Pemimpin Majalah Basis itu selalu bisa melihat dengan bahasa kalbu. Banyak kumpulan artikelnya yang akhirnya dibukukan KPG atau penerbit Gramedia. Boleh dikatakan itu kalau ingat romo Sindhunata, selalu ingat akan sepak bola dengan segala magnet kemanusiaannya, tulisan humanioranya menghipnotis penggemar bacaan atau kolom yang berhubungan dengan sepak bola. Meskipun di sisi lain  Romo Sindhu juga seorang penulis novel, filsafat yang piawai memainkan emosi pembacanya.
Rohaniwan dan Pengetahuan Luas Tentang Humaniora
Sebagai rohaniwan ia benar- benar belajar untuk menguasai sebuah bidang yang mampu menggerakkan nurani, keluasan berpikir, bukan hanya membuat mabuk agama, namun menempatkan agama sebagai bahasa universal. Bukan hanya fanatisme ajaran agama tapi juga solidaritas, universalitas kemanusiaan sehingga agama bukan menjadi penghambat bagi pergaulan, penyekat bagi rasa mereka yang ingin membantu manusia lain tanpa dipengaruhi oleh doktrin- doktrin tentang kekafiran, tentang tidak boleh ini tidak boleh itu berdasarkan tafsir yang berkembang sementara pada sosok pencermah.
Ketika politik dan agama saling berkolaborasi maka negara seperti "ambyar". Kebersatuan warga negara retak akibat fanatisme sempit, para penceramah yang menjadi ngeri -- ngeri sedap karena mencampurkan agama dengan kepentingan kekuasaan dan hasrat duniawi.
Akhirnya agama sering menjadi pemecah persatuan bukan menggelorakan perdamaian antar manusia. Konflik berkembang karena kepentingan politik, hasrat berkuasa dan doktrin yang dihubung-hubungkan antara kekuasaan, politik dan agama.
Yang ada bukan peningkatan kualitas hidup manusia, namun kontraproduktif, karena semuanya dihubungkan dengan surga dan neraka. Politik dukung mendukung dikaitkan dengan agama seseorang. Obyektifitas mengalami titik terendah sehingga ketika berhubungan dengan pilkada,pemilihan umum, ajang mencari pemimpin selalu dikaitkan dengan mayoritas, minoritas pemeluk agama. Pemimpin harus seiman. Lebih konyolnya lagi dunia sepak bola dihubung- hubungkan dengan ketaatan menjalankan ibadah agama.
Menikmati sepak bola tentunya harus mempunyai pandangan luas yaitu universalitas. Kemanusiaan harusnya tidak bersekat, mentok ketika yang ditolongnya berbeda agama. Seharusnya agama bukanlah penghambat kemanusiaan, tetapi malah memberi ruang luas untuk menolong dan mendaraskan perdamaian antar bangsa.
Maka jika sekarang muncul istilah mabuk agama, mungkin karena pemahaman terbatas dari orang- orang yang memandang masalah selalu bersandar pada kepercayaan agamanya. Yang penceramahnya sering mempersempit arti universalitas, malah lebih membuat manusia menjadi eksklusif, terbentuk ormas, para pembela yang bukannya malah menjamin rasa nyaman dan damai namun malah membuat munculnya rasa takut.
Memanfaatkan Sepak Bola Untuk Menggalang Perdamaian dan Saling Respek
Mari menikmati sajian Euro 2020 ini bukan untuk menumbuhkan fanatisme akut, atau memicu perang komentar dan caci maki antar penonton dan pandemen sepak bola, melainkan merayakan kegembiraan dengan suguhan permainan bola yang ciamik. Saatnya menanggalkan kebencian dan berondongan caci maki di media sosial tetapi menikmati filosofi sepak bola yang mempersatukan rasa, memberi kegembiraan dan buncahnya adrenalin... sambil ngopi... atau air putih saja yang lebih sehat seperti yang ditunjukkan Cristiano Ronaldo, yang memilih air putih daripada minuman bersoda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H