"Nanti, aku tidak jadi terkenal... khan dengan mengembalikan bantuan diam-diam pencitraan dong. Masak hanya gubernur yang bisa pencitraan, orang miskin seperti saya juga bisa..."
"Wah, kalau itu aku tidak mau komentar... Ternyata kamu sama..."
Dialog di atas hanya sebuah intermezo. Hanya mencoba berkhayal apa sih yang dipikirkan oleh Fajar Nugroho. Saya yakin dari wajahnya ia orang yang jujur dan tulus, tapi sebagai penulis saya mencoba berfantasi, tidak berusaha menghakimi, tapi mencoba menguak realitas politik tanah air.
Pak Ganjar mungkin tulus memberi bantuan, apalagi seharusnya sebagai kader partai Fajar tahu setiap kegiatan gubernur Jawa Tengah itu selalu mengikutsertakan tim media sosialnya. Seharusnya ia sadar sesadarnya bahwa ketika memberikan bantuan akan diliput, kalau tidak diliput media, tim media sosialnya pasti akan mengunggahnya.
Tapi peristiwa sudah terjadi, dan Fajar selain menerima cibiran netizen juga mendapat pujian setinggi langit oleh lawan politik mereka. Mereka bertepuk oh itu toh rahasia dapur partai, yang masih saling menjegal antar teman. Semakin gembira kalau kader partai sendiri saling menjelekkan citra masing-masing.
Pada akhirnya nanti partai yang akan turun pamornya dan itu keuntungan bagi lawan politiknya. Bagi saya yang awam politik itulah mengapa saya masih menganggap bahwa apapun partai politiknya, di Indonesia ini mereka belum menjadi jaminan bagi masyarakatnya untuk memperbaiki sistem  negara yang masih carut marut. Belum dewasa dalam memahami ilmu politik dan cenderung bersaing dengan saling menjatuhkan.
Bahwa sebenarnya politik itu untuk merapikan sistem ketatanegaraan, memperbaiki pola pikir, mengatur carut marut birokrasi yang terjadi orang- orang politik sendiri yang membuat pola kepemimpinan dan ketatanegaraan menjadi carut marut. Salah satunya karena ambisi kekuasaan membuat mereka menghalalkan segala cara.
Ganjar Pranowo tidak salah, ia sedang membangun branding diri, kebetulan ia gubernur dan di era digital ini ia tahu betul memanfaatkan kecanggihan teknologi digital untuk mensosialisasikan kebijakannya, disisi lain ia panen simpati oleh tayangan-tayangan aktivitasnya yang dekat dengan masyarakat. Tapi sisi lain ia juga siap untuk menjadi sasaran netizen julid yang sejak awal menganggapnya sebagai pencitraan. Jadi ingat jawaban beliau.
"Yo, ra popo, ditolak ben wae, itu hak dia."Sambil alisnya terangkat menandakan ia tengah tersenyum(sekali lagi ini interpretasi saya).
Untung saya bukan orang partai. Salam Persatuan Indonesia. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H