Saya besar kemungkinan bukan dari barisan itu, sebagai penulis keluhan, kecacatan, kesalahan dan kekurangan pemerintah bisa menjadi bahan untuk membuat tulisan yang bernada "sok pintar" mencoba menasihati dan mengkritik. Padahal bila dikerjakan sendiri belum tentu bisa.Â
Banyak yang cerdas ketika menjadi komentator, tetapi tidak sadar bahwa ketika  terjun langsung dan menjadi pemimpin hanya plonga- plongo. Padahal dia sering mengkritik pemimpinnya bisanya plonga- plongo. Ternyata kata- katanya berbalik ke diri sendiri.
Yang baik hati, yang tulus, itu sering tidak tersebut namanya, mereka sendiri tidak ingin menonjol, tapi langsung terjun tanpa terlacaki jejaknya. Malah kadang terlupakan dan hanya kagum pada mereka yang sangat sering tampil ke publik dengan trik supaya mendapat simpati.
Bahkan ada politisi yang sayang di tengah keprihatinan malah memasang spanduk di mana- mana bukan berkampanye untuk mendorong masyarakat sadar kesehatan dan mematuhi protokol kesehatan, tapi sengaja menonjolkan kebaikan artifisial dengan bahasa iklan dan menjual image diri yang tidak banyak membantu menaikkan imun masyarakat
Terimakasih pahlawan kebaikan yang dengan tulus membantu masyarakat berkekurangan meskipun namanya jarang disebut tetapi kebaikannya sungguh bisa dinikmati oleh orang yang benar- benar membutuhkan. Maafkan saya sebagai penulis yang hanya bisa mencoba membuat kebaikan dengan merangkai kata. Ternyata sejuta kebaikan masih tersisa terselip diantara isu -- isu banalisme kemanusiaan dan rentetan makian yang muncul di media sosial.
Hanya bisa menyumbang gagasan, sementara implementasi kadang masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan termasuk bagaimana menyadari bagaimana menjadi tulus dan iklas tanpa pamrih, itu yang masih susah dipraktekkan. Â Salam damai selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H