Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Membaca dan Menduga Mata Bathin Jokowi

19 Februari 2021   09:03 Diperbarui: 19 Februari 2021   09:48 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
manadotribunnews.com

Saat pertama kali melihat Jokowi berjalan, lalu melempar senyum indah (khas ndeso kata banyak orang pengamat , seperti juga diungkapkan Daeng Khrisna Pabichara), di sebuah gang di Galunggung, dekat RSUD Cengkareng Jakarta Barat, saya kok merasa pernah mendengar dan membaca tentangnya, ketika masih menjadi wali kota Solo. 

Sosok yang kurus, berjalan bersama satu polisi dan satu kader PDIP. Saya berhenti, bersama istri menikmati senyuman sosok seorang calon pemimpin. 

Kelak saya  tahu bahwa Pria tinggi kurus, dengan baju kotak - kotak itu akan membuat negeri ini berkembang maju dalam bidang infrastruktur. Ia juga akan merasakan jutaan hujatan yang mampir di telinganya hampir sepanjang hari.

Begitu melihat senyumnya, saya sadar bahwa saya pasti akan memilihnya pada saat pemilihan gubernur. Senyum tanpa banyak kata itu masih saya ingat sampai sekarang dan ternyata di periode kedua pemerintahannya di mana semakin banyak orang -- orang media sosial yang menyerangnya dengan orang yang anti kritik, gara - gara dia banyak aktivis diseret dipenjarakan karena pasal karet UU ITE. 

Padahal ia sangat terbuka dengan kritik, tidak atau jarang reaktif dengan komentar di media sosial yang menunjukkan betapa Indonesia kini telah menjadi belantara. Hutan subur karena suara suara binatang terdengar dalam sumpah serapah mereka yang katanya cinta Indonesia.

Kata - kata di media sosial itu ibaratnya cermin diri dari masyarakat yang "sok modern". Aktif nge twit, aktif bikin status, aktif selfi, dan aktif berkotbah. Ada sisi lain manusia yang di satu sisi ingin menampakkan sebagai sosok religius, tapi dibilik lain ia seperti binatang buas yang ingin menerkam makhluk lain. Manusia yang pandai menguliti kesalahan orang lain, manusia yang demen berolok - olok. Manusia yang mencintai kebencian.

Jokowi dalam senyumnya yang sama ketika saya lihat sekitar 2012 ketika akan melakukan kampanye, menjadi gubernur Jakarta, memang terlihat berbeda dalam auranya. Ia seperti menanggung beban pekerjaan yang sehari - hari dilakukan dengan sesungguh hati dan totalitas yang sulit ditandingkan oleh siapapun politisi negeri ini. 

Banyak politisi yang hanya bermodal, kasihan, prihatin dan merasa terzolimi. Banyak dari menahbiskan diri sendiri sebagai penyelamat dengan berbagai polesan pencitraan yang tidak murni. Tapi Jokowi memang lain. Senyumnya tetap senyum orang ndeso, berusaha menyembunyikan kemarahan, kekesalan di balik mata bathinnya yang luasnya pasti tidak terkira. Ia masukkan segala caci maki, ia dengarkan dan ia renungkan dengan sarungnya ketika melihat pergerakan cebong yang ketika besar akan menjadi katak.

Bagi lawannya kecebong itu adalah olok - olok, sebuah frasa untuk memojokkan para pengikut setianya yang sering sensitif ketika muncul serangan masif mereka -- mereka yang saat alergi disebut buzzer, barisan pendengung yang menyangkali dirinya sendiri. Berbalik menyerang orang - orang yang setia menangkis berbagai umpatan, kritikan hujatan yang kasar. Sedangkan Jokowi tetap saja seperti sungai yang sangat tenang. 

Ia nikmati segala hujatan, termasuk kisah setia yang penggerung yang setia mengikuti kehidupan sang Presiden, setia menghujat dan mendungukan pemimpin. Meskipun terlontar kata dungu tetapi rupanya Jokowi tetap diam dalam kolam mata bathinnya yang sangat luas.

Siapa sih yang bisa membaca dan menduga seberapa besar dan luasnya mata bathin Jokowi, Si Tukang Kayu yang begitu kukuh pada pendiriannya. Tidak kurang jenderal dengan reputasi besar tidak bisa menaklukkannya. Bahkan Jenderal dengan sematan " prihatin" pun tetap tidak bisa menggoyahkan dirinya.

Terbuat dari apa sih hati Jokowi. Sesabar apa sih seorang Presiden yang bekerja dengan diam, tidak banyak retorika, tapi ia tunjukkan dengan kerja nyata. Saya jadi teringat cerita wayang kulit. Sosok yang sangat sabar, dengan bicara lembut, dan dengan kejujuran tingkat Dewa (bahkan Dewa saja bisa kalah jujur dan sabar). 

Namanya Puntadewa anak sulung dari Pandudewanata. Raja dari astina pura (Ngastina;Jawa). Segala serangan, hinaan, ujaran kebencian yang dilontarkan oleh Duryudana, dan adik- adiknya yang disebut Kurawa, tidak pernah mempan mengubah pendirian Puntadewa. Fitnah keji dari Sengkuni, didengar dan diterimanya dengan lapang dada. Tapi Puntadewa tetap luruh, meskipun sering dijebak dan difitnah sedemikian rupa.

Rupanya orang baik sekarang ini harus berani menderita. Apalagi hidup dalam lingkungan politik yang menghalalkan segala cara, termasuk memutarbalikkan fakta. Zaman sekarang yang benar bisa menjadi salah dan yang salah dan licik semakin berkibar mendapatkan pundi pundi kekayaannya. Korupsi seperti budaya yang menjamur yang susah diberantas. Dan agamapun kadang terjebak dalam arus politisasi dan ambyur dalam riak kotornya politik.

Dan mereka yang beragama benar malah terjebak dalam derita panjang sebab apapun perjuangannya untuk menegakkan benang kebenaran, selalu kalah dengan mereka yang menguasai komunikasi, mampu bicara lantang seakan - akan dengan orasinya merekalah yang paling benar. Menjadi pembicara, diupah tinggi tapi sambil memaki - maki dan menjelekkan lawan politik atau agama lain.

Muncul buzzerrp, pendengung yang diupah untuk merontokkan nyali oposisi, mencounter segala kritik yang dialamatkan ke pemerintah dan lagi ujung- ujungnya Salawi, semua salah Jokowi. Betap Jokowi harus membawa beban, sebab semua denyut perekonomian, pembangunan, termasuk naiknya tingkat kemiskinan semua dialamatkan musuh Jokowi yang merisak namanya menuduh bahwa Jokowi tidak patut lagi memimpin negeri ini. Berbagai meme, berbagai ujaran kebencian beralamat pada presiden terus saja bak air bah berdatangan. Namun di balik tubuhnya yang kerempeng betapa kuat kuda - kudanya menopang tubuh yang nampak rapuh.

Penulis menduga bahwa kekuatan Jokowi adalah pada mata bathinnya. Ia selalu jernih memandang segala masalah, tetap sabar menerima cacian demi cacian, nyatanya diantara isu kemiskinan dan ambruknya perekonomian, Bendungan di Pacitan yang diberi nama Tukul, Aneka infrastruktur tol, pembangunan  di wisata di Labuan Bajo, Trans Sumatra, trans Kalimantan masih berjalan. Orang - orang sepertinya menutup mata, mereka hanya melihat kekurangan dan kesalahan.

 Ciri khas manusia yang susah dihilangkan, lebih senang melihat rumput hijau tetangga daripada menyuburkan rumput rumah sendiri, lebih sering mendongak dan melihat orang lain, jarang melihat diri sendiri. Sering mengorek kesalahan tetangga dan orang lain, tapi tidak sadar bahwa dalam dirinya tumbuh borok dan dosa - dosa yang tidak disadarinya dari upaya menanamkan kebencian terhadap orang yang dibencinya gara- gara pengaruh media sosial.

"Oh, Jagad Dewa Bathara, ada apakah dengan negeri ini." Inilah puncak sebuah kebanggaan sebagai orang timur yang katanya menjunjung tinggi moral dan peradaban, menyindir gaya barat yang kebablasan, tapi tidak menyadari bahwa diri sendiri bermasalah. Bercermin saja di kaca, apakah mukanya sudah patut menyandang sebagai orang baik. Saya sendiri sebagai penulis menganggap belumlah apa - apa dibandingkan dengan kesabaran tingkat dewa yang ditunjukkan Jokowi.

Bukan menyanjung Jokowi, bukan pula pengikut fanatik Jokowi, tapi mata bathin saya masih melihat waras bahwa ia bekerja tulus membangun negeri ini. Kelemahan tetaplah ada sebagai manusia, ia tetaplah manusia yang penuh kekurangan, tapi berbagai kelebihannya telah menutup kekurangan dan kelemahannya. Ia memang bukan sosok gagah seperti yang sering digambarkan dalam pertunjukan ketoprak bagi tokoh yang menjadi lakon atau menjadi primadona dalam sebuah pertunjukan, hingga membuat klepek - klepek penonton perempuan atau laki- laki.

Jokowi itu adalah sosok manusia biasa seperti rakyat biasa, bukan berasal dari trah ratu, dinasti presiden, ia hanya anak tukang kayu, yang pernah hidup dan merasakan banjir ketika masih tinggal di Bantaran Kali, di pinggir Bengawan Solo. Bukan seperti mantan presiden yang rumahnya pun diberi akses tol. Ia menempati pavilyun bukan istana kepresidenan, yang sering naik pesawat ekonomi untuk pulang kampung.

Banyak orang terbiasa melihat bahwa sosok presiden itu harus gagah pidekso (gagah perkasa), tinggi besar dengan kata-kata terukur, berpendidikan tinggi, dan banyak istilah memukau sebagai orang berintelektual tinggi. Tapi Jokowi tetap dirinya sendiri yang masih suka makanan tradisional, yang sering meracik jamu sendiri untuk kekuatan dirinya mengarungi, hujatan makian dari orang yang merasa telah terganggu kesenangannya menikmati menara gading kekuasaan dan kehormatan.

Sekali lagi bukan memujanya tapi lebih mencoba membaca mata bathinnya. Mungkin banyak yang luput, banyak salah dugaan saya tentang kolam luas mata bathinnya. Tapi setidaknya saat melihat mata dan senyumnya saya masih melihat bahwa Jokowi masih orang yang sama ketika masuk ke rimba Jakarta 2012 dulu, cuma sekarang jagat yang diampunya lebih luas yaitu Nusantara. Berat, ketika harus mengakomodir jutaan keinginan rakyat. Tidak semua terpuaskan namun dari kekurangannya ia persembahkan segala kelebihannya.

Itulah tebakan saya melihat mata bathin Jokowi, bisa salah, bisa juga benar. Tergantung anda pembaca. Bagi anda yang terlanjur benci, tidak mungkin setuju dengan tulisan saya bagi yang sepaham dan bisa merasakan dengan jernih permenungannya pasti merasakan bahwa betapa berat menjadi pemimpin negeri ini yang rakyatnya banyak maunya dan banyak tuntutannya. Hong wilaheng sekareng bawono langgeng artinya laksana bunga yang aromanya semerbak abadi.

Bathin yang tulus akan selalu menebarkan wangi bunga abadi. Sampai saat ini mata bathin masih merasakan wangi itu, dan senyumnya yang tetap tertanam dalam ingatan. Seburuk apapun orang menyematkan segala kekurangannya, saya melihat masih ada kebaikan terpancar dari bathinnya, hanya orang - orang sekitarnya yang sering salah menterjemahkan kebaikan hanya untuk kepentingan pribadi dan partai politiknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun