Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dendam Kesumat Jagat Politik Tanah Air

26 Februari 2021   10:38 Diperbarui: 26 Februari 2021   10:42 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak sembarang saya menulis judul ini. Lama merenung dan mengendapkan dalam pikiran. Setelah libur beberapa hari menulis, setelah mengalami berbagai peristiwa yang mengharuskan saya untuk selalu melihat diri sendiri sebelum menghakimi orang lain. Banyak orang merasa lebih baik dan lebih benar dari orang lain. Ia menunjuk dan selalu menonjol egoisme sehingga lebih jernih melihat kesalahan orang lain daripada melihat diri sendiri. Demikian juga yang terjadi dalam dunia politik. Lebih senang mengamati kesalahan orang lain atau partai lain daripada introspeksi mengoreksi diri sendiri atau partainya sendiri.

Genderang politik selalu diliputi api dendam. Barisan kepentingan berbondong -- bondong saling tikam untuk menguatkan kesan merekalah yang terbaik. 

Sepertinya tidak ada sejarah dalam politik sejak reformasi saat ini mereka bekerja sama untuk saling menguatkan, saling mendukung, meskipun kritik tetap perlu, tapi untuk satu tujuan kemajuan bangsa para petualang politik cenderung saling jegal dan menyakiti.

Era Saling Lapor dan Memaki

Era lapor melapor atas kerumunan sepertinya adalah sebuah aktifitas saling membuka borok kesalahan, bukan sebagai masukan atau kritikan konstruktif. Semuanya seperti hukum sebab akibat. 

Kerumunan Rizieq Shihab ditindak dan dipidanakan, kenapa Jokowi yang menimbulkan kerumunan di NTT tidak diseret juga dalam ranah hukum. Begitulah oposisi dan pemerintah saling membela diri sedangkan masyarakat bingung siapa yang benar dalam kisruh politik tersebut. 

Oposisi menuduh pemerintah mempunyai sepasukan buzzer untuk memojokkan oposisi, sedangkan pemerintah mengaku tidak pernah membayar buzzer untuk kepentingan menyerang oposisi.

Media dan pegiat media sosial tidak lagi menyajikan informasi jujur terpercaya, banyak rekayasa dan tendensius. Jurnalisme tidak lagi netral tapi mempunyai kecenderungan membela yang berkepentingan dan yang punya kuasa uang. Negara seakan menjadi arena penjarahan besar dari sekumpulan orang cerdas yang telah tertutupi nurani dan kemurnian berpikirnya untuk menimbun kekayaan sebesar- besarnya. Dalam orasi mereka selalu bangga telah menjadi pahlawan bagi wong cilik, tapi senyatanya banyak dari elite politik hanya memanfaatkan kebaikan dan kedekatannya dengan rakyat untuk mengeruk keuntungan pribadi.

Lihat saja yang sekarang terjadi. Ketika banjir datang semua saling melempar tanggung jawab, semuanya seperti ingin mengatakan itu semua di luar kuasanya, Karena kehendak Tuhan bencana terjadi, dan seakan mereka lupa jejak digital masa lalu, terutama terhadap janji -- janjinya. 

Sekarang masyarakat hanya melihat siapa yang masih tulus bekerja untuk kemajuan bangsa. Rasanya rasa kegotongroyongan masyarakat mulai luntur, yang ada adalah memberi tepuk tangan atas kekurangan dan kesalahan pemimpin.

Pikiran yang terbuka oleh berbagai informasi, tidak diendapkan dan direnungi,namun bahkan hanya melihat judul sebuah artikel banyak orang sudah bisa menyimpulkan sebuah peristiwa. 

Mediapun sering tidak lagi mengindahkan profesi jurnalistik yang jujur dan independen. Mereka lebih menyukai berita sensasi, yang viral dan mendatang cuan agar blog, media berita onlinenya bisa merangkak naik dan mampu menguasai netizen, mampu mendominasi jagat maya. 

Masyarakat bingung mana media yang bisa dipercaya mana yang abal -- abal. Sebab banyak media abal -- abal yang dikemas meyakinkan padahal jurnalis dan editornya tidak jelas dan sering menuliskan artikel yang tidak sesuai fakta bahkan menyesatkan.

Post Truth dan Tumpang Tindih Kepentingan

Masyarakat diserbu berita bohong. Broadcast di WAG sudah tidak lagi murni, banyak berita viral terkirim tanpa filter. Masuk menyerbu dan saling tumpang tindih. Yang benar bisa saja dianggap salah dan yang salah karena didukung oleh pemuka agama menjadi benar. 

Yang bekerja tulus , banting tulang untuk negeri di maki - maki, sedangkan yang hampir setiap hari selalu mendengungkan kebencian dipuja - puja setinggi langit. 

Jargon kampret dan kecebong menjadi penanda keterbelahan, sejak itu kampret dan kecebong tidak bisa lagi akur, padahal bisa saja dalam ekosistem alam kampret dan kecebong itu saling bersinergi.

Dendam politik selalu membuat negara tidak lagi nyaman. Selalu hadir, rasa ingin menjatuhkan. Politisi yang mempunyai banyak kaki, akan selalu membela yang bisa mengakomodasi kepentingannya. Kekuasaan itu bicara tentang kesempatan, bukan bicara tentang kebenaran hakiki. Bisa saja mengatakan prett dengan kejujuran, yang penting kepentingan terakomodasi, meskipun harus menjual tampang prihatin kalau akhirnya bisa menggenggam kekuasaan ya oke - oke saja.

Begitulah permenungan penulis tentang fenomena politik saat ini. Ini hanya opini yang bisa salah dan bisa dibantah. Mungkin saja akan berubah nanti ketika semua orang tersentil dengan sebuah peristiwa besar yang membuat semua orang bahu membahu saling bergotong royong dalam perasaan senasib sepenanggungan.

Untuk saat ini rasanya masih jauh mendambakan iklim politik kondusif yang mampu jernih mengkritik dan menerima kritikan dengan lapang dada, 

Para politisi dan mereka yang merasa terjebak dalam perdebatan tidak ada ujung pangkalnya seperti terasuki dendam kesumat, seperti halnya Kisah Ken Arok yang membunuh empu Gandring yang membuat keris pesanannya. Sebelum mati Mpu Gandring mengutuk bahwa keris buatannya akan membunuh 7 raja termasuk Ken Arok. 

Ken Arok dengan keris buatan Empu Gandring berhasil membunuh suami Ken Dedes bernama Tunggul Ametung. Sedang Ken Arok harus mati dengan keris buatan Empu Gandring oleh Anusapati anak tiri Ken Arok dan anak kandung dari Tunggul Ametung, dan seterusnya sampai akhirnya kerajaan bubar tersebab pemimpinnya saling balas dendam tidak berkesudahan. 

Akankah Indonesia harus hancur seperti halnya sejarah Kerajaan Singasari, Majapahit, Mataram yang sempat jaya tapi harus menerima kenyataan menjadi tinggal sejarah.

Harusnya sejarah menjadi pembelajaran yang baik bagaimana mampu mempertahankan keutuhan negara tanpa disibukkan oleh balas dendam politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun