Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Usia Muda, Kebebasan dan Pergolakan Jiwa

14 Mei 2021   20:23 Diperbarui: 14 Mei 2021   20:25 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya menapak Jakarta pertama kali saat umur masih belasan, namun saat umur belasan tahun itu saya hanya singgah sejenak, tidur di tempat saudara, mengunjungi tempat bernama Taman Mini Indonesia Indah dan Monas. Itu terjadi sekitar tahun 1980 an. Tahun itu tidak banyak ingatan menyeruak, hanya sekilas dan Jakarta masih baik - baik saja. Yang jelas saya ingat di gang sempit Petogogan dengan rumah petak dan jalan satu meteran, masuk lorong gang kecil berbeda dengan desa saya yang rumahnya rata - rata luas dan lebar.

Jakarta dan Kehidupan 

Di Jakarta harus kuat, harus tangguh begitu kesan saya melihat keluarga Om saya. Dengan rumah kecil, cuaca panas, kumuh. Mentalitas benar- benar diuji. Waktu itu rasanya saya tidak sanggup jika harus tinggal di Jakarta. Terlalu ruwet. Kekagumanku hanyalah ketika melangkah ke Taman Mini dan Monas, lainnya tidak ada yang menarik kecuali kesemrawutan yang terlihat.

 Beberapa tahun kemudian saya datang lagi ke Jakarta saat masih mahasiswa yang senang berpetualang. Potret sama, waktu itu saya masih aktif di organisasi pencak silat, sering sparing dan latihan di Pasar Minggu, terus meluncur ke Tangerang, lantas ke Bandung, pulang balik lagi ke Jogyakarta dengan kereta api jurusan Bandung Yogyakarta.

Di Usia duapuluh lima saya masih kluntang klantung, di saat pemuda lain sudah tekun bekerja, membangun karir, saya masih berstatus mahasiswa, lebih suntuk berkegiatan daripada bekerja. Masih menghabiskan jatah uang saku orang tua dan belum sadar bahwa banyak orang begitu berharap membangun pondasi kesuksesan untuk keluarga dengan hidup mandiri.

Usia duapuluh lima tahun, cintaku masih lebih banyak kandasnya daripada suksesnya, masih malu mengutarakan rasa cinta dan masih bingung menentukan masa depan. Ketika singgah di Jakarta usia itu bagiku adalah sekedar hura- hura, mengikuti hasrat kebebasan dan belum terpikirkan untuk bekerja sebagai apa.

Uang di kantong masih tipis- tipis karena status jomlo dan mahasiswa masih tersandang. Bahkan saya tidak tahu apakah bisa lulus kuliah atau tidak. Karena saat itu aku masih asyik memacu adrenalin dengan melakukan latihan - latihan organisasi dan kembangan pencak silat, kadang - kadang melakoni hidup dalam dunia teater yang tidak terikat. Padahal seharusnya aku fokus untuk melakukan penyelesaian kuliah yang tidak kelar - kelar, lebih banyak ditinggal untuk melakukan perjalanan petualangan.

Kalau ingat dulu rasanya menyesal juga telah menyia - nyiakan waktu untuk kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan kuliah. Namun di satu sisi saya cukup senang karena bisa merasakan bagaimana kebebasan dalam hidup, merasakan menjadi jomlo ngenes, merasakan menjadi pengangguran terdidik, merasakan kebebasan berpikir ala seniman teater atau pelatih Pencak yang sering menclok dari satu kota ke kota lain meskipun tahu modal amat cekak untuk melakukan perjalanan, hanya bermodal bonek alias bondo nekat. Kadang mencari gratisan, kadang numpang di kereta barang asal bisa move dari satu kota ke kota lain. Bahkan ketika pengin ke Palembang aku harus tinggal beberapa hari di jalan lontar Tanah Abang Jakarta Pusat agar bisa jalan ke Palembang tanpa modal.

Hidup waktu itu dalam perspektif kekinian mungkin bisa divonis nggak guna banget. Tapi itulah kehidupan. Di usia muda saya merasakan ganasnya Jakarta sekilas, lalu pulang ke kampung halaman dan beberapa tahun kemudian tanpa diduga menjadi penghuni Jakarta, setelah "tobat" menyia - nyiakan kehidupan dengan hura - hura dan bekerja sesuai jurusan.

Sekitar 1997 - 1999 saya pernah luntang lantung menjadi pengangguran di Jakarta. Usia sudah masuk 27 dan 28 tapi belum ada pekerjaan. Masih numpang dan hidup ala kadarnya menumpang di rumah Om saya di bilangan Petogogan Jakarta Selatan dan kadang di Pondok Labu. Pekerjaan sambilan hanya paruh waktu adalah menulis yang tidak seberapa honornya.

Usia 25 Tahun Saya Belum Apa - Apa

Kalau para Kompasianer bicara tentang sukses usia 25, jujur saya masih menikmati kehidupan papan bawah. Masih beruntung kedua orang tua adalah PNS yang secara materi masih cukup untuk memberi uang saku kalau saya minta. Saya benar- benar merasakan bagaimana meniti kegagalan demi kegagalan, merasakan rasa minder, menikmati betapa kadang merasa tidak enak selalu merepotkan orang tua.

Umur 25 tahun adalah usia produktif namun bagi aku di usia itu aku masih menikmati kegiatan organisasi, menjalani hidup tanpa target jelas, dan masih berstatus mahasiswa yang masih tergantung pada bantuan orang tua. Bagi orang lain mungkin itu termasuk kegagalan, sedangkan waktu itu aku masih menikmati sebagai orang bebas, nongkrong, berteater, menjadi penulis lepas, menjadi orang dengan kegiatan di luar kuliah yang seabreg.

Jadi terus terang jujur saya katakan di usia 25 tahun saya belumlah siapa- siapa, Itu usia yang masih aku manfaatkan untuk "foya- foya" rambut gondrong, menikmati aktifitas teater, Pencak Silat, jalan - jalan, bertualang. Memang ada rasa penyesalan mengapa masa emas usia produktif itu hanya dimanfaatkan untuk menikmati kebebasan, namun ada kepuasan tersendiri setelah usia menua sebab saya pernah menjadi orang"bebas" jomlo akut, petualang, merasakan bagaimana menjadi "pengangguran" tanpa pekerjaan tetap. Jadi bisa cerita saat bagaimana rasanya menjadi orang tersingkir juga orang bebas.

Masing masing mempunyai jalan kehidupan sendiri.  Kaum muda sekarang beda, duapuluh satu tahun sudah lulus kuliah, kuliahpun sambil bekerja, usia duapuluh lima tahun sudah lulus S2 bahkan ada yang sudah menyelesaikan S3 nya. Kaum milenial sekarang bisa memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk bisnis daring, atau memanfaatkan era digital suntuk dalam kehidupan dunia maya. Lebih asyik dengan dirinya sendiri. Zaman memang sudah berubah. Tidak harus menyesali apa yang telah terjadi, yang sekarang dilakukan adalah tetap melakukan yang terbaik sesuai kemampuan.

Jakarta masa kini memang telah berubah, tapi tantangannya tetap sama. Kalau santai ya akan tergusur. Menjadi orang Jakarta, harus kuat mental, kreatif dan peka terhadap perkembangan teknologi. Sementara kesehatan menjadi barang mahal. Kadang saat tidak nyaman bekerja ada ancaman bernama stres /tertekan dan bisa mengalami penyakit kronis yang bermula dari tekanan psikologis.

Menjadi orang Jakarta harus siap dengan segala resiko. Kalau tidak ya harus siap menyingkir. Ketangguhan salah satu kunci bertahan. Jakarta memang menggiurkan bagi yang biasa kerja keras, namun sangat mengerikan jika berpikir santai tanpa kerja keras tapi uang mengalir. Ujung- ujungnya ya menjadi polisi cepek, mengharap recehan di sekitar pengkolan Jalan.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun