Di Tahun 2007 pernah apel di rumah calon istri namun. Waktu itu masih kost di Tebet Dalam. Ketika ngapel istilahnya saat mau pulang ternyata terjebak banjir. Di mana- mana banjir apalagi di jalan Daan Mogot parah banjirnya, orang-orang hanya bisa lewat jalan tol Sedyatmo atau Jalan tol Kebun Jeruk.
Sepanjang jalan dicegat banjir, hingga akhirnya saya memutuskan untuk bertahan di Jakarta Barat selama 3 hari. Jakarta benar-benar dikepung banjir.Â
Daan Mogot daerah Taman kota, Pesing, Indosiar, semuanya banjir, banjirnya cukup tinggi, bahkan dulu pernah naik sepeda , sepeda saya tenggelam ketika melewati jalan Daan Mogot yang berada tepat di depan Stasiun televisi Indosiar, benar-benar parah, kalau mau ke tebet, rintangan ada lagi di Kyai Tapa yang ada di depan Universitas Trisakti, benar-benar kacau balau.
Gang-gang kecil di daerah pedongkelan benar-benar tenggelam dan mirip parit. Â Pedongkelan Dalam, pintu Seng, Daan Mogot Estate semuanya terdampak banjir. Sebagian penduduk mengungsi di daerah yang relatif bebas banjir. Saya pernah menyusur daerah Pedongkelan saat banjir benar-benar parah luar biasa. Namun kehidupan tetap harus jalan.Â
Persoalan utama di daerah rawan banjir dan perkampungan padat penduduk adalah masalah air. Ketika masih ngontrak di Pedongkelan, persoalan itu menjadi persoalan rutin sehari-hari, untuk bisa mendapatkan jatah air dari PAM harus menunggu malam sampai subuh untuk bisa mengumpulkan air bersih. Kalau lagi langka mesti membeli air satu jerigen 3000 rupiah.Â
Ada juga penjual air bersih yang setiap harinya mendorong sekitar 10 sampai 12 Jerigen dalam gerobak panjang. Mereka mendatangi masyarakat yang butuh air untuk keperluan air minum, mandi dan cuci piring dan baju.
Harus ada budget lebih untuk memberi air bersih atau galon air isi ulang yang banyak tersedia di sekitar perkampungan. Betapa berharganya air di Jakarta terutama di daerah Jakarta Barat, rasanya  kontras dengan daerah asal saya di Magelang yang dalam kesehariannya air pegunungan dan air bersih banyak terbuang percuma sehari-hari karena melimpahnya air.
Menyelaraskan kehidupan di kota dan di pegunungan memang sebuah tantangan. Sejak kecil saya hidup di desa dengan kelimpahan air bersih, sedangkan ketika merantau di Jakarta harus selalu bisa memecahkan persoalan di mana air menjadi masalah terberat yang harus selalu dihadapi. Saat kelebihan air Jakarta sengsara, saat kekurangan air Jakarta sengsara juga, repot juga khan.Â
Tapi itulah kehidupan, hidup di Metropolitan terutama saat tinggal di gang sempit, perkampungan padat saya harus bisa menyesuaikan diri. Luwes menyikapi ragam kehidupan.
Saya namakan balada gang sempit karena banyak cerita bisa digali dari kehidupan di gang kecil. Semoga masih banyak cerita dihasilkan dari potret kehidupan kota.Â
Di balik glamornya suasana Kota malam dengan kerlip lampu menawan di sepanjang kiri kanan Tol lingkar dalam Jakarta, kemewahan yang tersaji saat menonton sinetron, banyak cerita baik pilu, kriminal, pemerkosaan, kebakaran, kebanjiran yang menyisakan rasa getir dan pahit kehidupan metropolitan. Â