Apa yang diajarkan para wali, terutama Sunan Kalijaga adalah contoh betapa agama selalu mengajarkan keindahan dalam wujud seni yang adiluhung. Pengajaran agama dimulai dari pengenalan karakter manusianya. Masing- masing pribadi mempunyai watak dan pola pikir yang berbeda. Ada hitam ada putih, atau watak jahat dan baik. Dengan memberi wejangan lewat produk budaya seperti wayang, ketoprak, dan pertunjukan kesenian lain, orang - orang diarahkan mencintai agama dan manusia dalam damai.
Sekarang di era modern ketika YouTube, media sosial merebak kadang muncul penafsiran kasar dari pengajaran agama. Bahasa provokatif, kasar tampak mewarnai narasi dan gambar- gambar yang menyertainya.
Orientasi manusia pun lebih mengarah pada hasrat duniawi. Sering sekali muncul pergesekan akibat munculnya narasi dan visualisasi perbedaan yang dibesar- besarkan dengan memotong fakta yang sebenarnya. Semuanya menyerbu otak manusia yang keranjingan dengan media sosial, hampir seluruh waktu dalam kehidupannya menggenggam smartphone membuka gawai dan menyerap serbuan ajaran yang kadang menyesatkan pikiran.
Peranan  Besar  Guru dalam  Memperkuat Pondasi Karakter dan Sikap Anak Anak di Era TeknologiÂ
Bagaimana bisa menghadapi toleransi bila setiap saat dijejali oleh narasi- narasi dari sumber yang tidak jelas, dan visualisasinya amat menarik dan membuat kecanduan. Anak- anakpun tidak lagi asyik dengan permainan tradisional yang melibatkan motorik dan kerjasama tim, Mereka cenderung berpikir individual dengan mencintai game, dan tenggelam dalam pengaruh media sosial yang membatasi gerak motoriknya.
Guru harus bergerak cepat memberikan pondasi yang kuat untuk memfilter pengaruh besar media sosial tersebut bagaimana caranya. Ya dengan memberi pengertian yang bijak bagaimana menggunakan teknologi canggih tersebut. Terus melakukan penetrasi pengetahuan bahwa tidak semua yang dilihat di media sosial itu bermanfaat. Harus dipilah-pilah mana yang baik dan yang buruk dari aspek pendidikan karakter.
Dengan adanya pandemi covid 19 saat ini pendidikan kecenderungan penggunaan gawai/smartphone sangat besar, pembelajaran daring dominan. Guru dan jajaran lembaga pendidikan harus pandai  memanfaatkan momentum. Selalu mengulang dan menekankan tentang baik buruknya teknologi. Tayangan yang menyerbu anak didik harus dinetralisir hingga tidak menimbulkan gegar budaya, gegar pengetahuan. Sehingga menghindari sekecil mungkin apa yang dituai oleh anak - anak yang merusak makam di Solo tersebut. Sebagai guru sekaligus penulis saya juga merasa bertanggungjawan atas masa depan anak negeri ini. Mari sama -- sama memberi teladan dan masukan positif bagi generasi penerus negeri ini. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H