ke Tebet Dalam. Dan di Tebet Dalam pernah mengalami banjir beberapa kali. Daerah itu juga dikenal dengan daerah Menteng tapi sebutannya Menteng Dalam. Kalau  Menteng tempatnya orang-orang elit, di Menteng Dalam kontras, antara yang kaya dan menengah ke bawah, 

Banyak rumah-rumah  besar, namun tidak sedikit yang rumahnya masih rumah petak dan masuk di gang sempit. Dari ujung pasar Tebet Dalam sampai ke taman kompleks Guntur di Pasar Rumput pernah saya jelajahi.

Pada intinya sama banyak masyarakat pendatang yang berjibaku untuk tetap bertahan di Jakarta dengan segala pernak-perniknya. Para pekerja kantoran, buruh, pedagang, tentara, pengusaha, pegawai negeri dan guru yang harus berjuang untuk tetap bertahan di tengah persaingan ekonomi di kota metropolitan.

Jakarta dan persoalan  air bersih.

Jakarta Barat pertama kali saya mengontrak rumah di  daerah padat penduduk. Lingkungan yang terkenal dengan kampung preman. Nama daerahnya adalah Kampung Utan masih wilayah Cengkareng Timur, belakang Perumnas tepatnya di belakang RSUD Cengkareng. 

Di Masa lalu daerah ini bisa dikatakan jin buang anak. Banyak rawa-rawa dan petakan kebun kosong yang digarap oleh penduduk sekitar. Terutama warga Pedongkelan dan warga Kampung Utan.

Mengapa disebut kampung preman, maling. Karena banyak warganya terutama pemudanya yang terkenal menjadi pelaku kriminal meskipun daerah operasinya jauh dari daerah asalnya. 

Kontrakan saya sebetulnya masih bisa dilewati mobil tapi setelah beberapa langkah masuk jalan menyempit menembus jalan menuju jalan Jati  Raya di Cengkareng Timur. Seperti biasa kekepoan saya membuat saya bisa mengenal gang-gang kecil di sekitar Kampung Utan. 

Jalan-jalan tikus yang menghubungkan gang satu dengan gang yang lain sampai di daerah Pedongkelan dan juga di Kantor Kecamatan Cengkareng Timur sampai ke Pasar Cengkareng cukup saya kenal. Saya tinggal karena ingin dekat dengan tempat tinggal  mertua. Pada tahun 2007 saya menikah dan memutuskan mendekat ke Jakarta Barat.

Sebetulnya dari awal saya tidak membayangkan tinggal di daerah Jakarta Barat. Itu bukan cita-cita saya, saya lebih suka tinggal di daerah Selatan seperti Pondok Labu, atau daerah Jakarta  Selatan. 

Namun, kehidupan bergulir dan harus kompromi. Ya memang jalannya takdir dulu pernah ke daerah Cengkareng karena ada cita-cita untuk menjadi pelaku seni, kursus kilat menjadi pemain sinetron dengan melakukan perjalanan dari Blok M ke daerah Jakarta Barat tepatnya di Rusun yang dekat dengan sekolah Budha Tzu Tji(sekarang). 

Sekitar tahun 1998 saya pernah datang di daerah Cengkareng di mana dulu Mal belum ada, yang ada hanya petakan sawah dan kebun, banyak pohon pisang ada di pinggir jalan dan Jalan tol Lingkar luar belum ada sama sekali.

Saya naik ojek dari perempatan Cengkareng menuju Rusun. Menyusur jalanan becek, banyak rawa, kebun jagung dan singkong. Lingkungan Rusun dulu adalah yang terapi dibanding dengan perkampungan yang masih banyak tanah kosong, lapangan kerbau-kerbau yang dibiarkan liar mencari rumput sekitar tanah-tanah yang katanya dulu ada milik keluarga Soeharto. 

Sejak Orde Baru tumbang maka daerah itu seperti menjadi lahan petak yang digarap oleh banyak penduduk di daerah Pedongkelan dan Cengkareng.

Mertua pernah bercerita bahwa ia mempunyai sawah yang cukup luas yang bisa beliau garap sehabis bekerja menjadi karyawan Trisakti. 

Tanah mangkrak itu dulunya adalah tanah keluarga Soeharto sebelum lengser, setelah lengser tanah itu seperti tidak bertuan dan menjadi tanah garapan yang pada akhirnya dikuasai pengembang Bangun Cipta  Karya Perkasa anak grup Agung Sedayu   dan Perumnas.

Perumnas mengembangkan rumah di daerah Cengkareng Timur sedangkan Podomoro membuat kawasan perumahan dan Mal di sekitar RSUD sampai Mutiara Taman Palem. Pada 1988 tidak terbayang bahwa suatu saat akan tinggal di daerah sekitar Rusun Jakarta Barat sekitar 10 tahun kemudian. 

Karena melihat betapa ruwetnya penataan kota dan daerahnya yang sangat panas, saya tidak pernah membayangkan dan tidak pernah sekalipun berharap bisa tinggal di Jakarta wilayah Barat. 

Namun takdir dan jalan Tuhan memang misteri ternyata saya mendapat jodoh warga Jakarta Barat. Ya itulah sebuah perjalanan kehidupan tidak pernah tahu bagaimana ke depannya.

Banjir Di Pedongkelan beberapa tahun lalu gambar saya ambil dengan jalan kaki melewati gang sempit dari arah Daan Mogot Estate menyusur ke Pedongkelan Dalam dekat dengan alur aliran Pintu seng (Kompasiana.com/joko Dwiatmoko)
Banjir Di Pedongkelan beberapa tahun lalu gambar saya ambil dengan jalan kaki melewati gang sempit dari arah Daan Mogot Estate menyusur ke Pedongkelan Dalam dekat dengan alur aliran Pintu seng (Kompasiana.com/joko Dwiatmoko)

Saya tinggal di Cengkareng sampai sekarang. Meskipun punya rumah di Jonggol  Dari Minggu malam sampai hari jumat masih berada di seputar Pedongkelan Jakarta Barat. 

Di Tahun 2007 pernah apel di rumah calon istri namun. Waktu itu masih kost di Tebet Dalam. Ketika ngapel istilahnya saat mau pulang ternyata terjebak banjir. Di mana- mana banjir apalagi di jalan Daan Mogot parah banjirnya, orang-orang hanya bisa lewat jalan tol Sedyatmo atau Jalan tol Kebun Jeruk.

Sepanjang jalan dicegat banjir, hingga akhirnya saya memutuskan untuk bertahan di Jakarta Barat selama 3 hari. Jakarta benar-benar dikepung banjir. 

Daan Mogot daerah Taman kota, Pesing, Indosiar, semuanya banjir, banjirnya cukup tinggi, bahkan dulu pernah naik sepeda , sepeda saya tenggelam ketika melewati jalan Daan Mogot yang berada tepat di depan Stasiun televisi Indosiar, benar-benar parah, kalau mau ke tebet, rintangan ada lagi di Kyai Tapa yang ada di depan Universitas Trisakti, benar-benar kacau balau.

Gang-gang kecil di daerah pedongkelan benar-benar tenggelam dan mirip parit.  Pedongkelan Dalam, pintu Seng, Daan Mogot Estate semuanya terdampak banjir. Sebagian penduduk mengungsi di daerah yang relatif bebas banjir. Saya pernah menyusur daerah Pedongkelan saat banjir benar-benar parah luar biasa. Namun kehidupan tetap harus jalan. 

Persoalan utama di daerah rawan banjir dan perkampungan padat penduduk adalah masalah air. Ketika masih ngontrak di Pedongkelan, persoalan itu menjadi persoalan rutin sehari-hari, untuk bisa mendapatkan jatah air dari PAM harus menunggu malam sampai subuh untuk bisa mengumpulkan air bersih. Kalau lagi langka mesti membeli air satu jerigen 3000 rupiah. 

Ada juga penjual air bersih yang setiap harinya mendorong sekitar 10 sampai 12 Jerigen dalam gerobak panjang. Mereka mendatangi masyarakat yang butuh air untuk keperluan air minum, mandi dan cuci piring dan baju.

Harus ada budget lebih untuk memberi air bersih atau galon air isi ulang yang banyak tersedia di sekitar perkampungan. Betapa berharganya air di Jakarta terutama di daerah Jakarta Barat, rasanya  kontras dengan daerah asal saya di Magelang yang dalam kesehariannya air pegunungan dan air bersih banyak terbuang percuma sehari-hari karena melimpahnya air.

Menyelaraskan kehidupan di kota dan di pegunungan memang sebuah tantangan. Sejak kecil saya hidup di desa dengan kelimpahan air bersih, sedangkan ketika merantau di Jakarta harus selalu bisa memecahkan persoalan di mana air menjadi masalah terberat yang harus selalu dihadapi. Saat kelebihan air Jakarta sengsara, saat kekurangan air Jakarta sengsara juga, repot juga khan. 

Tapi itulah kehidupan, hidup di Metropolitan terutama saat tinggal di gang sempit, perkampungan padat saya harus bisa menyesuaikan diri. Luwes menyikapi ragam kehidupan.

Saya namakan balada gang sempit karena banyak cerita bisa digali dari kehidupan di gang kecil. Semoga masih banyak cerita dihasilkan dari potret kehidupan kota. 

Di balik glamornya suasana Kota malam dengan kerlip lampu menawan di sepanjang kiri kanan Tol lingkar dalam Jakarta, kemewahan yang tersaji saat menonton sinetron, banyak cerita baik pilu, kriminal, pemerkosaan, kebakaran, kebanjiran yang menyisakan rasa getir dan pahit kehidupan metropolitan.  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun