Tidak terasa Kompasiana sudah berusia 13 tahun. Bagi usia manusia, 13 Tahun adalah usia remaja. Kompasiana seumuran dengan anak saya. Suaranya sedang mengalami perubahan, tanggung lagi ngagor-agori istilah jawanya, baru muncul perubahan suara. Bersuara besar belum bisa mau mencoba berteriak dengan suara anak-anak tidak lagi bisa. Semuanya serba tanggung.
Dua Tahun Lebih Muda dari Usia Kompasiana
 Kalau usia Kompasiana sudah 13 tahun, aku gabung ketika usianya baru 2 tahun tepatnya awal 2010. Kalau dikatakan setia mengikuti perkembangan Kompasiana, tidak juga karena saya sempat pasif selama beberapa tahun. Tapi  pelan-pelan kembali ketika sadar bahwa nilai kesetiaan itu lebih penting daripada sekedar mengagumi hijaunya rumput tetangga. Meskipun tidak sehebat kompasiener lain yang bisa melaju dengan menuliskan artikel mencapai 2000 an lebih, bisa sangat fokus dan ikut beberapa komunitas yang memungkinkan mereka bisa berinteraksi, saling memberi dorongan, saling memberi suport. Saya seperti pemain solo dari sebuah perjalanan menjadi kompasianer.
Ada hal yang tidak bisa diceritakan di sini, mungkin lebih ke masalah pribadi. Aku tidak bisa menceritakan mengapa tidak bisa nge gas terus menulis dan produktif menghasilkan tulisan. Tapi tanpa terasa tulisan-tulisanku meskipun kadang sepi, kadang ramai, kadang hanya berisi suara noise, namun sering muncul voice dari beberapa tulisan yang ada, semuanya menjadi bagian dari perjalanan hidup di tengah kesibukan sebagai guru dan bapak rumah tangga.
Tulisan Noise dan Rasa Kecewa pada Kompasiana
Lalu bagaimana pembaca mengkategorikan tulisan-tulisanku, lebih banyak noise atau voice? Dalam proses menulis sebagai penulis berharap lebih banyak kata bijak, itu artinya muncul voice, muncul hal-hal inspiratif dengan memberi dorongan semangat terus berkarya dan menginspirasi. Tetapi pada kenyataannya ketika ada rasa galau, kecewa terhadap kebijakan admin, terhadap mekanisme headline, tentang ketidakadilan, ketidaknyamanan ketika terjadi perubahan kebijakan kompasiana, sebagai manusia biasa terkadang kesal, panik dan kecewa.
Ibaratnya perhatian admin terpecah ketika mempunyai mainan baru, mempunyai adik baru yang mesti lebih banyak diperhatikan. Aku yang sudah lama bergabung di kompasiana merasa terabaikan ketika ada visi baru kompasiana yang membuat orang-orang "lama"merasa tersisih, cemburu pada yang muda yang mendapat kesempatan lebih untuk merasa bisa merebut perhatian dan diprioritaskan.
Nah disitulah muncul noise, muncul keluhan, lebih banyak membuat tulisan gaduh untuk mengganggu ketenangan admin kompasiana bekerja. Semakin berumur harusnya semakin bijak dalam menghadapi masalah demi masalah. Demikian juga pada Kompasianer yang usia kesetiaannya hampir sama, seumuran dengan lahirnya Kompasiana.
 Satu persatu mereka menghilang, rontok karena berbagai persoalan. Yang terkenal di masa lalu, sekarang sudah menghilang, yang pernah mendapat penghargaan sebagai  Kompasianer of The Year, juga mulai surut, jarang menulis. Kini meskipun ada yang senior tapi jumlahnya sedikit, dan hanya sesekali nongol setelah itu menghilang lagi.
Spirit Menulis dan Jasa Kompasiana bagi Kompasianer
Aku meskipun terbilang hampir sepantaran dengan usia Kompasiana ternyata tetap bertahan, meskipun aku tahu , diri ini tidak pernah istimewa, tulisan lebih sayup-sayup. Selalu ada di tengah tidak pernah berada di atas dan paling bawah.