Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kebaikan-Kebaikan yang Bertebaran dalam Kesunyian

29 Juli 2021   07:22 Diperbarui: 29 Juli 2021   09:04 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sekitar kehidupan manusia, kita selalu menemukan kontradiksi. Antara hitam dan putih, ada jahat dan ada yang baik, baik banget bahkan. Ada yang hidupnya selalu penuh perhitungan, selalu diukur dengan uang, ada yang bahkan dirinya sendiri tidak diurus, total membantu orang tanpa perhitungan. Kebaikan itu muncul dari lingkungan dan keluarga yang memberi contoh bagaimana mengutamakan untuk bisa memberi daripada mengharapkan bantuan dan uluran tangan.

Bibit- bibit kebaikan itu sudah muncul dari teladan orang tua dan itu menjadi pembelajaran yang efektif untuk menanamkan dalam pikiran, dalam alam bawah sadar untuk lebih banyak mencurahkan perhatian pada orang lain, pada masyarakat tanpa memperhitungkan apakah mendapat balasan atau tidak.

Dari lead artikel saya ini di mana posisi anda pembaca. Semoga para pembaca adalah barisan orang- orang baik yang selalu mengutamakan tindakan memberi daripada bergantung pada pemberian. 

Saat ini mau tidak mau diakui bahwa telah terjadi krisis, moral, krisis politik, krisis mental dan akibat terjangan wabah yang melanda dunia dua tahun belakangan ini. Banyak orang kehilangan pekerjaan, banyak yang kehilangan sanak saudaranya karena virus yang merenggut nyawa ribuan nyawa bahkan jutaan nyawa di seluruh dunia.

Bermula dari virus yang dengan cepat menyebar di Wuhan China, menyerang paru- paru memperlemah imun manusia, membuat saturasi oksigen dalam tubuh menyusut dan berbagai persoalan sosial dan kontradiksi kebijakan pemerintah yang silang sengkarut.

Alur komunikasi pemerintah pusat dan daerah, tersendat. Duka lara hampir setiap hari datang, di media sosial selalu muncul innalillahi, RIP dan berita sedih yang terus didengar.

Sampai kapan, manusia tidak pernah tahu. Saking lelahnya manusia banyak yang akhirnya tidak percaya, dan cenderung menjadi penghambat dari upaya bersama mengatasi dan menutup jalan virus menyebar. 

PPKM terus diperpanjang sedangkan kasus yang terkena virus semakin bertambah. Kuburan penuh, dalam jangka setahun saja blok- blok di kuburan penuh, tidak bersisa, terus ditambah lagi tempatnya dan dengan cepat pula penuh. Seakan tidak pernah reda duka yang dihadapi manusia. Lalu manusia menyalahkan siapa. 

Politisi tentu saja akan menuding pemerintah biang ketidakbecusan pencegahan, sedangkan pemerintah tentu saja tidak mau disalahkan begitu saja. Pemerintah pusat mengatakan mereka sudah mencairkan dana dari cadangan devisa dan APBN ke pemerintah daerah, sedangkah pemerintah daerah berdalih bantuan dari pusat lambat, sehingga mengganggu upaya pemerintah daerah untuk cepat membantu mereka yang tidak mampu lagi secara ekonomi menghadapi aturan ketat pemerintah.

Saling tuding dan jegal menjadi pemandangan tidak elok diantara rasa kesedihan yang susul menyusul datang. Tante, om, pakdhe, adik, orang tua, tiba tiba meninggalkan kita dengan pemakaman ala kadarnya,  Kesedihan yang tertahan, tidak berdaya kecuali pasrah sambil menangis tetapi tidak juga bisa berbuat apa- apa untuk membantu. Yang bisa hanya berdoa semoga wabah cepat berlalu.

Saat duka lara, emosi menjadi lebih sering terletup, ungkapan kecewa, dan frustasi menjadi biang dari banyaknya pelanggaran. Hal yang dulunya sering dibanggakan yaitu jiwa kegotongroyongan banyak yang luntur, yang muncul adalah mulut yang mudah mencaci, jari jempol, yang lebih sering menunjuk ke bawah, serta ungkapan kata di media sosial yang tidak juga bertobat dari kesenangan mencaci maki.

Semakin ditegur bukannya manusia introspeksi, tetapi malah saling curiga mencurigai. Ketika sebuah kebijakan dilontarkan yang terjadi bukan mensukseskan upaya pencegahan tetapi bagaimana caranya berkelit dan melanggar. 

Dan ketika korban bertumbangan karena ketidakpatuhan lagi- lagi bukan diri sendiri yang dituding penyebab kekisruhannya tetapi menuding pemerintah tidak pecus mengendalikan ego manusia Indonesia.

Lalu jika kita yang suka mencaci dan memaki tiba- tiba menjadi pemimpin dan dihadapkan pada persoalan dilematis itu bagaimana cara mengatasinya? Mungkin tunggang langgang, lari dari tanggungjawab. 

Sementara ada beberapa mantan pemimpin seperti lepas tangan dan senangnya bernostalgia menonjolkan kesuksesan- kesuksesan yang pernah diraih, meskipun capaian sukses itu menurut ukurannya sendiri.

Para politisi, tersenyum dan semakin girang ketika muncul isu .Yuk gulirkan bla, bla, bla end game. Sudah tidak percaya lagi pada beliau sebagai pemimpin dan berharap bisa menggerakkan jutaan manusia turun ke jalan dan menyatakan mosi tidak percaya pada yang sedang berkuasa. Hasilnya zonk, isu sekedar isu.

Kebaikan mana yang mampu mengatasi pandemi saat ini. Wujud kebaikan apa yang bisa dirasakan agar masyarakat bisa kompak kembali satu hati, satu rasa untuk menyingkirkan penghalang. 

Rupanya banyaknya manusia yang menghuni bumi pertiwi, yang katanya diikat oleh semboyan Bhinneka Tunggal Ika, masih banyak menyimpan kisah sedih, berupa rasisme, diskriminasi, hegemoni mayoritas atas minoritas, agama- agama yang lepas kendali yang kurang bisa mengontrol para oratornya untuk tidak memprovokasi masyarakat.

Yang sebenarnya dilakukan pemuka agama sebagai sang pencerah, sang penyejuk, sang juru damai, ternyata ujung- ujungnya malah memprovokasi ketidakkompakan, mendorong manusia untuk eksklusif dan membeda- bedakan pergaulan.

Kebaikan -- kebaikan seperti hanya debu, diantara badai topan yang menerjang. Kejahatan kriminalisasi lebih sering terdengar dan memakan korban. Pembangkangan menjadi barang biasa yang sering terdengar di forum- forum diskusi. Dan mahasiswa yang terkurung saat ini di ruang dunia maya, tiba --tiba bisa dengan garang dan menghadiahi pemimpinnya aneka gelar yang bikin bergidik. The King of Lip Service,

 Wow mungkin penulis diantara kerumunan itu yang dengan aji mumpung kadang sering mencacimaki pemimpin yang " salah " menerapkan kebijaksanaan. Muncul buah simalakama. Dan bermunculan juga buzzerRp, buzzer antagonis, yang selalu menyerang pemerintah, para pendengung itu saling berperang kata- kata. Siapa yang benar menjadi sebuah semakin kabur.

Tetapi diantara, seribu isu dan berbagai informasi tumpang tindih, masih banyak pejuang kemanusiaan yang tidak berkoar- koar, tapi dengan tindakan nyata membantu yang kesusahan. Mereka sering terlupa, dan kebetulan mereka juga tidak ingin menunjukkan diri bahwa sebenarnya ia adalah pahlawan kemanusiaan.

Saya besar kemungkinan bukan dari barisan itu, sebagai penulis keluhan, kecacatan, kesalahan dan kekurangan pemerintah bisa menjadi bahan untuk membuat tulisan yang bernada "sok pintar" mencoba menasihati dan mengkritik. Padahal bila dikerjakan sendiri belum tentu bisa. 

Banyak yang cerdas ketika menjadi komentator, tetapi tidak sadar bahwa ketika  terjun langsung dan menjadi pemimpin hanya plonga- plongo. Padahal dia sering mengkritik pemimpinnya bisanya plonga- plongo. Ternyata kata- katanya berbalik ke diri sendiri.

Yang baik hati, yang tulus, itu sering tidak tersebut namanya, mereka sendiri tidak ingin menonjol, tapi langsung terjun tanpa terlacaki jejaknya. Malah kadang terlupakan dan hanya kagum pada mereka yang sangat sering tampil ke publik dengan trik supaya mendapat simpati.

Bahkan ada politisi yang sayang di tengah keprihatinan malah memasang spanduk di mana- mana bukan berkampanye untuk mendorong masyarakat sadar kesehatan dan mematuhi protokol kesehatan, tapi sengaja menonjolkan kebaikan artifisial dengan bahasa iklan dan menjual image diri yang tidak banyak membantu menaikkan imun masyarakat

Terimakasih pahlawan kebaikan yang dengan tulus membantu masyarakat berkekurangan meskipun namanya jarang disebut tetapi kebaikannya sungguh bisa dinikmati oleh orang yang benar- benar membutuhkan. Maafkan saya sebagai penulis yang hanya bisa mencoba membuat kebaikan dengan merangkai kata. Ternyata sejuta kebaikan masih tersisa terselip diantara isu -- isu banalisme kemanusiaan dan rentetan makian yang muncul di media sosial.

Hanya bisa menyumbang gagasan, sementara implementasi kadang masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan termasuk bagaimana menyadari bagaimana menjadi tulus dan iklas tanpa pamrih, itu yang masih susah dipraktekkan.  Salam damai selalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun