Mediapun sering tidak lagi mengindahkan profesi jurnalistik yang jujur dan independen. Mereka lebih menyukai berita sensasi, yang viral dan mendatang cuan agar blog, media berita onlinenya bisa merangkak naik dan mampu menguasai netizen, mampu mendominasi jagat maya.Â
Masyarakat bingung mana media yang bisa dipercaya mana yang abal -- abal. Sebab banyak media abal -- abal yang dikemas meyakinkan padahal jurnalis dan editornya tidak jelas dan sering menuliskan artikel yang tidak sesuai fakta bahkan menyesatkan.
Post Truth dan Tumpang Tindih Kepentingan
Masyarakat diserbu berita bohong. Broadcast di WAG sudah tidak lagi murni, banyak berita viral terkirim tanpa filter. Masuk menyerbu dan saling tumpang tindih. Yang benar bisa saja dianggap salah dan yang salah karena didukung oleh pemuka agama menjadi benar.Â
Yang bekerja tulus , banting tulang untuk negeri di maki - maki, sedangkan yang hampir setiap hari selalu mendengungkan kebencian dipuja - puja setinggi langit.Â
Jargon kampret dan kecebong menjadi penanda keterbelahan, sejak itu kampret dan kecebong tidak bisa lagi akur, padahal bisa saja dalam ekosistem alam kampret dan kecebong itu saling bersinergi.
Dendam politik selalu membuat negara tidak lagi nyaman. Selalu hadir, rasa ingin menjatuhkan. Politisi yang mempunyai banyak kaki, akan selalu membela yang bisa mengakomodasi kepentingannya. Kekuasaan itu bicara tentang kesempatan, bukan bicara tentang kebenaran hakiki. Bisa saja mengatakan prett dengan kejujuran, yang penting kepentingan terakomodasi, meskipun harus menjual tampang prihatin kalau akhirnya bisa menggenggam kekuasaan ya oke - oke saja.
Begitulah permenungan penulis tentang fenomena politik saat ini. Ini hanya opini yang bisa salah dan bisa dibantah. Mungkin saja akan berubah nanti ketika semua orang tersentil dengan sebuah peristiwa besar yang membuat semua orang bahu membahu saling bergotong royong dalam perasaan senasib sepenanggungan.
Untuk saat ini rasanya masih jauh mendambakan iklim politik kondusif yang mampu jernih mengkritik dan menerima kritikan dengan lapang dada,Â
Para politisi dan mereka yang merasa terjebak dalam perdebatan tidak ada ujung pangkalnya seperti terasuki dendam kesumat, seperti halnya Kisah Ken Arok yang membunuh empu Gandring yang membuat keris pesanannya. Sebelum mati Mpu Gandring mengutuk bahwa keris buatannya akan membunuh 7 raja termasuk Ken Arok.Â
Ken Arok dengan keris buatan Empu Gandring berhasil membunuh suami Ken Dedes bernama Tunggul Ametung. Sedang Ken Arok harus mati dengan keris buatan Empu Gandring oleh Anusapati anak tiri Ken Arok dan anak kandung dari Tunggul Ametung, dan seterusnya sampai akhirnya kerajaan bubar tersebab pemimpinnya saling balas dendam tidak berkesudahan.Â
Akankah Indonesia harus hancur seperti halnya sejarah Kerajaan Singasari, Majapahit, Mataram yang sempat jaya tapi harus menerima kenyataan menjadi tinggal sejarah.