Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pengalaman Menulis Artikel Menggunakan Mesin Tik Manual

13 Juli 2021   15:35 Diperbarui: 13 Juli 2021   16:10 3669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
selama hampir satu tahun pernah menjadi kotributor di majalah Praba sekitar 1999 - 2000 (katolikana.com)

Beberapa merek mesin ketik manual yang di kenal dulu Olivetti, Brother, Olympia,  Carina, corona .Ada yang portable dengan bisa di bawa ke mana - mana, ada juga yang khusus untuk di kantor , tidak bisa sembarangan di bawa karena bentuknya yang besar. Dengan mesin ketik manual itu penulis harus hati- hati menulis, sebab jika salah harus menghentikan dulu proses mengetiknya untuk mengambil tip eks atau penghapus berbentuk cairan agar tulisan yang salah tertutup dan ditimpa dengan huruf lagi.

Nostalgia Menulis dengan Mesin Ketik

Pengalaman menulis saya sebenarnya bermula dari SMA. Kelas 11 SMA saya ikut intra sekolah yaitu mengetik. Ada beberapa aturan jika tengah mengetik yaitu penempatan jari. 

Misalnya jari telunjuk ditempatkan di deretan mana, jari tengah dan jari kelingking sudah diatur hingga ketika sudah terbiasa maka kinerja jari akan spontan bergerak menurut abjad yang tergambar di pikiran. Teknik yang dinamakan teknik 10 jari. Guru mengajarkan bagan area kerja jari tangan kita. Setelah beberapa waktu latihan d coba dengan melatih ketrampilan jari sistem buta.

Seseorang tidak perlu memperhatikan satu - satu tetapi harus fokus memperhatikan hasil ketikannya. Yang belum terbiasa tentunya harus memperhatikan dulu huruf - huruf yang tertera di tuts manual yang bunyinya sungguh membuat perasaan seperti terbawa dalam suasana meditatif. Tak tak tak. Tik tik teritik. Reetttt. Bila mengetik pas suasana sepi sering terdengar sampai luar rumah.  

Pas kelas 12 ada kegiatan membuat semacam paper atau karya tulis berdasarkan hasil berkunjung ke sebuah koperasi yang bergerak dalam bidang peternakan sapi terutama susu perah. Waktu itu saya dan teman - teman melakukan kunjungan ke koperasi susu di daerah Kaliurang Yogyakarta.

Kewajiban untuk membuat karya tulis dengan mesin ketik  saya  menulis draft dengan tulisan tangan, setelah itu baru ditulis dengan mesin ketik. Tentu saja sebuah tantangan menulis dengan mesin ketik. 

Meskipun sudah diajari menggunakan metode sepuluh jari tetap saja kalau hanya teori tanpa praktek ya percuma. Nah dengan menulis paper atau karya tulis dengan mesin ketik tantangan itu tampak nyata. Awal mulanya banyak sekali typo dan salah ketik. Banyak blentongan warna putih di kertas HVS sehingga terlihat kotor.

Mengetik secara manual butuh kesabaran dan ketelitian. Sebab jika sering menghapus akan berpengaruh pada tampilan kertas, terlihat blentong -- blentong putih, apalagi jika mengetik dengan kertas buram. Tetapi berkat paksaan menulis karya tulis yang jumlah halamannya lebih dari tigapuluh itu membuat ketrampilan mengetik saya lumayan.

Pas melangkah ke kuliah  bisa memanfaatkan ketrampilan mengetik saya untuk tugas tugas paper kuliah. Banyak dari teman senior saya dulu menggunakan mesin ketik untuk mencari pendapatan tambahan dengan mengetikkan data diri, atau saat ada pendaftaran perguruan tinggi yang mensyaratkan di tulis dengan mesin tik. Sudah banyak berderet mahasiswa yang dengan sengaja menawarkan diri menawarkan jasa mengetik. 

Di antara mereka ada yang lucu sebab masih terlihat menggunakan teknik "11 jari "bukan sepuluh jari. Maksudnya apa sebelas jari? itu untuk meledek saja mereka yang mengetik dengan modal  dua jari telunjuk.

Di era mesin ketik masih berjaya. Saya menggunakannya untuk tugas kuliah dan menyalurkan hobi saya menulis. Ketika saya menulis surat pembaca di Tempo saya mengirimkan hasil ketikan manual saya, juga ketika saya waktu itu rajin menulis surat pembaca saya mengetik menggunakan mesin ketik.  

Ketika artikel opini saya diterima di Bernas saya juga menggunakan mesin ketik. Mengetik dengan mesin ketik manual itu sering membuat kangen. Saya malah kagumd sekaligus heran dengan  penulis, sastrawan besar seperti Remy Silado menulis banyak novel dengan mesin ketik padahal zamannya sudah dimudahkan dengan perangkat komputer.

Nostalgia Menulis Sebelum Era Komputer booming

Tahun 1990 sampai 2000 - an tercatat masa aktif saya menulis di media. Waktu itu bukan koran tapi lebih ke majalah rohani katolik yaitu Praba.  Saya menulis beberapa liputan. Baik liputan warta paroki maupun sosok muda yang berprestasi, juga menulis tentang sosok aktifis, atau tokoh -- tokoh yang aktif di organisasi maupun di masyarakat. Modal saya berupa blocknote, tipe kecil perekam percakapan dan kamera semi otomatis, yang masih masih menggunakan klise.

selama hampir satu tahun pernah menjadi kotributor di majalah Praba sekitar 1999 - 2000 (katolikana.com)
selama hampir satu tahun pernah menjadi kotributor di majalah Praba sekitar 1999 - 2000 (katolikana.com)
Padahal saya bukan wartawan tapi berlagak menjadi wartawan. Yang unik ketika ikut- ikutan meliput kunjungan Megawati di Babadan Dukun Magelang. Kunjungan Megawati terkait dengan letusan Merapi. 

Di pos pengamatan Babadan itu penjagaan pengawal presiden ( waktu itu masih wakil presiden ). Saya yang sebetulnya masih "pengangguran" naik kendaraan motor bebek menuju ke Babadan. Di sepanjang perjalanan sebetulnya penjagaan amat ketat mungkin hanya wartawan dan petugas saja yang bisa mendekat ke RI 2.

Saya yang tidak punya kartu pers nekat masuk berkerumun bersama wartawan foto Kompas, Bernas, KR dan beberapa media lain termasuk TVRI dan wartawan media lain. Saya kagum dengan kamera mereka yang canggih dengan lensa zoom dan tele yang wow sedangkan saya hanya menggunakan kamera canon FN 10 yang saya beli second dari teman yang kuliahnya di Fisikom Atmajaya.

Untungnya saya tidak sempat ditanya kartu pers, kalau ditanya saya pasti sudah digiring keluar area pos pengamatan. Saya hanya berodal rompi dan juga berlagak mewawancarai pilot helikopter,  saya bisa melihat dari dekat Megawati, dan membuat foto - foto dengan angle sangat dekat. Boleh dikatakan kalau sekarang ditanyakan saya mungkin bisa dikatakan wartawan tanpa media, tidak punya kartu pers, lebih sebagai kontributor saja atau freelance.Tapi pengalaman itu menarik dan saya sempat penuh minat untuk menggeluti dunia tulis menulis meskipun modalnya masih menggunakan mesin ketik.

Suka Duka Menulis Menggunakan Mesin Ketik

Nyatanya dengan mesin ketik itu saya sudah mengirimkan banyak tulisan dan dipublikasikan di media. Bayarannya sih tidak seberapa tapi kepuasannya itu yang membuat saya pengin menekuni dunia tulis menulis. 

Itu terjadi sebelum tahun 2001 di saat saya masih "menganggur" ketika pendapatan hanya dari honor menulis di majalah yang terbitnya 2 minggu sekali. Saya lebih senang mengirimkan tulisan langsung ke kantornya di Yogyakarta waktu itu kantornya masih di Bintaran Kidul.  Ketikan saya setor beserta fotonya. Yang membanggakan ketika  saya menyetor   reportase artikel dan foto menjadi artikel utama dan foto saya dimuat sebagai cover majalah. Bangganya luar biasa.

tulisan saya dulu ketika mencoba membuat resensi di Kompas.masih menggunakan mesin ketik(dokpri)
tulisan saya dulu ketika mencoba membuat resensi di Kompas.masih menggunakan mesin ketik(dokpri)
Di  majalah Praba dulu lebih sering menulis dengan manual, belum dengan mengirimkan lewat email meskipun waktu itu sudah ada komputer. Tantangan menulis artikel dengan mesin ketik adalah saat pitanya membelit, terus habis tintanya, mesin mekaniknya rusak dan perlu membuka mesin dan membetulkannya. Itu tantangan menulis menggunakan mesin ketik manual.

Di samping menulis reportase saya juga sering, atau beberapa kali menulis sosok. Sosok itu saya tulis dengan gaya feature. Disamping mengetahui kegiatan juga ditulis, tanggal lahir, kiprahnya juga dengan sentuhan semi cerpen agar tulisan tampak seperti cerita yang menggugah rasa. Semuanya masih menggunakan mesin ketik. 

Kalau ingat kegiatan menulis saya dulu saya ternyata dulu pernah kepikiran menjadi wartawan. Sebelum akhirnya memilih menjadi guru paling tidak saya pernah mempunyai pengalaman menjadi wartawan meskipun tanpa kartu pers. Hahaha. Bagaimana apakah anda juga punya pengalaman serupa ? Itu nostalgia yang menyenangkan bagi saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun