Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Membuka Lagi lembaran Catatan Literasi di Ujung 2021

11 Desember 2021   12:20 Diperbarui: 11 Desember 2021   12:31 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah sekitar satu bulan tidak ada tulisan termuat baik di kompasiana maupun blog lain. Hal ini mungkin anggap saja inkonsistensi penulis. Ada titik dimana kesenyapan datang dan melahirkan tanya, sudah bosankah kamu dengan dunia tulis menulis?

Bosan Menulis?

Entah yang jelas aku tidak bisa menjelaskan dengan gamblang mengapa berhenti menulis begitu lama, ada apakah?  sudah sampai pada kesimpulan bahwa sudahi saja menulis, sebab tidak ada gunanya menulis sih kalau dipikir-pikir. Lho kok begitu! Nyatanya sejak puluhan tahun lalu apa sih kontribusi menulis selain masuk dijajaran penulis google atau hanya sekedar suka memajang tulisan yang kadang hanya bersifat teoritis saja.

Itu adalah permenungan puncak segala gejolak seorang penulis yang tidak secara total menahbiskan diri sebagai penulis, lebih sebagai hobi atau penghilang rasa suntuk. Sudah sebegitu parahkah kamu Joko, pesimisme karena dari sekian tahun menulis tidak ada progress yang membuat kamu berdaya untuk yakin bahwa menulis adalah sebuah oase di tengah kekeringan makna, kekeringan rasa dan ledakan amarah terus yang dilakukan oleh para netizen menyikapi kehidupan dan penyimpangan sosial yang terjadi di antara manusia.

Merangkai Peristiwa demi Peristiwa

Lihat, sudah berjumlah berapa orang dengan profesi mulia, guru agama, rohaniwan, guru yang mengajarkan moralitas, terjebak dalam arus penyimpangan. Terjebak dalam penyakit sosial. Menjadi predator, pemerkosa, pemutus cita-cita mulia seorang anak hanya karena hasrat meledak- ledak seksual sebagai naluri purba manusia.

Lalu apa hubungannya agama dengan krisis moral jika para guru agama, pemuka agama tampaknya terjebak dalam penyimpangan itu sendiri? Jangan-jangan pegiat media, para pemapar berita, penulis dan penyair sebetulnya juga ada yang terjebak dalam penyimpangan itu ada menjadi predator tetapi mereka ahli dan piawai dalam menyembunyikan kebusukannya dengan menulis dan membuat berita yang seakan-akan tercermin sebagai seorang sholeh, seseorang yang seakan memberi pencerahan rohani padahal banyak hal dilakukan termasuk menjadi salah satu oknum pemerkosa.

Persoalan rumit manusia mengantarkan saya sebagai penulis untuk mencoba introspeksi diri, kalau saya terbiasa menilai dan mengulas kelakukan bejad manusia apakah tidak terbersit bahwa ada rasa iri dan ingin melakukan penyimpangan itu meskipun hanya sebuah khayalan. Dalam titik menung saya sebetulnya setiap manusia akan selalu lemah jika menghadapi bujuk rayu, apalagi suguhan-suguhan hiburan di sekitar yang mau tidak mau memacu adrenalin dan juga libido seksual.

Pada guru rohani itu di satu sisi berusaha memberi ilmu kepada para siswanya, mencoba mendekati dengan kasih sayang seperti halnya orang tua dan anak. Namun dari rutinitas itu akhirnya ada dorongan dan hasrat aneh yang lebih besar dari upaya guru untuk mencerdaskan siswa-siswinya. Akhirnya, karena alah bisa karena biasa maka muncul keberanian untuk menyentuh meraba dan akhirnya bla, bla, bla. Sang muridpun hanya diam pasrah antara takut dan akhirnya terjebak dalam permainan rasa.

Manusia dan Puncak Persoalan Kehidupan

Nah, perbedaan manusia yang brengsek dan religius kadang tipis, apalagi dengan godaan-godaan hasrat makhluk hidup yang tidak sesempurna Sang Pencipta. Maka jadilah, mula-mula tidak berefek, dan bisa dibendung tapi karena respon korban yang tidak menolak bahkan cenderung ketagihan sang guru terus lupa diri dan akhirnya terjebak dalam situasi cinta terlarang yang harusnya haram menurut pandangan agama.

Pada kenyataannya meskipun jutaan kali diberi pengertian tentang makna kata suci, sholeh, dan kudus, serta makna lain yang hampir mirip, manusia tetap saja susah mengendalikan diri jika menyangkut dosa asal manusia. Tergoda oleh ular beludak, tergoda oleh senyuman, kerdipan mata, bahkan hanya dari suara-suara alunan bacaan yang membuat suara itu bagai sihir yang membuat manusia lupa diri.

Nah, menyikapi masalah manusia saya jadi kembali galau apakah terus menulis sampai mendapatkan momentum bahwa tulisan yang saya tulis di media mampu menggugah manusia untuk berubah. Atau barisan penulis seperti saya itu hanya sejumlah pendengung yang ingin eksis dan hanya berharap mempunyai kesempatan cemerlang untuk menjadi motivator, nara sumber, pengarang, penyair sukses yang bisa mendulang uang untuk membantu kesejahteraan keluarga?

Sumbangsih Pemikiran Meskipun Hanya Sebutir Debu

Ternyata jika hanya berpikir pendek  dan mudah tergoda pada kilau kesuksesan orang lain akhirnya hanya melahirkan frustasi. Maka ketika mencoba kembali bangkit untuk menulis saat ini saya hanya berpikir:

 tidak peduli tulisan saya memberi efek positif atau tidak yang penting, dalam pikiran, rasa, nurani saya harus benar-benar fokus agar tulisan saya mampu memberi sumbangsih pemikiran dan sedikit sharing pengalaman menghadapi berbagai cobaan hidup dengan cara bijak.

Meskipun hanya sebutir debu semoga saja tulisan yang sudah dipublikasikan ini berguna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun