Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

PKS Gencar Menolak IKN, Oposisi Bingung Membedakan Kritik dan Menghina

24 Januari 2022   18:02 Diperbarui: 24 Januari 2022   18:26 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wacana perpindahan ibu kota ke Kalimantan sebetulnya sudah lama didengar, bahkan dulu Bung Karno kalau tidak salah ingin memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Tengah. Wacana pindahnya ibu kota gencar lagi muncul ketika pemerintahan dipimpin Jokowi. Awalnya tidak seheboh sekarang yang tiba-tiba saja menjadi bola liar dan dengan agresifnya PKS (Partai Keadilan Sejahtera) tidak setuju dengan usulan pemindahan ibu kota negara.

Kritikan kemudian terus datang, beberapa pengamat, ekonom, politikus yang sudah terkenal kritis langsung membuat banyak statemen. Intinya adalah ketidaksetujuan pemindahan ibukota dengan ragam alasan. 

Ada alasan sebaiknya pemerintah fokus dulu pada pemulihan ekonomi dan konsentrasi pada pencegahan penyebaran covid yang saat ini mulai naik lagi. 

Sudah ribuan orang di Jakarta dan sekitarnya omicron menyerang masyarakat, rumah sakit mulai sibuk, tempat khusus untuk perawatan covid-19 varian omicron mulai penuh lagi, bahkan ada beberapa orang dinyatakan meninggal karena omicron.

PKS bahkan merayu warga DKI untuk mengadakan referendum menolak perpindahan ibu kota. Mereka tidak terima alasan pindah ibu kota karena dirasa Jakarta yang paling cocok sebagai ibukota. Bahkan ada ustad yang dalam kotbahnya memberi opini bahwa sebagian wakil rakyat, sekitar 200 orang terafiliasi PKI, mereka yang semangat untuk memindahkan Ibu kota negara dari Jakarta Ke Kalimantan. 

Isu PKI terus dihembuskan lagi, padahal komunisme di banyak negara sudah bubar. Setiap kali ada peristiwa politik maka isu komunis rasanya menjadi langganan untuk dimunculkan. Para pemuka agamapun banyak yang tidak ada bedanya dengan politikus yang tengah memainkan jurus menyebarkan berita hoaks untuk kepentingan politik.

Para oposan terus menggoreng isu, dan membuat media sosial terbelah. Sejumlah tokoh yang selalu berseberangan seperti Faisal Basri, Rocky Gerung, Rizal Ramli, Fadly Zon menganggap bahwa pemerintah tidak peka dengan masalah rakyat. Rocky Gerung seperti biasa terus menyerang pemerintahan Jokowi. 

Wacana penamaan ibukotapun menjadi bahan bullyan dan kritikan mereka. Rocky mengusulkan penamaan IKN dengan Jokowikarta, ada tujuan yang sengaja dikeluarkan pengamat oposan seperti Rocky Gerung yang lebih cenderung mengkritik dengan melontarkan kata-kata yang lebih dekat dengan menghina.

Rizal Ramli menganggap pemindahan IKN adalah upaya membangun New Beijing, mengingat banyak investor yang didatangkan dari Tiongkok itu menurut pendapat mantan mentri Jokowi yang diganti karena lebih sering gaduh daripada menunjukkan prestasi. 

Faisal Basri menganggap jahat sekali ide memindahkan ibu kota negara saat seharusnya pemerintah konsentrasi untuk melakukan pemulihan ekonomi dan menghadapi pandemi covid yang belum berakhir.

Pendapat para politik oposan dan sejumlah tokoh oposan yang sering bersuara keras itu masih ditambah dengan kehebohan politikus yang gagal melenggang ke Senayan. 

Edy Mulyadi (yang katanya jurnalis) dengan kata-kata keras cenderung kasar menantang dan menuduh Mentri Pertahanan Prabowo Subianto terlibat dan mengikutkan keluarganya menjadi investor seperti Hashim Djojohadikusumo yang ikut ambil bagian dalam pengadaan air minum di IKN. Prabowo dikatakan bukan lagi macan tetapi tepatnya meong.

Politik memang luar biasa, praduga, tuduhan,protes dengan banyak sekali alasan, baik yang masuk akal maupun yang bisa diterima logika terus diluncurkan. Para oposan itu tiba-tiba saja seperti kebakaran jenggot padahal wacana pemindahan kota sudah cukup lama.

Polah politikus itulah yang membuat masyarakat bingung mana yang bisa dipercaya. Sebab banyak media saat ini yang cenderung partisan, memihak dan kadang lebih sering membuat masalah menjadi lebih runyam. Banyak media malah berusaha membenturkan antar kelompok untuk saling serang komentar di media. 

Banyak sekali buzzer mendengung dan ditampung di media hingga menjadi viral. Komentar pedas, tidak beradab seperti sengaja tidak disensor. Semuanya dengan gamblang diperlihatkan sehingga menampak wajah bar-bar masyarakat lewat cerminan media sosial.

Politik seakan carut marut, tidak mematok etika yang jelas dan cenderung mengaminkan bahasa kekerasan. Oposisipun lebih sering asal beda daripada mengkritik disertai upaya konstruktif untuk meluruskan yang salah. Yang penting beda, termasuk tidak sadar menghina dan main fisik.

Pembelahan yang ada di masyarakat ini menjadikan Indonesia memang negara demokrasi terbesar tapi pertanyaannya sudahkah mereka dewasa dalam berpolitik. Bahkan saat ini para oposan terlihat lebih banyak menyerang dengan bahasa kasar, tidak disertai solusi, malah dengan bahasa satir terus mengungkap dan menunjukkan betapa bobroknya pemerintahan saat ini.

Dalam politik sah-sah saja beda sudut pandang, beda pendapat, tetapi yang terlihat di masyarakat terutama di media sosial adalah kata-kata bar-bar,  lebih condong ke penghinaan. 

Politik dilakukan dengan cara  brutal,  sengaja memuncullkan isu-isu sara, hoaks munculnya PKI, dan salah kaprahnya pemuka agama yang lebih cenderung aktif menjadi politikus daripada membuat nyaman dan damai jamaahnya.

PKS  saat ini satu-satunya partai oposisi (Kalau demokrat bingung apakah oposan atau partai "tergantung"), mereka konsisten beda, banyak yang tidak suka dan bosan dengan intrik-intrik pada politisinya. 

Ayolah elegan sebagai oposisi, bangun dan tampakkan bahwa meskipun oposisi tapi mampu memberi kritik konstruktif, kritik yang bisa diterima logika. Pemuka agama seharusnya menjauhkan diri dengan politik karena jika pemuka agama sudah terkontaminasi politik maka khotbahnya cenderung provokatif dan tidak lagi obyektif.

Pemuka agama yang terjun ke politik lebih banyak pesanannya daripada esensi utama pengkhotbah yang menyejukkan dan mampu memberi kedamaian dan kerukunan antar umat. Keadilan itu bukan seperti prinsip PKI sama rasa, sama rata. Keadilan itu adalah tentang hak, tentang bagaimana mendudukkan hak pada tempat yang benar. Yang bekerja keras berhak mendapat lebih daripada yang malas dan tidak mau berusaha keras.

Politik itu bukan sekedar memaksa ideologi luar masuk dan kemudian menyamakan semua. Keadilan itu tentang menerima keberagaman dan perbedaan. So, alangkah indah jika kritikan yang terlontar bukan sekedar ingin beda tetapi bagaimana memberi keseimbangan sebab  kadang pemerintah di satu sisi lemah dan oposan memberi kritikan dan mengingatkan agar kembali ke jalur yang benar. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun