Saya menapak Jakarta pertama kali saat umur masih belasan, namun saat umur belasan tahun itu saya hanya singgah sejenak, tidur di tempat saudara, mengunjungi tempat bernama Taman Mini Indonesia Indah dan Monas. Itu terjadi sekitar tahun 1980 an. Tahun itu tidak banyak ingatan menyeruak, hanya sekilas dan Jakarta masih baik - baik saja. Yang jelas saya ingat di gang sempit Petogogan dengan rumah petak dan jalan satu meteran, masuk lorong gang kecil berbeda dengan desa saya yang rumahnya rata - rata luas dan lebar.
Jakarta dan KehidupanÂ
Di Jakarta harus kuat, harus tangguh begitu kesan saya melihat keluarga Om saya. Dengan rumah kecil, cuaca panas, kumuh. Mentalitas benar- benar diuji. Waktu itu rasanya saya tidak sanggup jika harus tinggal di Jakarta. Terlalu ruwet. Kekagumanku hanyalah ketika melangkah ke Taman Mini dan Monas, lainnya tidak ada yang menarik kecuali kesemrawutan yang terlihat.
 Beberapa tahun kemudian saya datang lagi ke Jakarta saat masih mahasiswa yang senang berpetualang. Potret sama, waktu itu saya masih aktif di organisasi pencak silat, sering sparing dan latihan di Pasar Minggu, terus meluncur ke Tangerang, lantas ke Bandung, pulang balik lagi ke Jogyakarta dengan kereta api jurusan Bandung Yogyakarta.
Di Usia duapuluh lima saya masih kluntang klantung, di saat pemuda lain sudah tekun bekerja, membangun karir, saya masih berstatus mahasiswa, lebih suntuk berkegiatan daripada bekerja. Masih menghabiskan jatah uang saku orang tua dan belum sadar bahwa banyak orang begitu berharap membangun pondasi kesuksesan untuk keluarga dengan hidup mandiri.
Usia duapuluh lima tahun, cintaku masih lebih banyak kandasnya daripada suksesnya, masih malu mengutarakan rasa cinta dan masih bingung menentukan masa depan. Ketika singgah di Jakarta usia itu bagiku adalah sekedar hura- hura, mengikuti hasrat kebebasan dan belum terpikirkan untuk bekerja sebagai apa.
Uang di kantong masih tipis- tipis karena status jomlo dan mahasiswa masih tersandang. Bahkan saya tidak tahu apakah bisa lulus kuliah atau tidak. Karena saat itu aku masih asyik memacu adrenalin dengan melakukan latihan - latihan organisasi dan kembangan pencak silat, kadang - kadang melakoni hidup dalam dunia teater yang tidak terikat. Padahal seharusnya aku fokus untuk melakukan penyelesaian kuliah yang tidak kelar - kelar, lebih banyak ditinggal untuk melakukan perjalanan petualangan.
Kalau ingat dulu rasanya menyesal juga telah menyia - nyiakan waktu untuk kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan kuliah. Namun di satu sisi saya cukup senang karena bisa merasakan bagaimana kebebasan dalam hidup, merasakan menjadi jomlo ngenes, merasakan menjadi pengangguran terdidik, merasakan kebebasan berpikir ala seniman teater atau pelatih Pencak yang sering menclok dari satu kota ke kota lain meskipun tahu modal amat cekak untuk melakukan perjalanan, hanya bermodal bonek alias bondo nekat. Kadang mencari gratisan, kadang numpang di kereta barang asal bisa move dari satu kota ke kota lain. Bahkan ketika pengin ke Palembang aku harus tinggal beberapa hari di jalan lontar Tanah Abang Jakarta Pusat agar bisa jalan ke Palembang tanpa modal.
Hidup waktu itu dalam perspektif kekinian mungkin bisa divonis nggak guna banget. Tapi itulah kehidupan. Di usia muda saya merasakan ganasnya Jakarta sekilas, lalu pulang ke kampung halaman dan beberapa tahun kemudian tanpa diduga menjadi penghuni Jakarta, setelah "tobat" menyia - nyiakan kehidupan dengan hura - hura dan bekerja sesuai jurusan.
Sekitar 1997 - 1999 saya pernah luntang lantung menjadi pengangguran di Jakarta. Usia sudah masuk 27 dan 28 tapi belum ada pekerjaan. Masih numpang dan hidup ala kadarnya menumpang di rumah Om saya di bilangan Petogogan Jakarta Selatan dan kadang di Pondok Labu. Pekerjaan sambilan hanya paruh waktu adalah menulis yang tidak seberapa honornya.
Usia 25 Tahun Saya Belum Apa - Apa