Bagaimanapun aku perlu bertepuk tangan atas kesetiaanku untuk tetap menulis di Kompasiana. Sejak 27 Januari 2010 tercatat di memori Kompasiana sampai Juli di tahun 2021. Cukup mencengangkan masih setia menulis di platform Kompasiana. Apa yang sudah aku petik ? ataukah sama sekali tidak membanggakan mengingat selama itu aku masih bukan siapa - siapa.
Aku masih saja pengelana yang bersetia menulis kalau sedang suka dan akan berhenti kalau lagi malas menebar kata. Sudah seberapa kata kutulis ? tidak pernah kuhitung, seberapa artikel yang sudah di publish ada sekitar 1166. Cukup banyak atau sedikit? Bagi ukuran penulis produktif  biasa saja, tidak terlalu buruk tetapi juga tidaklah mentereng, karena seharusnya bisa saja kutulis artikel lebih dari 3000 kalau konsisten menulis setiap hari.
Sampai hari ini aku masihlah penjelajah yang empot - empotan mengejar jatah fanatik, betapa lambannya mirip seperti perjalanan siput, serasa tidak sabar kapan bisa mencapai tataran fanatik kalau pembacanya saja hampir selalu dipastikan tidak lebih seratus dengan komentator yang bisa dihitung dengan jari.
Lalu apa pelajaran yang bisa dipetik dari sebuah kesetiaan itu. Kecewa, terlecut dengan agresifnya para penulis yang datang belakangan atau mengalir saja selayaknya air yang datang dari mata air pegunungan. Ya, kalau ingin bersaing rasanya sudah susah, selalu tersengal melihat kemampuan para jagoan menulis. Â Apalagi para raja yang sedemikian konsisten bisa mengambil keuntungan dari kegiatan menulis di Kompasiana.
Tapi bila kadang merasa kecewa dengan perjalanan lambat memperoleh keuntungan dari Kompasiana mengapa masih bertahan? Saya merasa apapun perjalanan yang aku lalui ini adalah sebuah ujian. Dan ujian yang diterima setiap manusia berbeda- beda. Ada yang dengan cepat melewati jalan sunyi, ada yang sedemikian lama berjalan masih saja belum menemukan jalan terang bagaimana lepas dari jalan sunyi tersebut. Mungkin tergantung kapasitas intelektual ataupun keberuntungan seseorang.
Ada yang mengambil langkah berdarah- darah duluan bersorak sorai kemudian. Ada yang slow, mengalir, tidak pernah memikirkan apakah dengan menulis akan bisa melompat menjadi seorang motivator, mendadak seleb ketika novel yang ditulisnya meledak dan akhirnya sibuk ke sana ke mari mengenalkan novel terbarunya yang merupakan batu loncatan untuk menahbiskan diri dari penulis blog  menjadi penulis novel yang setiap cetak selalu habis ludes.
Selama menulis, sebetulnya setiap penulis pasti ada kerinduan, kapan tulisan- tulisan yang ia tabung di platform semacam Kompasiana menjadi pondasi untuk mengukuhkan diri sebagai penulis profesional. Dari serenceng tulisan yang ditulis bertahun - tahun apakah tidak terpikir untuk dijadikan monumen pemikiran dengan menjadikannya sebuah buku, atau berentetan buku seri?
Aku sudah melakukannya dengan menerbitkan buku solo meskipun terus terang aku bingung bagaimana memasarkannya sehingga buku itu mampu memberiku sebuah lompatan kasta bukan lagi penulis platform blog tetapi penulis buku. Nah untuk itu aku belajar dari kegagalan, belajar dari ketidakmengertianku tentang publikasi dan pemasaran dan berjanji akan mengenalkan tulisanku setelah keadaan normal tidak lagi ada pandemic. Kapan? Itu yang tidak aku tahu?
Waktu terus berjalan sedangkan aku kadang masih terkesima oleh mereka yang demikian cepat berani berspekulasi untuk menerabas. Harus ada keberanian untuk berpikir jauh ke depan, berpikir di luar kebiasaan, atau berani menerobos zona nyaman untuk berkembang dengan jalur di luar pakem.
Dan aku mencatat mereka (para penulis) yang berjalan di luar pakemlah yang sering memanen hasil nyata. Sedangkan aku masih saja seperti siput asal berjalan, asal masih menulis dan tetap bersetia dengan pola pemikiran linier, sesuai garis sesuai pola.
Maka ketika Kompasiana sudah melompat tinggi dengan tulisan - tulisan para milenial yang jauh lebih populer, aku masih menulis semampu bisa menjangkau ranah berita yang sebelumnya sudah diviralkan penulis lain.
Apakah aku harus menulis dari ampas pemikiran penulis lain? Tentunya rugi jika menjadi pengekor dari tulisan penulis lain yang bisa melompat mengikuti arus digitalisme dan memanfaatkan aplikasi, media sosial dan sarana penyintas lain yang bisa menjaring viewer jauh lebih banyak. Bisa jadi banyak orang sudah mengikuti gaya milenialnya para tiktoker sedangkan aku masih gamang apakah yang kulakukan untuk bisa menjadi youtuber.
Pemikiran harus progresif, menjemput tantangan baru, bukannya mengikuti layaknya siput yang berpikir alon -- alon waton kelakon. Kalau perlu harus bisa menulis berdasarkan spoiler sudah bisa menulis cerita sukses sebelum sebuah genre akan menguasai tangga berita.
2010 -- 2021 bukankah waktu yang pendek untuk sebuah kesetiaan tetapi amat sangat rugi bila hanya dinikmati sebagai kegiatan rutin tanpa mampu mewujudkan sebuah terobosan yang mampu membalikkan sejarah. Kalau hanya menjadi yang biasa saja maka Kompasiana hanyalah sebuah platform yang tidak berarti. Tetapi bagaimanapun Kompasiana bagiku tetaplah sebuah tempat menabung yang mampu memberiku tempat di mesin pencari. Dengan mudah mencari gambar dan artikel yang sudah kutulis bertahun - tahun.
Bagaimanapun aku berterimakasih pada kompasiana karena sedikit banyak bolehlah bisa dibilang Kompasianer senior ditilik dari tahun bergabungnya. Tetapi jika dikatakan penulis produktif tentu aku masih malu - malu kucing mengakuinya karena dengan berbagai kendala yang ada selama itu baru menulis kurang dari duaribu artikel.
Suatu saat tabungan itu akan kubobol sebagian untuk digunakan sebagai modal menjadi penulis buku, sebagian lagi agar bisa tercatat sejarah, lainnya semoga bisa memberiku ruang kebahagiaan karena telah menabung kata yang tidak akan hilang ditelan zaman. Satu lagi memberiku pengalaman dan jam terbang tinggi dalam menulis. Untuk penulis yang baru bergabung terus semangat menulis, seakan waktu tidak ada ujungnya dan tahu - tahu tahun berganti tahun dan tidak terasa sudah dua digit bergabung dengan platform blog dan memberi pengalaman dan jam terbang dalam menulis. Salam literasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H